Oleh: Neng Ipeh*
Di zaman serba online semuanya serba mudah dan cepat. Ingin beli barang yang ada di luar negeri cukup belanja via online. Praktis tinggal buka aplikasi belanja e-commerce, daftar lalu isi data diri lengkap seperti nama, alamat email, nomor ponsel, dan selesai. bahkan dalam hitungan menit, kita sudah bisa langsung belanja barang yang diinginkan.
Soal pembayaran pun tak perlu pusing karena ada banyak opsi pilihan, mulai dari menggunakan kartu kredit, kartu debit, transfer bank via internet/mobile banking, hingga melalui dompet digital perusahaan pembayaran yang bekerjasama dengan e-commerce tersebut.
Hanya saja, dibalik semua kemudahan bertansaksi dan belanja online saat ini, ada juga hal yang perlu diwaspadai yaitu pencurian data pribadi. Kasus pencurian data semakin marak dibicarakan akhir-akhir ini. Sayangnya hal ini masih dianggap remeh oleh sebagian orang tanpa menyadari bahwa pencurian data tersebut dapat berakibat fatal bagi kehidupan mereka.
Belum lama ini, salah satu situs e-commerce Tokopedia dilaporkan mengalami peretasan yang mencuri 91 juta akun dan 7 juta akun pedagang. Walau Tokopedia telah mengatakan bahwa kata sandi dan informasi keuangan aman dari peretasan. Namun data-data seperti email, nama lengkap, nomor ponsel, alamat, tanggal lahir, hingga jenis kelamin dipastikan telah bocor.
Analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi mengatakan bahwa saat ini sayangnya sebagian orang Indonesia masih tidak paham dengan potensi kejahatan akibat kebocoran data pribadi seperti nama lengkap, tempat tanggal lahir, hingga alamat. Hal ini membuat mereka cenderung tidak peduli dengan kebocoran data di samping kata sandi.
"Orang Indonesia cenderung tidak paham dengan bahaya dari data pribadi yang menyebar. Jadi kalau tersebar, mereka biasa saja," ujar Ismail. (m.cnnindonesia.com/07/05/20)
Padahal data-data yang bocor itu dapat disalahgunakan oleh oknum terutama yang berkaitan dengan rekayasa sosial (social engineering). Salah satu contoh penggunaan data pribadi curian yang paling sering terjadi adalah penipuan dengan modus penjahat yang mengaku sebagai teman korban dan meminta sejumlah uang, mengajukan permintaan pinjaman, melakukan bullying, bahkan hingga melakukan pelecehan baik seksual ataupun agama yang tentunya dilakukan dengan identitas orang lain.
Parahnya, para pelaku tak mendapat hukuman yang menimbulkan efek jera meski telah begitu banyak kasus yang berkaitan dengan pencurian data pribadi tersebut. Pasalnya, belum ada Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah (PP) yang dibuat serta disahkan untuk memberikan pelindungan kepada warga negara sehingga hal ini menjadi celah bagi para pelaku kejahatan untuk dapat lolos dari jeratan hukum. Hingga kini, Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) masih belum disahkan oleh pemerintah. Sayangnya, tidak ada satu pun pasal yang memberikan sanksi pidana penjara bagi pihak yang melanggar aturan di dalam draf beleid tersebut karena sanksi yang diberikan hanya sekedar sanksi administratif dan denda saja
Dalam ajaran Islam, hukuman untuk tindak pidana pencurian adalah potong tangan. Sebab, Islam menganggap harta adalah salah satu hal yang harus dijaga. Karena itu, harus ada hukuman setimpal untuk masalah pencurian. Sebagaimana yang tertera dalam Alquran, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلًا مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (TQS. Al-Maidah: 38)
Abdul Qadir Audah dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid V menuliskan, empat imam mazhab, ulama zahiriyah, dan syiah zaidiyah mendefinisikan hukuman potong tangan dari telapak sampai pergelangan. Sebab, mereka beranggapan batas minimal tangan, yakni dari jari sampai pergelangan tangan. Kendati demikian, hukuman potong tangan tidak bisa diterapkan semena-mena karena Rasulullah Shalallaahu’alaihi wa ssalaam pernah bersabda:
تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي رُبُعِ دِينَارٍ
“Tangan pencuri akan dipotong jika mencuri sesuatu yang harganya seperempat dinar atau lebih.” (H.R. Bukhari, No. 6790).
‘Abdullâh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
أََنَّرَسُوْلَ اللَّهِ صّلى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ قَطَعَ سَا رِقًا فِي مِجَنٍّ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ
Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham [Muttafaqun ‘Alaihi]
lantas, bagaimana jika yang dicuri adalah data pribadi?
Islam punya solusi dengan adanya hasil ijtihad dari para mujtahid. Hasil ijtihad yang ada pun tentu tetap berpedoman pada dalil-dalil syara yang ada. Begitu pula jika muncul kasus-kasus baru lainnya. Para mujtahid akan mengerahkan kemampuan mereka untuk menghasilkan ijtihad yang dapat memberi solusi permasalahan manusia dengan tetap menjadikan dalil-dalil syara yang ada sebagai rujukannya. Sehingga solusi yang ada akan selalu sesuai dengan aturan Islam. Hal ini tentu sangat berbeda dengan aturan-aturan dalam demokrasi yang sarat akan berbagai kepentingan manusia. Sayangnya solusi ini hanya bisa terwujud jika negara yang menerapkannya adalah Khilafah semata.
* (Aktivis BMI Community Cirebon)
Tags
Opini