Relaksasi PSBB Bukan Solusi

Oleh: Rindoe Arrayah

       Wacana relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang disampaikan pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menunjukkan buruknya cara komunikasi pemerintah kepada publik. Jika hanya sebatas wacana maka tidak perlu disampaikan ke publik. Pasalnya, penyampaian wacana itu hanya membuat runyam kondisi saat ini.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) Sukamta justru melihat kalau pemerintah tidak memiliki grand desain dalam menangani pandemi virus Corona (Covid-19).
Sukamta mengetahui kalau alasan dari relaksasi PSBB itu berdalih agar warganya tidak stres. Namun menurutnya stres yang dirasakan warga bukan karena PSBB tetapi karena konsep penanganan Covid-19 pemerintah yang tidak jelas.
"Ini kayaknya yang stres malah pemerintah karena nggak jelas konsepnya, enggak jelas ukuran evaluasinya. Sampai sekarang pemerintah juga belum pernah ungkapkan grand desain penangangan Covid-19 termasuk target waktu untuk mengatasinya," kata Sukamta melalui siaran tertulisnya kepada suara.com, Senin (4/5/2020).
Dengan ketidakjelasan desain penanganan Covid-19, menurutnya kepala daerah yang menerapkan PSBB justru menjadi pusing karena seakan mendapatkan lemparan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke daerah.
"Coba lihat saat ini gubernur, bupati, walikota yang malah terlihat pontang-panting dengan kebijakan PSBB. Mereka, para kepala daerah sedang berusaha mengetatkan pelaksanaan PSBB karena masih cukup banyak pelanggaran aturan dan penyebaran virus masih terus terjadi, eh kok pemerintah pusat yang buat peraturan PSBB malah akan melonggarkan. Kalau kebijakan bolak-balik enggak jelas seperti ini, kasihan yang di daerah pak Presiden," ujarnya.
"Kritik cara komunikasi pemerintah yang buruk ini sudah banyak disampaikan, sekarang sudah jalan dua bulan lebih ternyata tidak kunjung diperbaiki. Jadi kalau masyarakat dikatakan stres, bisa jadi bukan karena dibatasi ruang geraknya tetapi karena bingung lihat pernyataan-pernyataan pemerintah yang simpang-siur," pungkasnya.
Sebelumnya, Mahfud MD mewacanakan memodifikasi penerapan pembatasan sosial berskala besar yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020.
Mahfud mengatakan, hal tersebut berdasarkan evaluasi pemerintah terhadap kebijakan PSBB yang sudah berlaku di beberapa di Indonesia.
"Kita tahu ada keluhan ini, sulit keluar, sulit berbelanja dan sebagainya, sulit mencari nafkah dan sebagainya. kita sudah sedang memikirkan apa yang disebut relaksasi PSBB, nanti akan diadakan, sedang dipikirkan pelonggaran-pelonggaran," kata Mahfud saat siaran langsung dalam akun Instagram-nya @mohmahfudmd, Sabtu (2/5/2020).
Dengan pelonggaran ini, Mahfud berharap masyarakat tidak lagi merasa dikekang dengan aturan PSBB yang berujung pada penurunan imunitas tubuh yang rawan diserang penyakit.
"Nah kalau stres, itu imunitas orang itu akan akan melemah juga akan menurun oleh sebab itu kita memikirkan mari kerjakan ini semua secara sabar bersama-sama," kata Mahfud.
Alasan di atas justru dibantah beberapa tokoh. Di antaranya Wakil Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim yang mempertanyakan alasan Mahfud MD melakukan relaksasi. Pernyataan PSBB membuat masyarakat sulit berbelanja menurutnya hanya dibuat-buat.
Menurut Dedie, justru tempat penyediaan kebutuhan dasar/pokok seperti pasar tetap dibuka meski saat PSBB. Bahkan rumah makan juga masih buka dengan pelayanan delivery. Sehingga tidak benar jika beralasan agar masyarakat dimudahkan berbelanja. Justru perlakuan PSBB saat ini sudah mencukupi. (cnbcindonesia, 4/5/2020).
