Arif Susiliyawati, S.Hum.
***
Eksistensi seorang pemuda, demi Allah, adalah dengan ilmu dan ketaqwaan. Jika keduanya tidak ada padanya, tidak dianggap keberadaannya. ( Imam Asy-Syafi’I )
(Diwan Al Imam Asy-Syafi’i)
***
Beredar berita tentang aksi prank yang dilakukan empat orang pemuda dengan berpura-pura terjangkit virus corona. Mereka akhirnya ditangkap petugas Gugus Tugas Covid-19 Kabupaten Bone. Sebelumnya, viral pula prank oleh Youtuber Ferdian Paleka yang membagi-bagikan bantuan sosial berisi sampah kepada para waria. Ia ditangkap Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes Bandung akhir April. Banyak juga bertebaran konten prank dengan membatalkan pesanan makanan yang telah dibeli oleh driver ojol. Sungguh memprihatinkan menyaksikan pemuda ‘berkarya’ dan membangun eksistensinya melalui konten asal viral miskin faedah.
Menjamurnya konten prank semacam ini, menurut psikolog Ni Made Diah Ayu Anggreni, M.Psi. didukung oleh tren anak muda zaman sekarang yang ingin popularitas instan dengan cara apapun tanpa pikir panjang. Mereka tak mempertimbangkan apakah prank mereka bisa merugikan orang lain(dalam kasus prank ojol misalnya, pesanan fiktif bisa menyebabkan penilaian terhadap performa kerja drivel ojol merosot. Mereka tidak pikir panjang dulu apakah kontennya menyampaikan pesan yang berfaedah atau malah jadi contoh yang tak pantas. Tidak pula tampak simpati atau empati terhadap ‘korban’ prank mereka yang umumnya termasuk masyarakat ekonomi kelas bawah.
Ini hanyalah salah satu dari banyak efek merusak dari bercokolnya paham sekular pada generasi muda. Sekularisme menganggap aturan agama sebagai intervensi yang harus dijauhkan dari kehidupan karena dianggap mengekang kreativitas dan musuh kemajuan. Akhirnya, ridha Tuhan dijadikan nomor sekian dan para pemuda diajari bahwa kebahagiaan didapat dari uang, ketenaran, kemewahan, atau kenikmatan duniawi yang semu lainnya. Peneliti media dari Remotivi, Roy Thaniago, mengatakan bahwa banyaknya pembuatan konten-konten prank dimotivasi karena faktor uang.
Ketika tujuan hidup dan sumber kebahagiaan jauh dari nilai-nilai agama, halal dan haram bukan lagi jadi pertimbangan amal. Asal bisa viral, puas, dan bertambah pundi pemasukan, tak peduli walau konten yang dibuat menabrak rambu-rambu etika dan agama. Candaan berbalut kebohongan sah-sah saja dalam kacamata sekuler selama dipandang ada manfaat, tentu manfaat menurut akal manusia dan untuk pihak tertentu saja. Sementara dalam Islam, seorang Muslim harus berkata benar dalam candaan sekalipun. Islam juga tidak membolehkan membuat panik atau menakut-nakuti orang lain. Sebaliknya, dengan tren prank, syok, panik, marah, dan takutnya seseorang jadi bahan hiburan dan tertawaan yang bisa mendatangkan pundi-pundi uang bagi pembuatnya.
Parahnya lagi, prank ini bisa membuat ketagihan. Menurut Tony Blockley, seorang kriminolog dari University of Derby, keinginan untuk menakuti dan memberi kejutan (prank) adalah produk obsesi manusia akan sesuatu yang sifatnya sensasional. Ketika seseorang berhasil mengejutkan atau menakuti orang lain, dirinya merasa memiliki kekuatan lebih besar yang membuat seseorang ketagihan. Akhirnya, prank yang dulunya hanya sesekali dilakukan, kini menjadi budaya. YouTuber hasanjr11, misalnya, melakukan prank kepada seorang driver ojek online dengan membatalkan pesanan pizza senilai 1 juta rupiah sampai-sampai si driver ojol menangis. Mirisnya, konten ini disaksikan jutaan kali dan menjadi tren yang diikuti oleh YouTuber lain. Di alam sekular, meraih kebahagiaan dengan cara-cara ala Machiavelli semacam ini lumrah.
Karya-karya asal viral semacam ini tentu jauh berbeda kelasnya jika dibandingkan karya syabab (pemuda) Islam yang dididik di tengah peradaban Islam. Pendidikan berlandaskan aqidah Islam diajarkan sejak di keluarga hingga pendidikan formal yang diselenggarakan negara dari level dasar, menengah, atas, hingga tinggi. Syabab dididik untuk membuktikan kebenaran aqidah Islam secara rasional dan intelektual hingga keyakinan mereka 100% tentang keberadaan Allah SWT sebagai pencipta.
Kokohnya aqidah ini akan membuat syabab memiliki filter yang kuat untuk menghalau pemikiran yang rusak dan godaan kesenangan materi yang sesaat. Berikutnya, akan tumbuh pula kesadaran bahwa kesenangan di dunia hanya seperti setetes air di lautan dibandingkan kenikmatan kekal di Jannah-Nya. Keyakinan pada aqidah Islam dan kerinduan pada Jannah inilah yang membuat pemuda mendedikasikan hidupnya untuk mengejar ridha Allah dan tunduk pada syariah-Nya, jauh dari segala hal yang tidak berfaedah. Mereka bangga mengemban Islam dan dakwahnya karena paham Dien-nya mampu jadi solusi bagi berbagai masalah dunia.
Generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in tentu telah masyhur di tengah kaum Muslimin sebagai tiga generasi terbaik dalam sejarah Islam. Kedekatan sanad ilmunya hingga Rasulullah SAW memuliakan mereka dan dijadikan rujukan berislam oleh generasi setelahnya. Kita mengenal beberapa nama seperti Usamah bin Zaid yang dipercayai Rasulullah SAW memimpin pasukan di usia 17 tahun, Muhammad bin Qasim Ats Tsaqafi yang memimpin pembebasan Indian di usia 16 tahun, Abdurrahman Ad Dakhl yang menjadi pemimpin Andalusia di usia 24 tahun, Imam Syafi’I yang menjadi mufti di usia 15 tahun, dan Imam Bukhari yang menulis karya pertamanya di usia 18 tahun.
Peradaban Islam mencetak jauh lebih banyak lagi syabab (pemuda) yang kiprah dan karyanya penuh manfaat jariyah. Mereka tidak mengemis perhatian manusia apalagi bernafsu untuk viral. Namun, ilmu dan ketakwaan mereka membuat harum namanya dalam sejarah hingga dikenal generasi-generasi setelahnya. Mereka mewariskan ilmu bermanfaat dan amal sholih yang menjadi teladan. Mereka memahami masa muda adalah kekuatan di antara dua kelemahan yang Allah akan mintai pertanggungjawaban.
Generasi berkelas ini hadir di tengah penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyyah. Hanya Khilafah yang kurikulum pendidikannya mampu menyiapkan pemuda agar tak sekadar dewasa fisiknya, melainkan juga dewasa memahami perannya sebagai mukallaf yang beramal dengan penuh kehati-hatian. Hanya Khilafah yang akan menindak tegas setiap pelanggaran syariat Islam agar kemaksiatan tak ditiru dan jadi budaya. Hanya Khilafah yang akan melindungi pemuda dari serangan pemikiran yang dapat merusak dan berusaha melencengkan pemuda dari misi penciptaannya, yakni beribadah mengejar ridha Allah semata. Penerapan Islam secara total ini akan menciptakan iklim keimanan yang membentuk selera masyarakat yang berkelas hingga konten miskin faedah tak bakal ada peminatnya.
Sungguh potensi syabab dulu dan kita saat ini sama. Namun, generasi syabab saat itu punya apa yang syabab hari ini tidak miliki, yakni keteguhan terikat pada Al-Qur’an beserta semua hukum di dalamnya dan negara yang melindungi aqidah Islam. Karena itu, fenomena memprihatinkan pemuda hari ini cukup kiranya menghentak kesadaran untuk mengoptimalkan potensi masa muda yang Allah berikan. Ini saatnya mengkaji Islam sepenuh hati agar kita pun miliki kekuatan aqidah, ketundukan pada syariah, dan kerinduan pada Jannah yang sama dengan yang syabab dahulu miliki. Ini saatnya menyibukkan diri berkarya dalam dakwah mengajak sebanyak mungkin pemuda agar turut berjuang hingga Khilafah Islamiyyah pelindung umat ini segera kembali tegak. Wallahua’lam.
Referensi:
https://nasional.okezone.com/read/2020/05/10/337/2211944/prank-sampah-ferdian-paleka-hingga-hukuman-masuk-tong-sampah
https://www.halodoc.com/konten-prank-diminati-kenapa-orang-senang-melihat-yang-lain-susah
https://kaltim.tribunnews.com/2020/05/05/pandangan-psikolog-soal-konten-video-prank-sembako-isi-sampah-youtuber-ferdian-paleka-yang-viral?page=3
https://voi.id/artikel/baca/737/youtuber-konyol-yang-bahkan-tak-paham-apa-itu-i-prank-i
Tags
Opini