Oleh F. Dasti
Sampai awal April lalu, Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak kunjung mengalami perubahan. Masih sama dengan besaran yang sudah ditetapkan per 1 Januari 2020. Padahal putusan Mahkamah Agung (MA) sudah menyatakan pembatalan kenaikan iuran BPJS. MA menilai defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan iuran bagi Peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja). Hal itu senada, dengan ragunya Indonesia Corruption Watch (ICW), jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan menyelesaikan defisit keuangan lembaga tersebut. Pasalnya, faktor utama penyebab defisit keuangan BPJS Kesehatan bukan terletak pada iuran. Tapi kecurangan (fraud) yang dilakukan fasilitas kesehatan (cnnindonesia.com,21/05/2020).
Meski tak kunjung turun, harapan masyarakat masih begitu besar. Mengingat kesulitan perekonomian yang mereka rasakan akibat pandemi covid-19. Dimana masyarakat harus merasakan PHK besar-besaran. Belum lagi kartu prakerja yang tak efektif mengubah taraf kehidupan. Namun kado pahit kembali datang. Masyarakat lagi-lagi dibuat kecewa karena kenaikan BPJS yang justru diumumkan. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020.
Tarif iuran BPJS Kesehatan untuk kelas mandiri dirinci sebagai berikut. Kelas I sebesar Rp150.000 per orang per bulan, Kelas II Rp100.000, Kelas III Rp25.500 dan menjadi Rp35.000 pada 2021. Tarif tersebut berlaku mulai Juli 2020.(cnbcindonesia.com, 14/05/2020).
Bukan hanya itu, yang semakin menyakitkan hati rakyat adalah berbagai pernyataan yang menganggap kenaikan iuran BPJS adalah wajar. Sebagaimana dilansir kompas.com, 19/05/2020. Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Iene Muliati menilai, kenaikan besaran iuran program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang akan diberlakukan per 1 Juli 2020 masih dalam taraf wajar.
Kondisi di atas menyadarkan bahwa jaminan kesehatan tak pernah benar-benar diberikan. Yang ada adalah masyarakat harus membayar dan memberi diri sendiri jaminan atas kesehatannya. Bagaimana tidak, jika defisit BPJS saja kembali dibebankan pada masyarakat. Kondisi ini tidak pernah bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang diterapkan. Dimana tolak ukur perbuatan adalah manfaat atau keuntungan. Sistem ini berhasil menjadikan individu, masyarakat bahkan negara menjadikan keuntungan adalah segalanya. Sehingga Negara kehilangan perannya. Salah satunya adalah sebagai pihak yang harusnya menjamin kesehatan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam pemimpin adalah pengatur urusan masyarakat dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Sebagaimana sabda Rosulullah Saw, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (Bukhari dan Muslim). Syariat menjadi landasan di dalam bernegara. Kebijakan yang dibuat adalah kebijakan yang berorientasi pada masyarakat. Keimanan dan ketakutan kepada Allah akan menjadikan seorang pemimpin benar-benar serius mengurusi urusan masyarakat. Salah satunya adalah urusan kesehatan. Karena kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya“. (HR. Bukhari).
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pemenuhan kesehatan yang maksimal tidak bisa dilepaskan dari ekonomi. Sedangkan ekonomi berbasis liberalisme bukanlah solusi. Hal itu berbeda dengan Islam. Prinsip pembiayaan kesehatan berbasis baitul mal adalah yang digunakan dalam sistem Islam. Dimana sumber-sumber pemasukan sudah ditentukan Allah Subhanahu wa ta’ala. Bukan dari hutang dan pajak. Salah satu sumber pemasukan baitul mal adalah harta milik umum berupa sumber daya alam dan energi melimpah yang akan dikelola negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya salah satunya kesehatan.
Wallahu a'lam bishshowab.
Astaghrirullah. Tak hanya negara berlepastangan atas kesehatan rakyat, namun diam2 harta rakyat dipalak okeh lembaga swasta, yang difasilitasi okeh pemerintah. Muak rasanya dg sistem kapitalis
BalasHapus