Hal senada diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Irwan. Di sini ia mengkritik mengenai pernyataan PSBB membuat masyarakat stres. Menurutnya,PSBB saat ini masih bersifat longgar dan tidak tegas. Pernyataan ini dikuatkan dengan masih terus bertambahnya pasien Covid-19.
Irwan menyarankan harusnya PSBB itu jauh lebih ketat lagi. Agar berjalan lebih efektif, idealnya perlu ada sanksi pelanggaran yang tegas. Kalau pun ada yang stres, menurutnya lebih karena biaya hidup selama PSBB tidak dijamin negara. Sehingga masyarakat harus memeras otak untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari.
Tidak adanya langkah serius dalam menangani masalah wabah menunjukkan sikap abainya pemerintah terhadap rakyat. Hingga saat ini,  pemerintah belum menetapkan status lockdown untuk memutus rantai penyebaran covid-19 yang semakin banyak menelan korban . Padahal solusi yang paling tepat dalam menangani wabah ini adalah dengan melakukan lockdown atau karantina wilayah.  
Dalam UU no 6 tahun 2018 dijelaskan bahwa ; (1) Orang di wilayah karantina dilarang keluar masuk (2) wilayah yang di karantina diberi garis dan di jaga terus menerus oleh petugas kepolisian (3) Kebutuhan hidup dasar orang dan ternak di dalam wilayah karantina ditanggung pemerintah. Namun, pemerintah tidak tegas dan kebingungan dengan UU yang sudah di buatnya sendiri. Seperti UU no 6 tahun 2018 yang seharusnya tepat di berlakukan pada masa covid-19 ini, tapi ternyata tidak diberlakukan, hustru  menetapkan UU darurat sipil dan PP PSBB yang masih menuai kontroversi.
Tentu bukan tanpa alasan jika pemerintah tak mengambil opsi lockdown dengan memberlakukan UU no 6 tahun 2018 sebagai solusi. Pemerintah tidak mau mengambil resiko jika perekonomian harus anjlok akibat lockdown. Selain itu, pemerintah juga tidak mampu mencukupi seluruh kebutuhan rakyatnya, maka diberlakukanlah UU darurat sipil, karena jika UU darurat sipil berlaku maka rakyat sendiri yang harus menanggung kebutuhan pokok masing-masing, termasuk listrik, gas, dll, sedangkan di sisi lain rakyat dilarang untuk keluar rumah.
Inilah kebijakan tambal sulam rezim kapitalis yang jelas telah gagal memberi solusi pemenuhan kebutuhan manusia. Padahal, sudah menjadi kewajiban bagi negara menjamin rakyatnya dari kebutuhan sandang pangan dan papan yang di berikan sesuai porsinya, bukan rakyat dibiarkan mengatur dirinya sendiri. Sungguh semakin nampak kezaliman sistem kapitalisme ini.

Teladan dalam Menangani Wabah

       Dalam situasi yang membuat banyak orang merasa sangat frustrasi akan pemenuhan kebutuhan pokoknya, akan dipaparkan abstraksi langkah kebijakan di masa Peradaban Islam yakni masa Khalifah Umar ketika beliau menghadapi situasi krisis di masa kepemimpinannya.
Untuk memberikan gambaran keunggulan syariat Islam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat, termasuk dalam situasi krisis, selanjutnya akan coba dihitung proyeksi seberapa besar sebetulnya kemampuan kapasitas keuangan negara ini untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar rakyat dalam situasi wabah.
Dalam buku The Great leader of Umar bin Khaththab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, diceritakan bahwa ketika terjadi krisis, Khalifah Umar ra. melakukan beberapa hal berikut:
Ketika krisis ekonomi, Khalifah Umar memberi contoh terbaik dengan cara berhemat dan bergaya hidup sederhana, bahkan lebih kekurangan dari masyarakatnya.
Khalifah Umar ra. langsung memerintahkan untuk membuat posko-posko bantuan. Diriwayatkan dari Aslam:
Pada tahun kelabu (masa krisis), bangsa Arab dari berbagai penjuru datang ke Madinah. Khalifah Umar ra. menugaskan beberapa orang (jajarannya) untuk menangani mereka. Suatu malam, saya mendengar beliau berkata, “Hitunglah jumlah orang yang makan malam bersama kita.”
Orang-orang yang ditugaskan pun menghitung orang-orang yang datang, ternyata berjumlah tujuh puluh ribu orang. Jumlah orang-orang sakit dan yang memerlukan bantuan sebanyak empat ribu orang.
Selang beberapa hari, jumlah orang yang datang dan yang memerlukan bantuan mencapai enam puluh ribu orang. Tidak berapa lama kemudian, Allah mengirim awan. Saat hujan turun, saya melihat Khalifah Umar ra. menugaskan orang-orang untuk mengantarkan mereka ke perkampungan dan memberi mereka makanan dan pakaian ke perkampungan.
Banyak terjadi kematian di tengah-tengah mereka. Saya melihat sepertiga mereka mati. Tungku-tungku Umar sudah dinyalakan para pekerja sejak sebelum subuh. Mereka menumbuk dan membuat bubur.
Khalifah Umar ra. memberi makanan kepada orang-orang badui dari Dar ad-Daqiq, sebuah lembaga perekonomian yang berada pada masa pemerintahan Umar. Lembaga ini bertugas membagi tepung, mentega, kurma, dan anggur yang berada di gudang kepada orang-orang yang datang ke Madinah sebelum bantuan dari Mesir, Syam dan Irak datang.
Dar ad-Daqiq kian diperbesar agar bisa membagi makanan kepada puluhan ribu orang yang datang ke Madinah selama sembilan bulan, sebelum hujan tiba dan memberi penghidupan.
Musibah yang melanda, juga membuat Khalifah semakin mendekatkan diri kepada Allah, meminta pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala Pemilik alam seisinya.
Suatu ketika Khalifah Umar ra. mengimami shalat isya’ bersama para jamaah yang lalu pulang, sementara ia terus shalat hingga di penghujung malam. Setelah itu, Umar keluar rumah mendatangi perkampungan dan meronda. Abdullah bin Umar ra. meriwayatkan, ia berkata,
Pada suatu malam di waktu sahur saya mendengar ia berdoa, “Ya Allah, janganlah Kau binasakan umat Muhammad saat saya menjadi pemimpin mereka.”
Ia pun berdoa, “Ya Allah, janganlah Kau binasakan kami dengan kemarau dan lenyapkanlah musibah dari kami.”
Ia mengulang-ulang kata-kata tersebut.
Khalifah juga langsung memimpin tawbat[an] nasûhâ. Bisa jadi bencana/krisis yang ada akibat kesalahan-kesalahan atau dosa yang telah dilakukan oleh Khalifah dan atau masyarakatnya. Khalifah menyerukan taubat. Meminta ampun kepada Allah agar bencana segera berlalu.
Kepada rakyatnya yang datang karena membutuhkan makanan, segera dipenuhi. Yang tidak dapat mendatangi Khalifah, bahan makanan diantar ke rumahnya, beberapa bulan sepanjang masa musibah.
Malik bin Aus (berasal dari Bani Nashr) juga menceritakan bagaimana sepak terjang Khalifah Umar ra. dalam menangani krisis ini. Ia berkata, “Saat terjadi tahun kelabu, Umar mendatangi kaumku. Mereka berjumlah seratus kepala keluarga dan mereka menempati padang pasir. Umar biasa memberi makan orang yang mendatangi dirinya. Yang tidak datang dikirimi tepung, kurma dan lauk-pauk ke rumahnya. la mengirim bahan makanan kepada kaumku berbulan-bulan. Umar biasa menjenguk orang sakit dan mengafani orang mati. Saya melihat kematian menimpa mereka hingga mereka memakan kulit. Umar sendiri mendatangi mereka dan menyalati mereka. Saya melihat ia menyalati sepuluh jenazah sekaligus. Setelah salam, Umar berkata, “Keluarlah dari kampung menuju tanah yang kalian nantikan.”
Umar membopong orang lemah hingga sampai ke negeri mereka.
Tatkala menghadapi situasi sulit, Khalifah Umar bin Khaththab meminta bantuan ke wilayah atau daerah bagian Kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu memberi bantuan.
Gubernur Mesir, Amru bin al-Ash mengirim seribu unta yang membawa tepung melalui jalan darat dan mengirim dua puluh perahu yang membawa tepung dan minyak melalui jalur laut serta mengirim lima ribu pakaian kepada Khalifah Umar.
Fragmen di atas menunjukkan kesigapan pemimpin kaum Muslim dalam menyelesaikan krisis; ketika mendapati pemerintah pusat sudah tidak mampu lagi menutupi semua kebutuhan dalam rangka menyelesaikan krisis.
Pemerintah pusat langsung memobilisasi daerah-daerah wilayah Kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu untuk membantu menyelesaikan krisis tersebut. Khalifah Umar langsung mengirim surat dan utusan langsung untuk mengurusi hal ini, agar bantuan segera terkondisikan dan disiapkan.
Khalifah Umar juga mengirimkan bantuan yang datang dari berbagai daerah berupa makanan dan pakaian kepada semua orang selama beberapa bulan. Tungku-tungku besar sebagai dapur umum terus beroperasi yang dikerjakan oleh tangan-tangan ahli.
Mereka memasak sejak fajar dan membagikan makanan kepada orang-orang. Khalifah Umar menyampaikan pengumuman, “Bila Allah tidak mengentaskan kemarau maka setiap penghuni rumah akan kami tangguhkan seperti mereka dan akan kami beri makan semampu kami. Bila kami tidak mampu, kami memutuskan setiap penghuni rumah yang memiliki perbekalan, kami satukan dengan yang tidak punya perbekalan hingga Allah mendatangkan hujan.”
Fragmen di atas memberi gambaran kepada kita bahwa bantuan untuk orang per orang yang tertimpa krisis jumlahnya sangatlah banyak, berlebih bahkan cukup hingga mereka mampu bekerja sendiri mencari rezeki. Para korban krisis diceritakan mendapat batuan sebanyak apa yang dibawa oleh satu unta.
Langkah-langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. ketika terjadi bencana adalah menghentikan sementara hukuman bagi pencuri. Hal ini dilakukan bukan karena mengabaikan hukum yang sudah pasti dalam Islam, namun lebih disebabkan karena syarat-syarat pemberlakuan hukum untuk pencuri tidak terpenuhi.
Saat itu orang mencuri dan memakan barang milik orang lain karena sangat Iapar. Itu semata untuk menyambung nyawanya karena memang tidak bisa mendapatkan makanan. Mereka bukanlah orang yang bertindak sekehendaknya dan tidak bermaksud mencuri.
Selain tidak menghukum pencuri yang mencuri karena terpaksa demi sekadar menyambung hidup, Khalifah Umar juga menunda pungutan zakat pada krisis/bencana. Khalifah menghentikan pungutan kewajiban zakat pada masa bencana/krisis.
Saat kelaparan berakhir dan bumi mulai subur, Umar kembali mengumpulkan zakat pasca bencana/krisis. Artinya, Khalifah menilai itu sebagai utang bagi orang-orang yang mampu agar bisa menutupi kelemahan bagi orang-orang yang memerlukan dan agar di baitulmal ada dana setelah semuanya diinfakkan.
Adapun tentang proyeksi kemampuan keuangan negara hari ini, jika dilakukan kebijakan lockdown untuk memutus rantai penyebaran virus covid-19 yang sudah meluas, terhitung sebagai berikut:
Jika jumlah penduduk Indonesia 275 juta orang dengan kebutuhan sekitar Rp30.000 sampai Rp50.000 per hari per orang, maka alokasi dana per hari dari keuangan negara sekitar Rp8,3 triliun sampai Rp13,75 triliun. Jika lockdown dilakukan dalam 14 hari, maka dana yang dibutuhkan dari kas keuangan negara sebesar Rp116,6 triliun sampai Rp192,5 triliun.
Hal itu belum termasuk perhitungan fakta bahwa ada angka jumlah individu rakyat yang kaya yang tidak membutuhkan pembiayaan tersebut.
Dan juga belum memperhitungkan individu rakyat yang kaya yang turut membantu pemenuhan kebutuhan pokok rakyat di saat musibah. Alokasi perhitungan pendanaan kebutuhan pokok di saat lockdown yang kurang dari 200 triliun rupiah, sangat mampu di-cover oleh keuangan negara hari ini.
Kita bisa mengaitkannya dengan beberapa perspektif. Pertama, penjelasan sekretaris menko perekonomian per 26 Maret 2020 bahwa telah diberikan stimulus untuk situasi pandemi covid-19 sebesar 158,2 triliun rupiah. Pertanyaannya, ke manakah alokasi dana tersebut?
Kedua, perhitungan alokasi anggaran untuk proyek-proyek mercusuar infrastruktur mencapai jumlah 430 triliun rupiah. Jika keuangan negara untuk memenuhi dasar rakyat di kala mereka sangat membutuhkan, sebetulnya tersedia, lalu alasan apa lagi yang membuat langkah itu tidak segera dilakukan?
Semua ini membukakan mata hati dan pikiran umat bahwa penguasa negara demokrasi memang tidak akan pernah tulus menyayangi rakyatnya. Konsep format negara demokrasi gagal memunculkan sosok penguasa yang seperti itu.
Sosok penguasa yang benar-benar tulus menyayangi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya sejatinya hanya lahir dalam Peradaban Islam. Ketakwaanlah yang membentuk Khalifah menjadi sosok yang seperti itu.
Kesempurnaan aturan Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunah dalam mengatur politik dan ekonomi negara, membuat Khalifah tidak gamang dalam mengambil keputusan. Keunggulan sistem keuangan negara baitulmal tidak diragukan lagi dalam menyediakan pembiayaan negara.
Begitu pula keunggulan sistem politik Khilafah. Dengan kewenangan penuh Khalifah kala mengambil keputusan, terbukti efektif dan efisien menyelesaikan persoalan di masyarakat. Terutama dalam situasi extraordinary (kejadian luar biasa).
Allah mengingatkan umat manusia di muka bumi, “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (TQS Ar Rum 41). 
Selain itu, Islam memandang bahwa hilangnya nyawa seorang muslim lebih besar perkaranya daripada hilangnya dunia. Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan  terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.”  (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455)

Hanya Islam Tempat Kembali
       Amburadulnya kapitalisme dalam menangani wabah corona semakin menampakkan bobroknya sistem kehidupan buatan manusia yang senyatanya tidak layak untuk dijadikan sebagai panutan. Hanya kepada Islam tempat kita kembali dengan penerapan syari’at-Nya. 
Pemimpin atau khalifah dalam sistem Islam dengan penuh keikhlasan tanpa ada perhitungan memenuhi kebutuhan hidup rakyat dan bertanggung jawab penuh melindungi rakyatnya tanpa menelantarkan dan membiarkan rakyat mengatur hidupnya. Sungguh mengagumkan manakala syari’at Islam benar-benar diterapkan dengan sempurna,  maka keadilan dan kesejahteraan akan didapatkan. Hingga kini tidak ada yang mampu menandingi kedigdayaaan sistem Islam saat memimpin dunia dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’alam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak