Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Ada peribahasa sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Agaknya, peribahasa ini bisa kita analogkan pada apa yang dilakukan pembesar-pembesar di negeri ini. Niatannya bagi bantuan sosial ( Bansos) namun ternyata mereka berpikir strategis alangkah baiknya jika ini bisa sekaligus mengenalkan siapa saya.
Sebagaimana dilansir CNN Indonesia pada tanggal 29 April 2020, terdapat foto Bupati Klaten Sri Mulyani yang menempel di paket bantuan sosial (bansos) penanganan virus corona (Covid-19) yang berisi hand sanitizer, beras, masker, hingga buku tulis untuk siswa.
Kemudian di DKI Jakarta , diselipkan surat dalam bantuan sosial 1,2 juta paket sembako yang dibagikan di Ibu Kota. Berisi pesan Anies Baswedan kepada warga, yang berharap bantuan sosial tersebut dapat meringankan beban warganya. Sekaligus mengajak masyarakat bersama menghadapi krisis corona ini.
Masih dilansir oleh CNNIndonesia, politisasi bansos tak hanya di tingkat daerah, juga terjadi di tingkat nasional. Pemerintahan Joko Widodo membagi bansos dengan nama Bantuan Presiden RI . Seolah-olah bantuan dikeluarkan langsung oleh Jokowi. Padahal sumber dana bantuan sosial berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari uang rakyat.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo berpendapat kultur politisasi bansos sudah terjadi sejak lama di dunia politik. Di Indonesia, praktik ini marak dilakukan setidaknya sejak pemerintahan Presiden SBY meluncurkan bantuan langsung tunai (BLT).
Ini merupakan salah satu trik kampanye dalam politik. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi. "Istilahnya pork barrel, tong yang isinya daging babi dulu di Eropa. Jadi memberikan supply makanan kepada konstituennya, bahkan jauh hari sebelum pemilu. Tujuannya membangun favorability, kesukaan terhadap dia."
Analis Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai politisasi bansos bertentangan dengan asas tata kelola pemerintahan yang baik karena mengabaikan transparansi. Seolah-olah bantuan itu diberikan langsung oleh sang kepala daerah atau kepala negara.
Kreatifitas yang justru menimbulkan polemik, melukai hati rakyat bahkan kemudian menurunkan tingkat kepercayaan bahwa pemimpin pilihan mereka iklas mengurusi mereka. Ternyata hanya pencitraan semata, kembali urusan kesejahteraan loss alias tak akan tercapai. Ironi!
Namun dalam politik Demokrasi hal ini wajar terjadi, sebab karakter sistem ini dibangun di atas dasar sekulerisme. Tak ada pengakuan atas ketakwaan seseorang yaitu takut kepada Allah SWT jika ia berbuat curang dan tak adil kepada rakyatnya. Yang ada adalah manfaat, maka sebanyak mungkin mereka akan memanfaatkan momen berbagi bansos ini untuk kembali " mengingatkan" rakyat bahwa wakil pilihan mereka masih ada.
Namun rakyat yang lapar tak butuh itu, sejak awal memilih para pemimpin itu hanya dengan satu tujuan, yaitu adanya perubahan pada taraf hidup mereka. Miris di tengah pembagian bansos justru muncul berita kelaparan dimana-mana. Padahal pemerintah mengaku sudah menggelontorkan dana yang cukup banyak.
Anehnya, jika tak sempurna bahkan bermunculan borok dimana-mana, mengapa masih meletakkan harapan Demokrasi bakal memperbaiki dirinya sendiri? Kita ganti pemimpinnya saja, pasti nanti juga ganti keadaan. Nyatanya? Guna meredam keinginan masyarakat, wakil presiden sudah diambil dari kalangan ulama. Bukan ulamanya yang salah namun pemikiran yang diemban guna mengatur urusan rakyat inilah yang salah.
Makin dipertahankan, makin memperbanyak bukti derita rakyat hidup dalam sistem Demokrasi. Naifnya, kemudian menyamakan gaya pemimpin hari ini ketika membagikan bansos sama dengan Umar bin Khattab . Sungguh terlalu, mereka buta sejarah karena nafsu syahwat pembelaan kepada yang batil.
Umat bin Khattab tak pernah sekalipun memberi bantuan dengan di lempar dari atas mobil yang berjalan kemudian rakyat memungutinya bak pengemis . Umar bin Khattab juga tak pernah menggunakan uang rakyat, namun yang dari pengumpulan fai, jizyah dan kharaz dari pengelolaan kepemilikan umum dan negara.
Jelas tak bisa kita membandingkan dengan sistem Islam. Tidak apple to apple. Sistem Islam (khilafah) lahir dari ketaatan sempurna seorang hamba, yang hanya menerapkan hukum Allah bukan yang lain. Yang memimpin dengan amanah dan takwa bukan pencitraan.
Umar tak pernah berpikir ia akan menjadi terkenal ketika memanggul sekarung gandum ke rumah seorang janda yang sedang memasak batu, bahkan janda itu tak tahu jika yang memasak gandum menjadi bubur kemudian menyuapkannya ke anak-anaknya hingga kenyang itu adalah Khalifah.
Pemimpinnya yang mulia, sebab Umar sadar, adanya pemimpin adalah untuk melayani, demikian pula yang dicontohkan Rasulullah di sepanjang kepemimpinannya. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini