Perpu Corona Menjadi Undang-undang, Rezim Korup Makin Absolut



Oleh : Marsitin Rusdi Sst, Ft, ftr
Praktisi Klinis dan Pemerhati sosial dan lingkungan

Situasi pandemi membuka celah yang sangat lebar untuk mengambil berbagai macam kebijakan. Termasuk menerbitkan perpu tanpa memperhatikan sendi konstitusi dan demokrasi yang seharusnya mereka taati. Banyak kebijakan yang menimbulkan polemik, misalnya kebijakan di bidang kesehatan,  kenaikan BPJS dan denda bila bayar iuran telat, kebijakan ini sungguh tidak sesuai dengan apa yang dimaknai oleh undang-undang sistem Jaminan Sosial Nasional ( SJSN ) maupun undang- undang BPJS.


Sesungguhnya rakyat adalah salah satu pengontrol kebijakan rezim yang akan menjadi kebutuhan bukan karena pilihan. Sudah seharusnya pemerintah mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi warganya, bukan malah menaikkan iuran secara ugal-ugalan yang akhirnya justru menzalimi rakyat.


Dalam bidang ekonomi sangat jelas terkena imbas pandemi, karena kebijakan yang on off alias tidak menjadi solusi bagi bangsa ini. Justru menimbulkan dampak baru bagi negara ini yakni angka kemiskinan semakin melonjak, banyak orang mati karena kelaparan, banyak yang menjadi pengangguran karena banyak perusahaan yang tutup.


Sesungguhnya perpu ini  bukan untuk menangani Covid -19 melainkan perpu untuk mendorong ekonomi. Karena ini tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi, tapi terlalu menitik beratkan pada bidang ekonomi. Harusnya pemerintah memfokuskan pada tindakan exstraordinary untuk melakukan pencegahan dan penanganan krisis pandemi Covid-19,  fokus pada penyebab utama Covid -19 serta
 penanganan, kurangnya APD, bahan makanan, mahalnya suplemen nuhyuk memperkuat imun, bukan hanya akibatnya (ancaman krisis ekonomi).


Seharusnya jika ingin perekonomian segera stabil maka pandemi harus segera diatasi, semakin cepat pandemi berlalu, semakin cepat pemulihan ekonomi. Semakin lambat penanganan wabah maka akan semakin lambat pemulihan. Ibarat pepatah jangan engkau hilangkan kabut asapnya, akan percuma, tapi cari sumber kebakarannya. Pemulihan ekonomi memang penting tetapi jauh lebih penting adalah keselamatan nyawa rakyat.


Mari coba kita telaah bersama dari perppu yang terdiri dari 46 halaman dengan 29 pasal, sesungguhnya ada 5 poin tapi realokasi anggaran dalam pernyataan resminya pemerintah memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 sebanyak Rp 405,1 triliun dan untuk penanganan Covid-19 hanya 75 triliun itu masih global datanya untuk bidang kesehatan. Yang lain dialokasikan untuk ekonomi yakni perpajakan dan stimulasi kredit usaha rakyat serta program pemulihan ekonomi.

Jika dikaitkan dengan pasal 27 , penegakan hak akan dilemahkan ayat 2 dan 3, memberikan imunitas sempurna untuk pejabat-pejabat yang oleh perppu ini diberi kewenangan melakukan tindakan atau keputusannya. Prof Susi, (pikiran Rakyat), kedua ayat pada pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020, secara tidak langsung menutup hak rakyat untuk memperkarakan negaranya. Poin yang kedua ketentuan tersebut juga menutup hak warga negara memperkarakan negara. Pada ayat 3 kebijakan tersebut tidak dapat digugat di peradilan tata usaha negara, yakni pasal 3 telah mematikan fungsi yudikatif untuk memeriksa dan mengadili suatu pelanggaran terhadap undang- undang.

Sesungguhnya reformasi yang mereka gembar gemborkan dalam perppu Corona adalah semu hanya mengelabuhi rakyat, untuk melanggengkan cengkeraman kapitalis. Karena hanya segelintir saja orang yang mau baca Perppu, UU dan Hukum, rakyat ini terlalu tidak peduli dengan hukum karena sudah terbiasa dengan ketidakadilan. Sehingga penguasa tidak bisa dituntut secara hukum atas penggunaan dana Rp.405 triliun disaat wabah dengan dalih reformasi.


Perpu semacam ini bisa menggeser Indonesia sebagai negara hukum menjadi negara kekuasaan, sebaiknya perpp ini ditarik kembali demi menyelamatkan aset bangsa. Yaitu hilangnya hak-hak masyarakat untuk melakukan kontrol sosial terhadap seluruh kebijakan-kebijakan pemerintah yang didasarkan pada perppu tersebut.

Sesungguhnya yang paling krusial saat ini adalah umat dihadapkan pada satu keadaan darurat disebabkan pandemi global Covid -19, namun kebijakan yang diambil pemerintah dalam menyikapi kondisi darurat ini bak panggang jauh dari api, tidak menyentuh akar masalah, termasuk terbitnya perpu ini. Membuat rezim makin absolut untuk melakukan praktek korupsi karena sudah kebal hukum.


Islam sudah punya teori yang luar biasa, sejak zaman kenabian dan itu aturan berasal dari Allah dan Rasulnya untuk tangani wabah atau tha’un. Tidak harus ada perpu yang akan merugikan negara dan membuat rakyat sengsara.

Islam memerintahkan kepada setiap kepala keluarga untuk bekerja. Barang – barang kebutuhan pokok tidak mungkin diperoleh, kecuali apabila manusia berusaha mencarinya, Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rizki, dan berusaha. Banyak firman dan hadis antara lain, “ Dialah Allah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah disegala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya” (TQS al- Mulk [67] : 15)


Negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan kerja agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Jika orang-orang bekerja telah berupaya semaksimal mungkin, namun jika ia tidak memperoleh pekerjaan sementara ia mampu untuk bekerja, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara.

Rasulullah bersabda,” seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan Ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya” ( HR. Bukhari dan Muslim ).

Negara dapat memberikan nafkah dari baitul maal, yang dananya  berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban syariah dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya.
 Sebagaimana firman Allah Swt. “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka..” (TQS, At, Taubah [9]: 103 ).
 Pangan dan sandang adalah kebutuhan pokok umat yang harus terpenuhi, dan tidak seorangpun yang dapat melepaskan diri dari dua kebutuhan itu. Oleh karenanya Islam menjadikan dua hal itu sebagai nafkah pokok yang harus diberikan kepada orang- orang  yang menjadi tanggungjawabnya. Demikianlah negara harus berbuat sekuat tenaga dengan kemampunnya sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang mengaturnya.

Wallahu a'lam








Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak