Oleh Sri Nova Sagita
Ada apa dengan Sumbar? Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat (Sumbar) Februari 2020, lulusan Strata-1 (S1) perguruan tinggi atau sarjana mendominasi angka Strata-1 (S1) perguruan tinggi atau sarjana yang mendominasi angka penganguran terbuka di provinsi Sumatera Barat, dengan komposisi mencapai 8,07 persen dari total angkatan kerja 2,81 juta orang.
Menurut Pitono selaku Kepala BPS Sumbar, salah satu penyebab tingginya pengangguran sarjana karena ada penawaran tenaga kerja yang tidak terserap terutama pada tingkat pendidikan tinggi. Ia melihat mereka yang berpendidikan rendah justru cenderung mau menerima pekerjaan apa saja sehingga lebih mudah terserap lapangan kerja.
"Artinya penawaran tenaga kerja yang tidak terserap didominasi oleh diploma dan mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau bekerja apa saja," katanya.
Ia menjelaskan angkatan kerja adalah penduduk berusia 15 tahun atau lebih yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja.
Sedangkan penganggur terbuka adalah masyarakat yang tidak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan usaha, atau tidak mencari kerja karena merasa tidak mungkin mendapatkannya serta mereka yang sudah punya pekerjaan tapi belum mulai bekerja. (sumbar.antaranews.com, 8/5/2020)
===
Kota Padang adalah kota yang khas dan unik dbandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Dulunya dikenal sebagai daerah yang meghasilkan “Alim Ulama, dan Cadiak Pandai” (orang alim, cerdik dan pandai) yang teruji sampai keberbagai pelosok negeri. Apalagi sekitar abad ke-16 pendidikan di sana hanya berpusat dari Surau. Selain itu Padang juga pernah d nobatkan sebagai Kota Pendidikan di tahun 2010. Harusnya, pengangguran tidak terjadi apalagi jika di ukur dengan tingginya tingkat pendidikan.
Amat disayangkan, jika para sarjana yang sudah dianggap mumpuni dalam berbagai keahlian tapi hanya jadi bisa nganggur. Kenapa harus membiarkan mereka menjajakan ijazah kesana kemari untuk mencari pekerjaan?
Persoalan tersebut sebenarnya tentu tidak bisa lepas dari peran negara untuk menyediakan lapangan kerja. Namun kenyataannya, dinegeri yang bertaburan dengan sarjana ini, tidak memberikan kesempatan untuk mereka berkarya. Akses sumber daya alam (SDA) malah diserahkan kepada asing, sehingga serbuan TKA ke negeri ini pun tak terbendung lagi. Sehingga sulit menyisakan lapangan pekerjaan untuk anak negeri. Apalagi untuk mencitakan lapangan kerja sendiri, mereka juga terbatas modal usaha.
Disini juga tampak kurangnya dukungan dukungan pemerintah terhadap tenaga kerja khususnya dari para sarjana. Ketika akan menempati posisi sesuai dengan keahliannya. Mereka dihadapkan dengan masih menjamurnya praktek KKN dimana-mana. Posisi yang seharusnya diisi oleh orang-orang pilihan, malah diisi oleh orang yang tidak berkompeten.
Satu-satunya mereka harapkan hanyalah bisa menjadi PNS, namun peluangnya pun sangat kecil sekali. Ditambah dengan persyaratan yang cukup sulit, apalagi harus melalui tes yang berat. Akhirnya perguruan tinggi hanya sekedar mesin produksi pengangguran berdasi.
Bagaimana Islam mengatasi malasah tenaga kerja?
Persoalan tenaga kerja di bahas Islam dalam akad pemanfaatan tenaga kerja (Ijarah). Akad Ijarah (kontrak kerja)menurut para ulama adalah akad (transaksi) untuk memperoleh jasa tertentu dengan upah atau bayaran tertentu. Jadi pekerjaan terbuka bagi siapa saja tanpa memandang status pedidikan, tapi akad yang sudah disepakati. Dengan demikian masing-masing pihak tidak ada yang merasa dirugikan.
Ijarah agar sah harus memenuhi rukun dan syarat sah. Rukun Ijarah ada tiga, yaitu; (1) adanya dua pihal yang berakad, yakni majikan (musta’jir) dengan pekerja (ajir), (2) ijab dan qabul, (3) obyek akad haruslah dapat diambil manfaatya. Sedangkan syarat sah ijarah antara lain;
Pertama, Adanya keridhaan dari kedua belah pihak. Jika salah satu pihak dipaksa maka akad ijarah itu tidak sah.
Kedua, Manfaat yang d akadkan mesti diketahui (ma’lum)
kedua pihak, dengan pengetahuan yang dapat mencegah perselisihan.Dalam ijarah al-a’yan yang di-ijarahkan adalah manfaat benda. Sedangkan dalam ijarah al-ajir, manfaat yang diijarahkan adalah menfaat tenaga kerja. Disini harus jelas tentang batasan kerja, Batasan waktu, besaran uapah, dan bahkan batasan tenaga seperti lama kerja dan lamanya jam kerja dan lain-lain.
Ketiga; Pekerjaan yang diakadkan secara hakiki maupun syar’I harus mampu dikerjakan oleh ajir. Seorang ajir tidak boleh dibebani pekerjaan diluar kemampuannya.
Keempat; Adanya kemampuan menyerahkan benda/sesuatu yang di-ijarahkan dengan manfaat yang disepakai.
Kelima; Manfaat yang di-ijarahkan adalah mubah, tidak boleh yang diharamkan, seperti memeras khamar; mengangkut, membawkan, menuangkan, membelikan, dan menjualkannya; juga seperti aktifitas yang terkait dengan riba yang disepadankan dengan saksi dan tukang tulis yakni yang mengurus dan mengatur riba.
Disini negara tidak bisa menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing. Karena SDA itu pada umumnya dikuasai oleh negara. Dan negara tentu akan mengutamakan tenaga kerja dari dalam negri untuk mengerjakannya.
Selain itu untuk usaha dalam bidang pertanian negara bisa melakukan menyerahkan tanah pertanian untuk dikelola oleh para petani yang tidak memiliki lahan atau modal. Dengan ketentuan pemerintah dapat mengambil tanah yang telah ditelantarkan selama 3 tahun oleh pemiliknya. Yang nantinya bisa diberikan pada rakyat yang sanggup menghidupkannya lagi, inilah yang disebut I’tha, yaitu pemberian Negara kepada rakyat.
Begitulah mekanisme Islam dalam mengatasi masalah pengangguran. Menciptakan lapangan pekerjaan. Menciptakan iklim usaha yang memudahkan seseorang untuk mengakses modal. Tidak membiarkan tenaga kerja asing menguasai pasar tenaga kerja. Namun kesemuanya hanya akan terwujud jika negeri ini sepenuh hati menerapkan sistem Islam yang Kaffah, yang Rahmatan Lil Alamin.