Oleh : Titi Ika Rahayu
Hampir genap 3 bulan sudah Indonesia dirundung duka. Sejak diumumkan kasus pertama virus Corona di Indonesia awal Maret lalu, sampai hari ini grafik kasus virus Corona belum juga menunjukkan penurunan. Sebelumnya pemerintah sempat bernafas lega sebab beberapa waktu tidak ada penambahan jumlah kasus, namun ternyata hal itu tidak berlangsung lama karena di hari berikutnya jumlah kasus kembali naik.
Melihat data Corona yang masih fluktuatif, beberapa kalangan pun melakukan prediksi kapan kasus virus Corona di Indonesia ini akan berakhir. Berdasarkan hasil riset dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang dipublikasikan pada Hari Rabu (29/4), untuk Indonesia, 99 persen kasus virus Corona akan berakhir Juni 2020 (cnnindonesia. com, 29/04/2020).
Riset Denny JA ini bukan survei opini publik atas virus Corona. Riset ini bertujuan mengolah data sekunder dari tiga sumber yakni dari Worldmeter data dunia virus Corona, Singapore University of Technology and Desaign, dan berbagai hasil riset lainnya.
Hal ini diragukan oleh epidemiolog dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran (Unpad), Bony Wien Lestari karena hingga saat ini angka pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 masih terus melonjak. Per 8 Mei 2020, ada 13.112 kasus positif Covid-19 di Indonesia, dengan penambahan 336 pasien Covid-19 dalam 24 jam terakhir (covid19.go.id)
Diperkuat dengan data terbaru yang masuk, angka positif virus Corona di Indonesia yang dikonfirmasi pemerintah kini bertambah menjadi 14.032 kasus. Jumlah itu meningkat sebanyak 387 kasus dibanding sehari sebelumnya. Data terbaru kasus Corona disampaikan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto (detiknews.com,10/05/2020).
Berbagai prediksi akan berakhirnnya virus Corona dalam waktu dekat tentu membuat lega berbagai kalangan, sebab prediksi-prediksi tersebut sekaligus mewakili harapan dari semua orang. Memang tidak salah dalam berharap, akan tetapi optimis berlebihan terhadap prediksi yang belum pasti juga menimbulkan bahaya yang mengancam. Salah satunya dapat melonggarkan disiplin dan kontrol kita serta perputaran virus dan infeksi.
Padahal, berdasarkan data terbaru jumlah angka positif virus Corona masih terus bertambah, hal ini tentunya justru membuat kita semakin waspada dan hati-hati, apalagi sebentar lagi kita akan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Jika tidak ada disiplin dan kontrol dalam diri, maka realita prediksi hanyalah mimpi.
Negara adalah garda terdepan dalam menangani wabah virus Corona ini. Kekompakan antara kebijakan pusat dengan daerah sangatlah penting. Agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat. Sebab aturan tiap daerah berbeda-beda. Ada yang ketat dan ada juga yang masih abai.
Kedisplinan rakyat dan kesungguhan dalam melawan dan menghentikan penyebaran virus ini tergantung pada bagaimana sikap negara. Sebab, negaralah yang paling punya wewenang untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bisa memaksa rakyat untuk patuh pada protokol kesehatan.
Sebagai contoh negara-negara tetangga kita yang berhasil menekan jumlah baik orang yang positif maupun orang yang meninggal. Kunci sukses mereka adalah dengan adanya penelusuran kontak, prosedur karantina yang ketat dan pembatasan perjalanan yang terukur. Rasulullah SAW sebagai uswatun hasanah bagi kita pun telah mencontohkan bagaimana beliau menghindari penyakit dan wabah.
Saat Rasulullah hendak dibaiat oleh seseorang, Rasulullah melihat tanda-tanda penyakit kusta di tangan orang itu. Lalu Rasulullah urung berjabat tangan, padahal biasanya beliau selalu berjabat tangan saat menerima baiat.
Rasulullah saw bersabda : "Hindarilah penderita kusta seperti engkau lari dari harimau." (HR. Ibnu Majah)
Hal ini juga yang dilaksanakan Khalifah Umar bin Khattab ketika melakukan perjalanan menuju Syam, beliau mendengar kabar ada wabah penyakit di Syam. Setelah bermusyawarah dengan para sahabat, Khalifah Umarpun memutuskan untuk kembali pulang ke Madinah.
Mendengar perintah tersebut Abu ‘Ubaidah bin Jarrah (pemimpin pasukan di Saragh) bertanya: “Apakah kita hendak lari dari takdir Allah?” Umar menjawab: “Mengapa kamu bertanya demikian, wahai Abu ‘Ubaidah?” Beliau meneruskan: “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain.” Umar balik bertanya, “Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu saat menggembalakannya engkau menemui suatu lembah yang mempunyai dua sisi; sisi yang satu subur dan sisi lainnya tandus. Bukankah jika engkau memilih menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala di dalam takdir Allah? Dan jika pun engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala di dalam takdir Allah?”
Di tengah perbincangan Umar dengan Abu Ubaidah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang sebelumnya pergi meninggalkan rombongan karena suatu hajat. Lalu Abdurrahman bin ‘Auf berkata: “Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah bersabda:
"Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak menyelamatkan diri."
Mengapa perhatian Khalifah Umar pada keselamatan rakyatnya sangat besar? Karena dalam sistem Islam memiliki konsep bahwa seorang pemimpin adalah raa'in ( pengurus umat) dan junnah (pelindung). Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban dihadapkan Allah terkait umat yang diurusnya. Sungguh besar murka Allah ketika rakyatnya tak teriayah dengan baik.
Seperti itulah seharusnya seorang pemimpin, rasa takutnya kepada Allah membuat dia bersungguh-sungguh dalam mengatasi segala macam permasalahan umat. Bukan malah abai dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak solutif. Paradigma berfikir seorang pemimpin yang takut kepada Allah hanya akan terbentuk pada sistem Islam. Sebuah sistem yang akan menerapkan Islam secara kaffah.
Tags
Opini