Oleh: Rindoe Arrayah
Waktu begitu cepat berlalu. Kini kita telah berada di penghujung Ramadhan. Beberapa saat lagi bulan suci akan pergi. Meski di era pandemi covid-19 dengan pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), ternyata tidak menyurutkan masyarakat untuk tetap disibukkan dengan hiruk-pikuk menyambut Idul Fitri. Luapan kegembiraan sudah terasa. Mall-mall menjadi padat. Lalu lintas lambat merayap.
Jika demikian gempitanya masyarakat kita berbahagia di penghujung akhir Ramadhan, tidak demikian dengan para sahabat dan salafus shalih. Semakin dekat dengan akhir Ramadhan, kesedihan justru menggelayuti generasi terbaik itu. Tentu saja kalau tiba hari raya Idul Fitri mereka juga bergembira karena Id adalah hari kegembiraan. Namun di akhir Ramadhan seperti ini, ada nuansa kesedihan yang sepertinya tidak kita miliki di masa modern ini.
Mengapa para sahabat dan orang-orang shalih bersedih ketika Ramadhan hampir berakhir? Kita bisa menangkap alasan kesedihan itu dalam berbagai konteks sebab.
Pertama, patutlah orang-orang beriman bersedih ketika menyadari Ramadhan akan pergi, sebab dengan perginya bulan suci itu, pergi pula berbagai keutamaannya. Bukankah Ramadhan bulan yang paling berkah, di mana pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup? Bukankah hanya di bulan suci ini syetan dibelenggu? Maka kemudian ibadah terasa ringan dan kaum muslimin berada dalam puncak kebaikan,
“Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu.” (HR. Ahmad)
Bukankah hanya di bulan Ramadhan amal sunnah diganjar pahala amal wajib, dan seluruh pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada batasan?
Semua keutamaan itu takkan bisa ditemui lagi ketika Ramadhan pergi. Ia hanya akan datang pada bulan Ramadhan setahun lagi. Padahal tiada yang dapat memastikan apakah seseorang masih hidup dan sehat pada Ramadhan yang akan datang. Maka pantaslah jika para sahabat dan orang-orang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan pergi.
Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah SAW bahwa semestinya Ramadhan menjadikan seseorang diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang besar yang penuh keutamaan, namun masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar orang itu sangat rugi. Bahkan celaka.
“Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni.” (HR. Hakim dan Thabrani)
Permasalahannya adalah apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu? Sementara, jika ia tidak dapat ampunan, ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh rasa khauf (takut) para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka takut sekiranya menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima, dengan berdoa :
“Wahai Rabb kami…terimalah puasa kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Para sahabat dan orang-orang shalih bukan hanya berdoa di akhir Ramadhan. Bahkan, konon rasa khauf membuat mereka berdoa selama enam bulan berturut-turut setelah Ramdhan, agar amal-amal di bulan Ramadhan mereka diterima Allah SWT. Lalu, enam bulan setelahnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya.
Perbedaan tashawur (paradigma, persepsi) dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan generasi kita saat ini. Jika sebagian masyarakat, seperti dikemukakan di atas, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri, para sahabat asyik beri’tikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita bayangkan bahwa Madinah di era Rasulullah SAW di sepuluh hari terakhir Ramadhan para lelaki beri’tikaf di masjid-masjid. Bahkan, begitu pula sebagian para wanitanya.
Jika kita sibuk menyiapkan kue lebaran, para sahabat dan salafus shalih sibuk memenuhi makanan ruhaninya dengan mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang siang, terlebih lagi di waktu malam.
Jika kita mengalokasikan banyak uang dan waktu untuk membeli pakaian baru, para sahabat dan salafus shalih menghabiskan waktu mereka dengan pakaian taqwa. Dengan pakaian taqwa itu mereka menghadap Allah SWT di masjid-Nya. Bertaqarrub (mendekatkan diri) dalam khusyu’nya shalat, tilawah, dzikir, dan munajat.
Masih ada waktu bagi kita sebelum Ramadhan benar-benar pergi. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengubah tashawur tentang akhir Ramadhan. Maka, sisa waktu yang ada masih bisa kita manfaatkan untuk mengumpulkan kebaikan.
Pertama, kita lihat lagi target Ramadhan yang telah kita tetapkan sebelumnya. Mungkin target tilawah kita. Masih ada waktu untuk mengejar, jika seandainya kita masih jauh dari target itu. Demikian pula kita evaluasi ibadah lainnya selama 28 hari ini. Lalu kita perbaiki.
Kedua, kita lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan yang tersisa sedikit ini. Mungkin kita tak bisa beri’tikaf penuh waktu seperti para sahabat dan salafus shalih itu. Namun, jangan sampai kita kehilangan malam-malam terakhir Ramadhan tanpa qiyamullail.
Dari Aisyah RA berkata: “Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadhan menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggang”. (Muttafaq ‘alaih)
Apa rahasia perhatian lebih beliau terhadap sepuluh hari terakhir Ramadhan? Paling tidak ada beberapa sebab utama:
Sebab pertama, karena sepuluh terakhir ini merupakan penutupan bulan Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau akhirnya. Rasulullah berdoa:
“Ya Allah, jadikan sebaik-baik umurku adalah penghujungnya. Dan jadikan sebaik-baik amalku adalah pamungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik hari-hariku adalah hari di mana saya berjumpa dengan-Mu kelak.”
Jadi, yang terpenting adalah hendaknya setiap manusia mengakhiri hidupnya atau perbuatannya dengan kebaikan. Karena boleh jadi ada orang yang jejak hidupnya melakukan sebagian kebaikan, namun ia memilih mengakhiri hidupnya dengan kejelekan. Na’udzubillahi min dzalik
Sepuluh akhir Ramadhan merupakan pamungkas bulan ini, sehingga hendaknya setiap manusia mengakhiri Ramadhan dengan kebaikan, yaitu dengan mencurahkan daya dan upaya untuk meningkatkan amaliyah ibadah di sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini.
Sebab kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan turunnya lailatul qadar.
Patut kita renungkan: “Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu Rabbaniyyan. Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba yang Rabbaniyah (hamba Allah yang sesungguhnya).”
Karena ada sebagian manusia yang menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan ketaatan dan qiraatul al-Qur’an, kemudian ia meninggalkan itu semua bersamaan berlalunya Ramadhan.
Kami katakan kepadanya: “Barangsiapa menyembah Ramadhan, maka Ramadhan telah mati. Namun, barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak akan pernah mati.”
Allah Azza wa Jalla cinta agar manusia taat sepanjang zaman, sebagaimana Allah murka terhadap orang yang bermaksiat di sepanjang waktu. Dan karena kita ingin mengambil bekal sebanyak mungkin di satu bulan ini, untuk mengarungi sebelas bulan berikutnya.
Peran Khilafah dalam Menjaga Akidah
Islam di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai agama penyempurna dari agama sebelumnya. Jadi, dalam berislam tidak boleh setengah-setengah harus kaffah sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 208:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Syariah Islam telah menetapkan negara sebagai institusi yang bertanggung jawab sepenuhnya dalam menjaga akidah umat, melaksanakan hukum-hukum syariah dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi SAW:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Tugas pengurusan rakyat tidak akan sempurna jika pemimpin negara tidak ikut campur dalam mengelola dan mengatur urusan-urusan rakyat, termasuk di dalamnya urusan menjaga akidah umat.
Campur tangan negara dalam melindungi akidah umat adalah mutlak demi menjaga individu dan masyarakat secara keseluruhan. Pandangan seperti ini tentu saja berbeda dengan pandangan kaum kapitalis-sekuleris terhadap kedudukan dan fungsi negara. Kelompok kapitalis-sekuleris demi mewujudkan hak-hak individu dan kebebasan telah menempatkan negara sebagai wasit (penengah) yang hanya dibutuhkan tatkala ada konflik di tengah-tengah masyarakat. Selebihnya negara tidak boleh ikut campur dalam urusan-urusan rakyat. Dalam kapitalis-sekuleris, kebebasan individu adalah perkara sakral yang harus dilindungi oleh negara dengan cara membebaskan individu dari kendali dan campur tangan negara. Sebab, kebebasan individu tidak akan bisa diwujudkan jika negara turut campur dalam mengendalikan urusan-urusan individu.
Pandangan semacam ini tentu bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam memandang bahwa akidah dan syariah adalah perkara penting yang harus ada dan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. Negara adalah institusi yang bertugas mewujudkan pandangan ini.
Dari sini dapat dipahami, bahwa memberikan kebebasan kepada setiap individu masyarakat untuk bertindak dan berbuat apapun adalah pandangan yang jelas-jelas sesat dan membahayakan. Selain akan merusak nilai-nilai luhur (Islam) yang ada di tengah masyarakat, kebebasan individu juga akan menjurumuskan masyarakat ke dalam kehancuran dan kebinasaan. Untuk itu, pandangan kaum sekular-liberalis yang ingin membebaskan kendali negara dari urusan-urusan rakyat harus ditolak.
Dalam menjaga akidah umat, peran negara adalah sebagai berikut:
Pertama, menanamkan akidah Islam yang sahih melalui pendidikan yang diselenggarakan di seluruh wilayah kekuasaan negara mulai dari pendidikan tingkat dasar, menengah hingga tingkat tinggi. Negara wajib menjadikan akidah dan syariah Islam sebagai acuan untuk menyusun kurikulum pendidikan formal dan informal.
Kedua, membangun kesadaran politik masyarakat hingga mereka tanggap terhadap setiap upaya yang ditujukan untuk menghancurkan akidah Islam, semacam munculnya gerakan atau partai politik yang menyebarkan kapitalisme, sekularisme, liberalisme, sosialisme, marxisme, demokrasi dan paham-paham kufur lainnya.
Ketiga, menjatuhkan sanksi yang sangat berat terhadap individu atau kelompok yang berusaha menyebarkan paham-paham sesat. Negara bisa saja menjatuhkan sanksi hingga taraf hukuman mati bagi siapa saja yang berusaha mempropagandakan paham-paham sesat.
Negara harus berperan aktif dan turut campur dalam melindungi akidah umat dari setiap upaya yang ditujukan untuk menggerus, menistakan dan melenyapkan akidah Islam. Salah satu peran aktif dalam menjaga akidah umat adalah menerapkan sanksi bagi siapa saja, baik kelompok maupun individu, yang ingin merusak kesucian dan eksistensi akidah Islam.
Dengan penjagaan akidah umat yang dilakukan oleh negara juga bisa melanggengkan nuansa keimanan selama Ramadhan dan setelahnya. Sehingga umat tidak mudah jatuh terlena dalam gemerlap dunia. Hal inilah yang menjadikan keimanan bisa terpelihara di dalam jiwa.
Semua ini hanya bisa tercipta manakala syariah Islam diterapkan secara total dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah ala minhâj an-Nubuwwah.
Wallahu a’lam bishowab.