Paramedis tak Butuh Janji Manis

Oleh: Rindoe Arrayah


       Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP FARKES/R) bahkan mencatat, 44 tenaga medis meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona. Rinciannya, 32 dokter dan 12 perawat. Karena itu, Ketua Umum FSP FARKES/R Idris Idham mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan keselamatan petugas kesehatan yang menangani pandemi corona.


 “Caranya, dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) yang memenuhi standar dengan jumlah yang mencukupi,” ujar dia dikutip dari siaran pers, Minggu (Katadata.co.id, 12/4/2020).


Hal ini sebagaimana diatur dan dijamin dalam Pasal 57 Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Salah satu hak tenaga medis yakni memperoleh perlindungan hukum selama menjalankan tugas sesuai dengan Standar Profesi dan SOP. 


Selain itu, FSP FARKES/R dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendorong masyarakat untuk tetap di rumah. Sebab protokol untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi corona tidak akan berhasil  jika masyarakat tidak disiplin.


 “Dengan tetap di rumah, berarti Anda sudah membantu kami, dan lebih besar lagi membantu Indonesia dan dunia dalam memenangkan pertarungan melawan corona,” kata Idris. 


Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan semua sarana dan prasarana kesehatan guna mencegah bertambahnya jumlah korban virus corona. Sebab, rumah sakit rujukan masih minim fasilitas dan kurangnya APD yang dibutuhkan tenaga medis. 


Ketua Umum PDUI Abraham Andi Padlan Patarai meminta pemerintah melakukan tes antigen virus corona terhadap sebanyak-banyaknya warga Indonesia. Setelah hasil keluar, seluruh orang yang dinyatakan positif terinfeksi virus corona untuk ditangani sesuai dengan standar kesehatan yang ada. 



"Siapkan sebanyak-banyaknya rumah sakit sehingga tidak akan ada satu orang pun yang kesulitan mencari rumah sakit sehingga terkapar tak terobati," kata dia melalui siaran pers (Katadata.co.id, 11/4/2020).



Surabaya dihebohkan dengan berita salah satu perawat meninggal dunia saat hamil empat bulan. Seorang perawat Rumah Sakit Royal Surabaya meninggal pada Selasa (19/5/2020). Ari Puspitasari,  meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19. Ia meninggal di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) dr Ramelan Surabaya. Padahal, sebelumnya sudah sempat dilarang bekerja karena kondisinya sedang hamil. Namun, perawat muda ini tetap memaksa untuk bekerja dengan alasan ingin merawat pasiennya (Kompas.com, 20/5/2020).

Fakta di atas membuktikan bahwa paramedis menjalankan kewajibannya dengan sepenuh hati, menerapkan ilmu dan  kemampuannya untuk membantu dan merawat pasiennya agar segera pulih dan bisa beraktivitas kembali seperti biasa.

Sementara di sisi lain, mereka (paramedis) menyimpan kisah pilu terkait dengan kurang perhatiannya pemerintah terhadap nasib mereka.


Berikut pengakuan Anitha Supriono salah satu perawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta yang bertugas di ruang Intensive Care Unit (ICU) menangani pasien-pasien positif Covid-19. Hingga kini belum menerima insentif sebesar Rp7,5 juta yang dijanjikan pemerintah.

"Insentif yang dibilang maksimal tujuh setengah juta itu memang sampai sekarang belum (diterima)," kata Anitha, Minggu (Bisnis.com, 24/5/2020).

 Anitha mengaku tak mengetahui apa alasan belum cairnya insentif. Namun menurut Anitha, para perawat sangat memerlukan insentif itu, terlebih mereka yang mendapatkan pemotongan tunjangan hari raya (THR) Idul Fitri.

"Banyak teman-teman yang di RS swasta yang memberikan kabar enggak dapat THR," kata Anitha.

Anitha bercerita, THR atau gajinya tidak dipotong lantaran statusnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Namun, kata dia, para perawat di rumah sakit swasta atau rumah sakit yang tak terlalu besar belum tentu bernasib demikian.

Soal pemberian insentif ini telah disampaikan Presiden Joko Widodo sejak 23 Maret lalu. Jokowi mengatakan pemerintah akan memberikan insentif bulanan kepada tenaga medis yang terlibat dalam penanganan Covid-19.

Besaran insentif berkisar Rp5-15 juta setiap bulan. Rinciannya, Rp15 juta untuk dokter spesialis, Rp10 juta untuk dokter umum dan dokter gizi, Rp7,5 juta untuk bidan dan perawat, dan Rp5 juta untuk tenaga medis lainnya.

Tempo sudah berusaha menghubungi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengenai perkembangan pencairan insentif ini, tetapi belum direspons.

Menurut Anitha, di RSPI, perawatan pasien Covid-19 sudah berlangsung sejak akhir Februari. Ia hanya bisa berharap insentif untuk perawat cepat cair.

"Sekarang tinggal bisa berharap," ucap dia.

Masih banyak kisah menyedihkan lainnya yang telah dialami oleh paramedis. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada paramedis yang menjadi garda terdepan saat menghadapi pandemi corona ini.

Menelisik apa yang terjadi, tampak bahwa sikap penguasa yang sedemikian memang terkait dengan paradigma kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang diterapkan. Bagi negara pengekor seperti Indonesia, mengambil keputusan itu pasti sulit luar biasa.

Bukan rahasia jika negeri ini sudah lama sangat bergantung pada dunia luar utamanya Cina dan Amerika. Maka jika menyangkut kepentingan keduanya, Indonesia seolah tak punya pilihan apa-apa. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang makin jeblok. Tepatnya dibuat jeblok.

