Oleh : T2N
Pesan mendalam ditengah wabah Corona adalah berpulangnya seorang seniman tradisional ke haribaannya. Seluruh halaman media cetak maupun media elektronika mengucapkan bela sungkawa kepada Sang maestro yang terkenal dengan kesederhanaannya. Ada yang menggelitik dibalik kisah terakhir sang seniman, sempat membuat geger para penggemarnya. Setelah beberapa hari menjelang kepergiannya sang seniman vocal mengadakan konser amal untuk korban pandemi Covid-19. Subhanallah dengan waktu terhitung hanya 3 jam mendapat dana yang fantastis hingga 5,3 M. Semuanya disumbangkan kepada korban pandemi tanpa embel – embel, hanya dengan kata “ hanya ini yang bisa saya sumbangkan kepada saudaraku yang terkena dampak pandemi.”,( Jawa Pos,06/05/2020 ).
Setelah mangkatnya sang seniman ada dua kubu yang saling mengklaim kepercayaan sang maestro. Dalam berita mereka sudah memframing nama Dionisius Prasetyo ( Didi Kempot ).
Media tidak ada yang menjelaskan bahwa sang seniman sudah mualaf dari tahun 1997, dan tidak ada yang menulis perjalanan menjadi seorang mualim. Semua penggemar muslimnya geger, ketika ada foto entah siapa yang difoto dengan dandanan pengantin di dalam peti jenazah dengan berita utamanya sang seniman. Sontak semua penggemar mencari sumber yang benar tentang pribadi sang seniman, semua yang ada hubungannya dengan sang seniman, dikorek dibaca hingga tuntas, nyata berita itu hoaks.
Kondisi seperti ini tidak ada yang menegur, tidak ada klarifikasi atas pemberitaan yang tidak benar tersebut. Semua tenggelam dibenak para pembaca, karena kebanyakan masyarakat tidak mau tahu dengan berita semacam itu. Hal ini berbeda dengan berita selingkuh, perceraian, sosialita para artis yang cantik-cantik. Beritanya heboh dan setiap hari menghiasi layar kaca, itulah media sekuler. Ternyata sang seniman adalah muslim sejati sejak beliau masuk Islam, bahkan sudah mewakafkan masjid untuk umat. Berita dari sudit pandang ini sangat minim, karena media dikuasai kaum sekuler yang hanya mengacu pada materialistis.
Beginilah kualitas media di negeri yang 87% berpenduduk muslim. Tidak ada yang menyaring, tidak ada yang mengontrol sumber berita. Berita dibuat untuk opini yang menyesatkan umat, bukan hanya berita yang remeh temeh soal meninggalnya sang seniman saja, namun hingga urusan kelas dunia dan akhiratpun tidak ada yang transparan pemberitaannya, yang penting bagi mereka berita laku dan tujuannya adalah rating tinggi. Agar beritanya menjadi favorit, padahal berita yang disajikan disajikan belum tentu benar dan valid.
Definisi jurnalistik hanya sebatas pemikiran obyektif yang secara umum kita dapat dari teori-teori jurnalis yang ada. Pemahaman seperti ini menjadi modal dasar bagi para jurnalis terlebih seorang wartawan untuk dapat memenuhi tugasnya sebagi seorang pemburu dan penyampai berita. Bahkan banyak diantara mereka benar-benar secara saklek memegang definisi tersebut sebagai satu-satunya pedoman dalam mencari sebuah berita. Tidak jarang kita melihat pemberitaan di media yang hanya sekedar memunculkan sensasi untuk menarik perhatian masyarakat, tanpa peduli apakah yang disampaikan itu baik atau buruk untuk disampaikan kepada publik. Alasan yang kemudian dilontarkan, semua ini dilakukan untuk kepentingan umum, namun benarkah demikian ?
Makna sebuah berita dalam Islam tidak hanya pada batas-batas obyektif, moral dan etika, namun harus berdasar pada syari’ah muamalah. Hal ini menjadi landasan kuat yang harus sama-sama dipenuhi dengan baik bagi seorang jurnalis. Mengingat dimensi fungsional jurnalistik yang menyangkut kepentingan orang banyak sekaligus mendidik masyarakat/umat. Hal ini yang jarang kita temui bahkan mungkin tidak ada, apalagi saat ini, semua sudah mengarah pada kepentingan material, sehingga pemberitaan kadang menembus batas – batas etika dan moral yang seharusnya diemban oleh seorang jurnalis. Fungsi dari pemberitaan dalam Islam adalah media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial masyarakat. Sehingga menyajikan berita terbaik, baik dihadapan masyarakat dan baik dihadapan Allah Swt.
Islam adalah agama yang syamil mutakamil mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di dunia, tidak terkecuali pada bagian dunia jurnalistik. Seperti yang termaktub dalam TQS surat Al –Hujurat : 6, “Hai orang –orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui kepadanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu".
Ayat diatas mengatur secara singkat bagaimana sikap kita baik sebagai seorang jurnalis atau masyarakat umum dalam menyikapi berita yang kita dapat dari sumber – sumber yang terkait. Kewajiban kita adalah tabbayun (mengkroscek) setelah mendapat pemberitaan agar tidak malah menimbulkan kerugian bagi orang lain bahkan menimbulkan musibah baik individu ataupun kelompok.
Wallahu A'lam Bishshawab
Tags
Catatan