Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, akan memasuki pekan kedua. Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Jabar Berli Hamdani mengatakan, belum ada tanda-tanda perubahan menuju ke arah yang lebih baik meski PSBB telah ditetapkan. Perubahan yang dimaksud, sambung Berli, antara lain terkait dengan sebaran kasus, jumlah pasien yang positif, terinfeksi, pasien yang sembuh, hingga pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara itu, Sekda Bandung Ema Sumarna menyebut, angka pasien yang terinfeksi di Kota Bandung hingga Senin (27/4) berjumlah 220 pasien. Dari angka tersebut, terdapat 20 pasien yang sembuh dan 28 pasien yang meninggal dunia. Berdasarkan data, Ema mengakui kasus corona di Kota Bandung tidak mengalami penurunan. Selain melakukan PSBB, pihaknya kini sedang melakukan rapid test pada 4 ribu lebih warga. Hasilnya, terdapat 371 orang yang terindikasi terinfeksi corona (kumparan.com).
Prof. Cecep Darmawan selaku pengamat kebijakan publik menilai penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Bandung belum berhasil sepenuhnya. Diberlakukannya PSBB selama 14 hari belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Beberapa ruas jalan di Kota Bandung pun masih ramai saat PSBB. Menurutnya, itu merupakan risiko dari PSBB yang kebijakannya setengah-setengah.
"Ya, memang kalau PSBB risikonya begini, ini kan kebijakan setengah-setengah, beda dengan lockdown (karantina wilayah), ketat sekali, kalau PSBB. Ya, longgar, kan ada jalan-jalan tertentu yang tidak dijadikan posko, seakan bebas-bebas aja nampaknya," katanya.
Selama PSBB diberlakukan, masih banyak masyarakat yang mengabaikan aturan yang diterapkan. Padahal, salah satu kunci kesuksesan penerapan PSBB menurutnya bukan hanya pada penegakan aturan di lapangan, tetapi kedisiplinan masyarakat juga harus ditingkatkan (tribunjabar).
Pada zaman Rasulullah saw, jika ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit Tha’un, beliau memerintahkan untuk mengisolasi atau mengkarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus. Jauh dari pemukiman penduduk. Ketika diisolasi, penderita diperiksa secara detail. Lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat. Para penderita baru boleh meninggalkan ruang isolasi ketika dinyatakan sudah sembuh total.
Begitupula di masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra. tatkala terjadi wabah Tha’un di masa kepemimpinannya pada tahun 17 atau 18 H (baca Badzl al-Ma’un karya Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, hal.241-249). Umar memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Syam dan kembali ke Madinah. Mendengar sikap dan kebijakan Umar, Abu Ubaidah yang menjadi pemimpin pasukan di Syam, menyampaikan keberatan, seraya berkata, “Apakah (dengan keputusanmu itu) engkau hendak lari dari ketentuan (qadha) Allah?” Umar langsung menyambut, “Andaikan yang bicara seperti itu bukan engkau wahai Abu Ubaidah, tentu aku….” Umar tidak melanjutkan. Mungkin Umar menghargai Abu Ubaidah sebagai pemimpin Syam ketika itu, Umar melanjutkan jawabannya:
“Benar, kita lari dari takdir Allah, kepada takdir Allah yang lain. Apa pendapatmu andaikan engkau mempunyai sekumpulan onta yang memasuki dua jenis lembah, yang satu lembahnya subur dan satunya lagi tandus. Andaikan engkau menggembalakannya di lembah yang subur, maka sebenarnya itu atas takdir Allah, dan andaikan engkau menggembalakannya di lembah yang tandus, maka sebenarnya itu atas takdir Allah pula?.”
Kebijakan yang diambil Khalifah Umar ra. bukan sekedar membatasi aktivitas masyarakat serta menjauhkan dari kerumunan atau orang yang berpenyakit, tapi juga memberikan kebijakan lain berupa pemenuhan kebutuhan rakyat secara maksimal bagi yang terjangkit maupun yang tidak. Ini dilakukan sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai pemimpin sekaligus kepala negara. Di pundaknya lah pelayanan umat harus terealisasi dengan cara yang tidak melanggar hukum syara ataupun mengabaikan hak umat. Hal ini selaras dengan firman Allah Swt :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (TQS An-Nisa: 58)
Praktik kepemimpinan Umar bin Khattab senantiasa sejalan dengan yang dicontohkan Rasulullah maupun sabdanya, meski dalam kebijakan ada juga yang diambil Umar sesuai dengan ijtihadnya manakala tidak ditemui dalam firman Allah maupun sabda Nabi-Nya. Namun yang jelas ia ingin kepemimpinannya termasuk kepemimpinan yang dilakukan secara adil.
Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci Allah dan sangat jauh dari allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR. Turmudzi)
Dengan demikian, pemberlakuan PSBB yang dilakukan pemimpin penerap Islam dengan pemimpin bukan penerap Islam akan berbeda secara signifikan terlebih dari sisi kemaslahatan umat dan tanggung jawabnya terhadap Sang Khalik, Allah Swt. Maka jangan berharap kebijakan sistem sekuler akan mampu mensolusikan masalah umat sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan Khalifah Umar bin Khattab, sebab sistem serta aturannya berasal dari undang-undang buatan manusia, yang sampai kapan pun tidak akan membawa kebahagiaan dunia akhirat hingga pemerintahan Islam ditegakkan mengganti sistem pemerintahan kufur.
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Tags
Opini