Oleh: Nuraeni Erina Aswari
Baru saja pada Selasa, (21/4/2020) pernyataan larangan mudik yang disampaikan oleh Presiden Jokowi menuai banyak protes dari masyarakat. Kini rakyat kembali dibuat geram dengan kunjungan Presiden ke kampung halaman seraya menyampaikan pembenaran.
Sudah jungkir balik antara lisan dengan perbuatan yang dilakukan. Saat ditanya kembali terkait keputusan, malah memberikan jawaban yang tidak mengenakan, seolah rakyat dangkal dalam paramasastra.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pernyataan yang dilontarkan pemerintah mengenai perbedaan mudik dan pulang kampung dinilai tidak tegas dan justru menimbulkan kebingungan bagi publik. Padahal dua kalimat ini dinilai memiliki efek yang sama, yakni memobilisasi publik dalam jumlah besar.
Peneliti Senior Indef Didik Rachbini mengatakan pernyataan yang membingungkan bagi publik ini justru menyebabkan risiko penyebaran Covid-19 yang meluas. (cnbcindonesia.com, 26/04/2020)
Inkonsistensi ini pada akhirnya berdampak pada tingkat kepatuhan masyarakat. Kedaruratan yang diakibatkan oleh pandemi menjadi buram. Ditambah dengan beban hilangnya sumber pendapatan membuat rakyat tak peduli pada larangan yang sudah diberlakukan.
Belum lagi ketiadaannya jaminan kebutuhan pokok yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah, membuat rakyat di peratauan mengambil jalan pulang kampung walau berisiko berat daripada nyaris mati di kota orang.
Sungguh hal ini merupakan keputusan yang fatal. Jika ribuan orang di perantauan dengan status kota zona merah mengambil jalan pintas keluar dari kota isolasi. Hal ini akan mengancam keamanan kota yang masih berstatus zona hijau dari penyebaran virus.
Semakin parah ditambah dengan kondisi pelayanan kesehatan yang tidak maksimal di kampung halaman. Karantina sepulang dari perantauan akan diabaikan, apalagi jika petugas kesehatan kecolongan dan keluarga si perantau pilih cari aman.
Betapa besar risiko yang muncul hanya karena tidak tegasnya pernyataan seorang penguasa disebabkan oleh kelalaian akan lisannya. Tergambar begitu pasti,
ketidak-jelasan arah kebijakan rezim kapitalis dalam menghentikan sebaran virus: mudik dilarang katanya, tapi pulang kampung dibolehkan.
Rasulullah SAW bersabda:
سلامة الإنسان في حفظ اللسان
"Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan." (H.R. al-Bukhari)
Sungguh apa yang diucapkan oleh seorang hamba, akan dimintai pertanggung-jawaban di yaumil akhir kelak. Apalagi seorang pemimpin yang setiap ucapannya menjadi teladan bagi rakyatnya. Jika kemampuan menjaga lisannya saja tidak ada, bagaimana akan mendapatkan keselamatan.
Hukuman bagi seseorang yang tidak menjaga lisannya pun ada. Dalam riwayat Muslim disebutkan:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
"Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat." (HR. Muslim no. 2988)
Betapa takutnya melihat kehidupan hari ini. Islam sudah tak lagi dijadikan sebagai pedoman. Padahal Islam dalam masa kejayaannya sudah mencontohkan, bahwasannya saat memberikan kebijakan, orientasinya jelas melayani secara utuh kebutuhan rakyat.
Dan rakyat diedukasi untuk pada akhirnya mampu memahami tujuan dibuatnya kebijakan tersebut dan sang pemimpin bertanggung jawab penuh atas konsekuensi pemberlakuan kebijakan itu.
Sungguh indah bukan bagaimana Islam terbukti menjadi satu-satunya pedoman dalam berkehidupan. Tidak hanya ibadah yang ditetapkan peraturan atasnya, seluruh aspek kehidupan pun ada aturannya.
Dan pemimpin yang tegas, bijak, bertanggung jawab terhadap semua rakyatnya hanya akan lahir dari negara yang berlandaskan Islam. Sebagaimana pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. yang kemudian dilanjutkan oleh para shahabat dan para khalifah.
Tags
Opini