Oleh: Tien Soekatno
Muslimah pemerhati umat
Ketika Covid-19 sudah menguasai masyarakat seluruh dunia, kian terasa oleh kita Covid-19 memediasi pemikiran kita, untuk memaknai pesan apa yang dibawanya.
Contoh yang sederhana saja, setelah Covid-19 mengajarkan rajin cuci tangan maka memasuki lebaran nan suci sudah bersih dengan dilanjut tidak berjabat tangan layaknya tradisi sebelumnya. kita hanya berjabat tangan pada keluarga inti saja. Di sana ada satu titik syariat Allah terbuka.
Selanjutnya ketika pintu-pintu rumah di tutup tidak seperti suasana lebaran tahun-tahun biasanya, sadarkah kita pintu-pintu Ilmu terbuka bagi hamba yang ingin menuju Jannah-Nya?
Ada sedikit kesamaan rasa, perasaan yang sama-sama rindu kampung, orang tua, handai taulan di sana, namun kesadaran turut perintah lebih di utamakan.
lalu berapa kiranya perintah Allah di langgar dengan tradisi yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak memberikan batas mahram baik terhadap anggota keluarga pun ke masyarakat?
Seberapa kita mengenal ilmu Islam ini?
Kenapa kita tidak lebih malu dengan makhluk mikro yang tak berakal?padahal dengan akal kita dapat menangkap lautan Ilmu baik Islam maupun sains dan yang lainnya, yang akan mendampingi kehidupan manusia dalam bermasyarakat yang heterogen.
Islam menyatukan perbedaan masyarakat yang ada di dunia yang ditentukan oleh perbedaan pemikiran, perasaan dan sistem/peraturan yang mereka miliki. Berdasarkan faktor-faktor inilah sebuah masyarakat akan terbentuk.
Masyarakat yang Islami akan terbentuk jika masyarakat melangsungkan interaksinya dengan pemikiran, perasaan dan peraturan/sistem yang Islami, yaitu sekelompok individu muslim yang melangsungkan interaksi antar mereka dan antar mereka dengan yang lainnya (hubungan internasional) berdasarkan akidah Islam dan hukum syara’.
Faktor pendorong terjadinya interaksi adalah adanya maslahat jika tidak maka yang timbul adalah persepsi yang mewarnai makna pemikirannya.
Maka pemikiranlah yang menentukan sebuah maslahat sehingga membentuk interaksi. Kesamaan pemikiran yang ada pada kelompok manusia akan menentukan kesamaan pandang terhadap kemaslahatan yang menjadi tumpu sebuah interaksi. Kesamaan pemikiran ini harus di balut lagi dengan sama-sama perasaan dan aturan.
Jadi masyarakat Islami akan terwujud, dengan syarat utamanya satu pemikiran, satu perasaan, dan satu sistem yang sama.
Jika tidak maka masyarakatnya seperti kaum Muslim di seluruh penjuru dunia saat ini, masyarakat yang tidak Islami. Sekalipun individu-individunya adalah orang-orang Islam, alasannya seluruh Interaksi yang ada tidak berjalan sesuai dengan pemikiran, perasaan, dan sistem/peraturan Islam bahkan termasuk negeri-negeri yang masih menerapkan hukum-hukum syara’.
Dengan demikian menjadi tugas umat bersama dalam membentuk peningkatan kekuatan religi yang tinggi untuk segera mengatur strategi bagaimana mengubah masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat Islami.
Kegagalan ilmu yang di kerahkan di berbagai negara harusnya mendorong kaum muslim untuk berjuang menggesernya menggantikan dengan ilmu/cara-cara Islam dalam mengatasi berbagai masalah meski terhadap masalah yang mendasar sekalipun.
Jurus pemakai satu ilmu, satu pikiran, satu perasaan, dan satu aturan adalah jurus pamungkas terbebasnya derita yang menghimpit dunia saat ini. Dengan satu komando sentral yakni Khalifah. Tercatat dalam tinta emas peradaban, betapa agungnya peradaban Islam sehingga menjadi mercusuar dunia.
Pandemi Covid-19 hendaknya menjadi bahan muhasabah, bahwa aturan yang berasal dari manusia tidak akan mampu membawa kemaslahatan bagi seluruh umat, maka sudah selayaknya kita berjuang untuk kembali menerapkan aturan Allah (Islam kafah) yang terbukti bisa membawa Rahmat bagi semesta alam.
Wallahu a'lam
Tags
Tsaqofah