Oleh: Diana Wijayanti, SP
Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan berita pengunduran diri Belva Devara, CEO aplikasi Ruang Guru yang sekaligus menjadi Staf Khusus Milenial Presiden Republik Indonesia. Pasalnya, Ruang Guru ditunjuk sebagai salah satu mitra pemerintah dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dalam program Kartu Prakerja.
Penunjukan Ruang Guru, sebagai aplikator Kartu Prakerja tanpa lelang terbuka disinyalir ada Abuse of power (penyalahgunaan wewenang) yang kental aroma korupsi, kolusi dan nepotisme. Pasalnya Belva dianggap mendapat proyek pelatihan itu karena posisinya saat ini yang dekat dengan penguasa.
Pengunduran ini didesak oleh polemik yang terjadi di tengah netizen akibat penunjukan Pemerintah tersebut. Salah satu protes keras disampaikan oleh Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Rachland Nashidik lewat akun Twitternya @ Rachland Nashidik, Selasa (14/4/2020)
Tidak tanggung-tanggung, anggaran dana yang digelontorkan pemerintah cukup fantastis mencapai Rp 5,6 Triliun untuk delapan pihak yang ditunjuk. Dana sebesar ini tentu sangat menggiurkan para pebisnis. Termasuk Belva, yang akhirnya mundur dari jabatan Staf Khusus Milenial Presiden.
Untuk program Kartu Prakerja sendiri ternyata uang dari pemerintah tidak langsung bisa dicairkan oleh orang yang berhak. Pasalnya dari sejumlah uang itu berkisar Rp 1 juta untuk biaya pelatihan, yang hanya bisa diakses di aplikator yang ditunjuk, salah satunya adalah Ruang Guru.
Sontak saja protes terhadap kebijakan inipun tak terelakkan, bukan saja tidak merata bagi yang sangat membutuhkan, tetapi juga kecilnya nilai uang yang diperoleh oleh penerima kartu. Bagaimana bisa merata, faktanya kartu prakerja hanya bisa diakses warga yang paham teknologi, pendaftaran online. Sementara warga yang tidak mampu mengakses media online bisa dipastikan tak akan kebagian jatah.
Sementara dari sejumlah uang yang dibagi, ternyata tak bisa dicairkan dalam bentuk uang, tapi berbentuk pelatihan. Dan ternyata pelatihan yang diberikan aplikasi Ruang Guru, tak ada bedanya dengan tayangan youtube, yang bisa dinikmati secara gratis.
Sebelumnya kasus serupa juga terjadi pada Andi Taufan Garuda Putra, salah satu Staf Khusus Milenial Kepresidenan yang memakai logo Kesekretariatan Negara Republik Indonesia untuk menyurati seluruh Puskesmas di Kecamatan agar menyampaikan kebutuhan APD. Data ini yang dipakai perusahaannya agar bisa memasok seluruh APD di seluruh Indonesia. Bayangkan berapa besar keuntungan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan APD tersebut.
Tentu, masyarakat sebenarnya sudah tahu, atau sudah menjadi rahasia umum bahwasanya orang yang duduk di kursi kekuasaan sangat dekat dengan peluang bisnis, yang sangat menguntungkan. Oligarki kekuasaan dan praktik kepentingan inilah adalah faktor yang paling menonjol dalam sistem Kapitalisme.
Sistem Demokrasi Kapitalisme yang berbiaya tinggi untuk menjadi penguasa, membuat para penguasa mencari dana besar untuk membuatnya jadi. Maka wajar jika setelah menjadi penguasa mereka berlomba-lomba untuk mengeruk harta sebanyak-banyaknya sebagai kompensasi atas biaya yang dikeluarkan.
Inilah yang terjadi saat ini, hingga kondisi Pandemi yang sangat menyulitkan rakyat pun, Penguasa itu tetap tega mencari kesempatan ditengah kesempitan.
Sebelum aksi perampokan negara dilakukan, landasan hukum yang melegalkan perbuatannya dibuat terlebih dahulu. Muncul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no 1 tahun 2020 dikeluarkan agar, dengan alasan penanganan Pandemi Covid-19 uang negara digelontorkan. Dan yang mengerikan lagi, semua tindakan penguasa tersebut bebas dari jeratan penyidikkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tidak bisa diperkarakan, bila ada penyimpangan oleh pejabat publik.
Dana yang diduga jadi rebutan para Penguasa Korup itu diputuskan sejumlah Rp 405,1 Triliun. Dana ini bukan berasal dari dana Pemindahan Ibukota maupun dana Insfratruktur yang sangat menguntungkan kapitalis, namun akan diambil dari hutang luar negeri, dana abadi pendidikan, dana haji dll.