Untuk memutuskan lockdown saja, galaunya luar biasa, serba dilema. Hari ini, banyak rakyat yang marah, karena dalam situasi gawat seperti ini pemerintah masih melegalkan puluhan tenaga kerja asal Cina –wilayah sumber wabah corona– masuk ke Indonesia.

Semua ini adalah dampak sistem hidup yang diterapkan penguasa. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya yang terbukti telah sukses menjatuhkan Indonesia pada multi krisis. Sehingga anugerah kelebihan yang Allah beri, mulai dari SDM, SDA, posisi geopolitik dan geostrategis, tak berhasil membuat negeri ini kuat dan berdaya. Malah jadi sasaran empuk penjajahan.

Posisi rakyat di negeri ini pun mirisnya luar biasa. Bak tikus mati di lumbung padi. Jauh dari kata sejahtera. Kesehatan, pendidikan, keamanan, semua serba mahal. Rakyat bahkan harus membeli haknya kepada penguasa atau pada pengusaha yang dibeking dan membekingi penguasa.

Berbeda dengan paradigma kepemimpinan dan watak sistem Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dinilai sebagai amanah berat yang berkonsekuensi surga dan neraka. Dia wajib menjadi pengurus dan penjaga umat.

Seorang pemimpin pun dipandang seperti penggembala. Layaknya gembala, dia akan memelihara dan melindungi seluruh rakyat yang menjadi gembalaannya. Memperhatikan kebutuhannya, menjaga dari semua hal yang membahayakannya, dan menjamin kesejahteraannya hingga bisa tumbuh dan berkembang biak sebagaimana yang diharapkan.

Inilah realitas sistem Khilafah yang pernah mewujud belasan abad lamanya. Sistem yang tegak di atas landasan keimanan sangat berbeda jauh dengan sistem yang tegak di atas landasan kemanfaatan segelintir orang.

Sistem Islam, betul-betul menempatkan amanah kepemimpinan selaras dengan misi penciptaan manusia dan alam semesta. Yakni, mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, tanpa batas imajiner bernama negara bangsa.

Dan misi ini terefleksi dalam semua aturan hidup yang diterapkan, termasuk sistem ekonomi yang kukuh dan menyejahterakan.

Sistem ekonomi Islam akan membuat negara punya otoritas terhadap berbagai sumber kekayaan untuk mengurus dan membahagiakan rakyatnya. Di antaranya menerapkan ketetapan Allah SWT bahwa kekayaan alam yang melimpah adalah milik umat yang wajib dikelola oleh negara untuk dikembalikan manfaatnya kepada umat.

Bayangkan jika seluruh kekayaan alam yang ada di negeri ini dan negeri Islam lainnya diatur dengan syariat, maka umat Islam akan menjadi negara yang kuat, mandiri dan memiliki ketahanan secara politik dan ekonomi. Bukan seperti sekarang, negara malah memberikannya kepada asing.

Dengan demikian, negara akan dengan mudah mewujudkan layanan kebutuhan dasar baik yang bersifat individual dan publik bagi rakyatnya, secara swadaya tanpa bergantung sedikitpun pada negara lain. Bahkan negara lainlah yang bergantung kepada negara Khilafah.

Sehingga saat negara dilanda wabah penyakit, sudah terbayang negara akan mampu mengatasinya dengan kebijakan tepat dan komprehensif. Lockdown akan mudah diterapkan sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, tanpa khawatir penolakan, tanpa halangan egoisme kelokalan dan tanpa khawatir kekurangan banyak hal.

Rakyat pun akan taat karena paham kepentingan dan merasa tenteram, karena semua kebutuhannya ada dalam jaminan negara. Sementara, tenaga medis akan bekerja dengan tenang, karena didukung segala fasilitas yang dibutuhkan dan insentif yang sepadan dengan pengorbanan yang diberikan.

Bahkan riset pun memungkinkan dengan cepat dilakukan. Hingga, ditemukan obat yang tepat dan wabah pun dalam waktu cepat bisa ditaklukkan.

Inilah yang pernah terjadi di masa saat sistem Khilafah ditegakkan. Beberapa wabah yang terjadi bisa diatasi karena adanya peran aktif dan serius dari negara, sekaligus didukung oleh rakyat yang mentaati semua arahan-arahannya.

Sehingga Khilafah yang kekuasaannya menganut prinsip sentralisasi menjadi sebuah otoritas yang terbukti kredibel sekaligus kapabel untuk menyelesaikan semua persoalan. Hingga umat Islam pun mampu keluar dari berbagai ujian yang menimpanya dengan penanganan yang cepat dan tepat.

Wajar, jika saat itu Khilafah selalu menjadi tumpuan negara-negara lain. Sekaligus mampu tampil sebagai teladan dan menjadi pemimpin peradaban yang menebar kebaikan. Termasuk ketika mereka menghadapi bencana seperti yang menimpa Irlandia. Saat itu, Khilafah memberi bantuan yang memberi kesan abadi pada rakyat Irlandia, hingga simbol Khilafah mereka sertakan dalam benderanya.

Dengan demikian, amat jauh berbeda antara sistem sekuler yang sekarang diterapkan dengan sistem Khilafah ajaran Islam. Wajar jika hari ini, makin banyak orang yang merindukannya. 

       Hanya saja, kerinduan dalam mewujudkan Khilafah membutuhkan sebuah perjuangan yang tentunya juga menuntut pengorabanan.

“Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad:7)



Wallahu a’alam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak