Oleh: Neng Ipeh*
Banyak orang bercita-cita populer di media sosial. Mereka lantas berlomba-lomba membuat beragam konten yang dirasa menarik dan dapat dikonsumsi publik. Ada yang membuat konten pamer kemewahan, sementara yang lain memutuskan aksi jahil atau populer dengan sebutan prank. Hingga belakangan ini konten-konten Youtube dan media sosial banyak diisi dengan video prank (candaan, gurauan). Parahnya ada beberapa prank yang membuat resah masyarakat. Prank merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti gurauan. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prank diartikan sebagai senda gurau, kelakar, olok-olok, dan seloroh. (kamuskbbi.id/13/05/2020)
Prank di zaman sekarang ini dimaknai sebagai sesuatu guyonan yang bisa dikatakan membohongi seseorang dan bersifat 'mengerjai', diatur seolah-olah serius namun ternyata hanya bohongan dengan tujuan supaya target prank merasa kaget, terkejut, atau bahkan merasa malu. Konten prank sebenarnya tak melulu soal hal-hal yang buruk, namun yang amat disayangkan adalah konten prank yang marak di Indonesia sekarang ini lebih banyak membawa dampak negatif daripada dampak positif. Prank sebenarnya masuk ke dalam kategori permainan yang tujuannya untuk meramaikan (memeriahkan) suasana dengan mengecoh orang lain melalui usaha mengaburkan logika dan realita. Tapi, dampak yang ditimbulkan ternyata sangat luas terutama untuk korbannya. Sayangnya tak hanya untuk pelaku dan korban karena dampak ini juga bisa dirasakan orang yang menonton, khususnya usia muda atau remaja yang masih labil. Bisa jadi mereka ikut-ikutan karena dianggap seru dan lucu.
"Tren seperti itu tidak baik dan berdampak buruk bagi banyak pihak. Bagi si pelaku, akan mendapat kecaman dari orang yang terkena prank atau dari penonton maupun netizen. Sementara bagi penonton yang masih remaja atau usia labil, bisa ikut-ikutan karena hal ini dianggap seru, lucu, dan menantang. Sehingga kondisi di lingkungan sosial semakin memburuk" kata Nuzulia Rahma, psikolog ProHelp Center. (health.detik.com/13/05/2020)
Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi pun menilai aksi prank hanyalah untuk mencari eksistensi. Apalagi prank belum menjadi budaya masyarakat Indonesia. Sehingga kebanyakan orang menganggap tindakan ini terkesan mempermainkan dan merendahkan martabat seseorang.
“Prank belum menjadi budaya kita di Indonesia. Aksi itu familiar di masyarakat terbuka atau demokratis. Masyarakat kita dalam transisi, sehingga ada segmen yang belum bisa menerima hal tersebut,” kata Sigit. (nasional.okezone.com/13/05/2020)
Sungguh memprihatinkan bahwa pada hari ini umat Muslim menganggap kebohongan sebagai perkara biasa, bahkan dianggap sebagai bagian dari kehidupan. Kita mengenal istilah April Mop, Prank, dan pencitraan hanya untuk meraih dukungan dan panjat sosial (pansos) ditengah masyarakat. Padahal Berdusta bukanlah karakter seorang Muslim, melainkan ciri kemunafikan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: jika bicara, dusta; jika berjanji, ingkar; jika dipercaya, khianat.” (HR al-Bukhari)
Maraknya fenomena prank adalah akibat diterapkannya sekulerisme sebagai aturan kehidupan ditengah-tengah masyarakat. Hal ini menjadikan masyarakat meletakkan dasar dari benar dan salah dalam melakukan sebuah perbuatan bukanlah pada boleh atau tidaknya dalam hukum syariat Islam melainkan pada kepentingan dan pandangan masyarakat semata. Apalagi hal ini dikukuhkan dalam bentuk sistem pendidikan yang berbasis Sekulerisme-Kapitalis.
Dalam sistem pendidikan sekuler, umumnya usai menerima ijazah hanyalah bekerja. Sekolah adalah untuk bekerja. Tidak ada lagi yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menambah ketakwaan. Justru pelajar semakin dijauhkan dari Islam. Pelajar semakin dijauhkan dari kepribadian Islam. Bahkan dibentuk menjadi orang yang phobia dengan Islam. Lebih senang berkiblat pada gaya hidup ala budaya barat. Semakin kebarat-baratan, dianggap semakin modern, benar dan cerdas. Inilah yang kemudian membuat kebangkitan umat islam semakin jauh. Generasinya jauh dari nilai agama. Generasinya rapuh. Bukan generasi yang tangguh dengan kualitas optimal.
Kurikulum sekuler yang diterapkan di sekolah negeri saat ini juga telah membangun kepribadian dengan tsaqafah asing yang bukan Islam. Agama Islam bukanlah kompetensi utama yang harus dimiliki anak sehingga pelajaran agama kalah bersaing dengan pelajaran matematika. Bahasa Arab pun kalah bersaing dengan Bahasa Inggris. Padahal untuk bisa memahami Alquran dan Islam, syaratnya adalah menguasai bahasa Arab. Maka bisa dikatakan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam tidak tercapai. Sebaliknya, anak-anak justru terdidik dengan tsaqafah selain Islam. Sangatlah wajar out put dari pendidikan kita sekarang telah menghasilkan generasi muda yang banyak melakukan kemaksiatan semisal seks bebas, narkoba, aborsi, tawuran, bahkan melakukan pembunuhan.
Jika kita mengharapkan perubahan gemilang dan lepas dari keterpurukan, maka solusinya adalah kembali kepada sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam ini telah berhasil menyatukan iman, ilmu dan amal di dalam setiap individu generasi sehingga mereka tak hanya menjadi ahli dalam ilmu-ilmu, namun juga orang yang bertakwa kepada Allah. Terbukti sepanjang sejarah peradaban Islam, sistem pendidikan Islam telah mencetak generasi yang akalnya cerdas dan sikapnya saleh. Hanya sistem pendidikan Islam sajalah yang mampu menghadirkan sosok ilmuwan yang erat menggenggam iman dan tsaqofah Islam. Intelektual yang melahirkan karya tidak hanya untuk dunia tapi juga untuk akhirat.
*(Aktivis BMI Community Cirebon)
Tags
Opini