Inilah watak asli negara yang menerapkan sistem Kapitalisme, Penguasa bukan berfungsi meriayah umat namun menjadi mitra pengusaha menguras kekayaan umat. Maka jangan harap mereka tulus melayani umat.
Bagaimana Fungsi Penguasa dalam Pandangan negara menghadapi wabah?
Islam adalah agama yang sempurna tidak hanya mengatur masalah ibadah, yang sifatnya spiritual saja namun juga politik atau siyasah. Islam adalah ideologi yang mampu berhadapan langsung dengan ideologi yang ada di dunia saat ini, baik Kapitalisme-Sekulerisme maupun Sosialisme-Komunisme.
Dalam Islam seorang penguasa adalah pelayanan dan pelindung rakyatnya bukan pedagang dan penghisap kekayaan rakyatnya. Hal ini tercantum dalam Hadits yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.
Penguasa adalah Ra'in,
Rasulullah Saw bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Makna raa’in ini digambarkan dengan jelas oleh Umar bin Khathab, ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan sampai-sampai memasak batu. Atau ketika beliau di tengah malam membangunkan istrinya untuk menolong seorang perempuan yang hendak melahirkan .
Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorangpun yang berhak menerima zakat.
Penguasa sebagai Junnah,
Nabi Muhammad Saw bersabda:
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Fungsi junnah dari penguasa ini tampak ketika adamMuslimah yang di nodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi Saw melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, sebagai kepala negara, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan Rasulullah Saw, demi menjadi junnah bagi Islam dan kaum Muslim.
Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khalifah.
Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, yang menolak upaya Yahudi untuk menguasai tanah Palestina. Semua ini adalah representasi dari fungsi junnah para Khalifah.
Apakah Penguasa yang bertanggungjawab mengurus dan melindungi Rakyat bisa diwujudkan dalam sistem Kapitalisme-Demokrasi?
Melihat realitas yang terjadi hingga hari ini, sebenarnya Penyalahgunaan wewenang oleh penguasa tak terbatas pada rezim ini saja. Kalau kita cermati sejak ditetapkan sistem Kapitalisme di negeri ini maka kita bisa melihat sejak Orde Baru sudah dikenal istilah KKN ( Korupsi-Kolusi-Nepotisme).
Sejatinya praktik KKN ini tak kunjung hilang meskipun, ada Badan Pengawas Keuangan (BPK) bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sumber dari praktik ini adalah adanya Sistem Demokrasi yang diadopsi sebagai Sistem Pemerintahan di negeri ini.
Demokrasi meniscayakan Jabatan Bergengsi kekuasaan bisa diraih dengan biaya yang sangat tinggi, dan itu hanya bisa diakses oleh Pengusaha atau orang yang didukung pengusaha baik level nasional maupun internasional.
Maka Penguasa yang terpilih tentu terikat dengan kepentingan untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan atau membuat regulasi hukum yang menguntungkan pengusaha yang menyokong biaya pemilihannya.
Inilah wajah asli sistem Kapitalisme-Demokrasi yang hanya berpihak kepada Kapital atau pemilik modal dibandingkan dengan mengurus rakyatnya.
Kita tak kan pernah merasakan kepedulian penguasa yang tulus ikhlas sebagaimana Rasulullah Saw yang menyuapi bahkan mengunyahkan makanan untuk seorang Yahudi buta, yang tiap hari menebar fitnah dan menghina Rasulullah Saw. Hingga ketika Rasulullah Saw wafat sang Yahudi merasakan kehilangan, dan mendorongnya masuk Islam.
Kita pun tak kan pernah menemukan seorang kepala negara sebagaimana Umar bin Khathab yang rela merasakan kelaparan berhari-hari, dan mengharamkan makan keju dan susu kegemarannya, pada saat wabah melanda negerinya.
Atau menemukan seorang Kepala Negara yang hanya berkuasa kurang-lebih selama dua tahun namun berhasil memakmurkan seluruh negeri hingga, tak ditemui orang miskin seorang pun, bahkan burung-burung pun mendapat jatah makan, yang sengaja ditaburkan oleh penguasa agar tidak ada seekor binatang pun yang kelaparan.
Masya Allah, sungguh jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (Sandang, Pangan dan Papan), Kesehatan, Pendidikan dan Keamanan. Bahkan Allah Swt mewajibkan fasilitas umum itu gratis bagi seluruh warga negara baik yang kaya maupun miskin, baik muslim maupun non muslim.
Fakta sejarah, hukum wajib dari syariah yang tak berubah dan kebutuhan mendesak saat ini, membuat kita benar-benar membutuhkan penerapan Islam secara Kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyyah ala Minhajin Nubuwah. Penguasa yang takutnya hanya kepada Allah Swt bukan pada Kaum Kafir Penjajah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini