Mudik vs Pulang Kampung, Akankah Membawa Bencana?



Oleh Sri Nova Sagita

Sudah jatuh tertimpa tangga, berharap jadi solusi ternyata bencana.  Dilansir dari voi.id analis dari Vixpol Center Research dan Consulting, Pangi Syarwi Chanigo mengkritik permainan terminologi yang dipraktikkan pemerintah. Dimatanya, ada yang harus diperhatikan rakyat dari permainan ini,  yaitu tentang bagaimana pemerintah mengalihkan narasi kegagalan menangani pandemi ke persoalan lain yang jauh dari subtansi permasalahan pengendalian pergerakan orang.

“Permainan terminologi ini menjadi jebakan sehingga masyarakat tidak lagi fokus membahas subtansial, tapi akhirnya terjebak pada terminologi mudik dan pulang kampung. Rakyat sendiri lupa mengkritik kebijakan dan peraturan pemerintah yang enggak konsisten dan plin-plan, kata Pangi (23/4) 

Dikutip dari cnbnindonesia  Institute for Development of Economics and Finace (Indef) menilai  pernyataan yang dilontarkan pemerintah mengenai perbedaan mudik dan pulang kampung dinilai tidak tegas dan justru menimbulkan kebingungan bagi publik. Padahal dua kalimat ini dinilai memiliki efek yang sama, yakni memobilisiasi publik dalam jumlah besar.

Seorang Presiden dinilai tak boleh menyampaikan kebijakan yang kontra dan menyebabkan satu hingga dua juta masyarakat Indonesia yang melakukan kegiatan ini secara tidak langsung melakukan pembiakan Covid-19. 

Sebelumnya, Jokowi menyebut arus masyarakat keluar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) sebelum pemerintah melarang mudik, 24 April lalu, merupakan aktifitas pulang kampung. Mudik dilakukan menjelang Hari Raya Lebaran Idul Fitri, sedangkan pulang kampung dilakukan jauh hari sebelum memasuki bulan puasa Ramadha. (cnbnindonesia.com, 26/04/2020)

===
Dilansir dari Republika sekarang pemerintah melalui Kementerian Perhubungan akan menerbitkan aturan turunan dari Permenhub No 25 tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Kendati larangan mudik tetap berlaku, pemerintah berpeluang mengizinkan 'perjalanan mendesak' demi keberlangsungan aktivitas ekonomi.
 
Sebagaimana disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati, melalui siaran pers resminya, menegaskan bahwa aturan turunan ini tetap memberlakukan pelarangan mudik. Hanya saja, Kemenhub melalui Direktorak Jenderal Perhubungan Darat, Laut, Udara, dan Perkeretaapian akan menyusun surat edaran sebagai aturan turunan Permenhub 25 tahun 2020.

"Ini menindaklanjuti usulan Kemenko Perekonomian untuk mengakomodir kebutuhan mendesak masyarakat agar perekonomian tetap berjalan dengan baik. Dengan menyediakan transportasi penumpang secara terbatas, dengan syarat tetap memenuhi protokol kesehatan," ujar Adita.

Rencana pemerintah ini menuai kritik dari Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Mereka mengingatkan pemerintah untuk tetap konsisten dalam menjalankan pembatasan mobilitas penduduk demi mencegah penyebaran infeksi virus corona.

Pengurus PB IDI Bidang Kesekretariatan, Protokoler, dan Humas Halik Malik menjelaskan, kunci pemutusan mata rantai penularan Covid-19 saat ini adalah kemampuan deteksi kasus positif yang terus ditingkatkan dan dipercepat. Kebijakan ini pun, menurutnya, harus sejalan dengan upaya pembatasan sosial yang saat ini sedang berjalan.
 
Laju kasus Covid-19 di Indonesia sendiri masih belum menunjukkan angka penurunan secara nasional. Pada Jumat, terdapat penambahan pasien terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 433 orang selama 24 jam terakhir di Indonesia.
Hingga hari ini,  terdapat 10.551 kasus positif Covid-19 sejak pertama kali diumumkan pada awal Maret lalu. Proporsi dari jenis kelamin, 58 persen pasien positif adalah laki-laki, sementara 42 persen adalah perempuan. (Republika, 1/5).
===
Jangan kita kena dua kali, sudahlah lamban bertindak,  tidak mau belajar dengan negara-negara yang sudah terdampak corona. Dikutip dari cncnindonesia.com, belajar dari pengalaman negeri Tirai Baru saat mudik merayakan Tahun Baru Imlek. pergerakan manusia yang begitu cepat membuat virus menyebar dengan cepat. Pada 20 Januari, jumlah kasus corona di China masih 278 dan terpusat di kota Wuhan. Namun pada 18 Februari atau akhir perayaan Imlek, jumlah melonjak menjadi 72.568 kasus.

Sama seperti China, mudik di Ekuador, Amerika Latin juga mengakibatkan jumlah kasus terjangkit virus corona naik dua kali lipat atau sekitar 22 ribu kausus pada kamis (23/4/2020). Padahal sebelumnya pemerintah melaporkan kasusnya hanya berada dibawah 12 ribu, dengan total kematian 560 orang.

Jumlah kematian yang mencapai 1.028 kasus dikabarkan karena belum dilakukan tes. Artinya Ekuador sebuah negara berpenduduk 17,5 juta melampai Chili dan peru, sehingga saat ini Equador menjadi negara  yang paling parah kedua di Amerika Latin. 

Dikutip dari AFP, angka ini hanya kalah dari Brazil, dimana ada 50 ribu kasus dan lebih dari 3 ribu yang meninggal. Tercatat Brazil yang memiliki kasus terparah memiliki penduduk sekitar 210 juta. (24/4/2020)
===
Bagaimana dengan Indonesia? 
Misalnya, kita  asumsikan dari satu persen (1%)  saja dari jumlah total  20 juta orang pemudik, berarti yang menjadi pembawa virus dan berpotensi menularkan virus corona ke seluruh wilayah Indonesia. Sebaran penularannya bisa menjadi semakin dahsyat, bila pemudik turut mengikuti tradisi saling berkunjung ke sanak saudara atau tetangga di kampung halaman.

Apakah pemerintah sudah mempersiapkan segala konsekwensi dari kebijakan ini? Jika pasca mudik benar-benar terjadi ledakan penularan corona, maka fasilitas rumah sakit, dokter dan tenaga medis lainnya akan kewalahan dengan peningkatan pasien yang signifikan. Pada akhirnya, ongkos yang harus dibayar pemerintah juga akan semakin mahal, termasuk kerugian material dan non material lainnya.
===
Ternyata masalah kita tidak cukup hanya dengan melawan Covid-19 ini, tapi juga mempertahankan akal sehat. Bagaimana kita harus menyikapi kebijakan pemerintah yang setiap saat selalu berubah. Sejak awal pandemi ini muncul  pemerintah  sudah terkesan inkonsisten hal itu tampak pada setiap kebijakan yang diambil ;

Pertama, pemerintah galau antara menjaga keselamatan rakyat atau menyelamatkan perekonomian. Kekhawatiran pemerintah terhadap keberlangsungan ekonomi jelas mengesampingkan keselamatan rakyatnya. Berarti nilai materi lebih tinggi nilainya dari pada jiwa rakyat. Padahal ukuran keberhasilan dalam penangan wabah ini adalah terselamatkannya kesehatan dan jiwa manusia yang berada di dalam wilayah maupun luar wilayah wabah. 

Kedua, adanya kecendrungan menghindari  tanggungjawab di masa pandemi corona. Pemerintah enggan menanggung dampak sosial ekonomi ketika melakukan larangan mudik. 
Padahal Islam sudah mengajarkan bahwa tanggung jawab  dan tugas pemimpin itu sangat besar, oleh karena itu Allah mempersiapkan balasan yang besar pula bagi yang mampu menunaikannya dengan baik.

Rasulullah SAW bersabda,” Ada tujuh golongan yang Allah akan lindungi dalam nauangan-Nya pada hari tidak ada perlindungan kecuali dari-Nya, dan diantaranya adalah imam yang adil.” (HR Bukhari Muslim)

Sebaliknya Rasullah SAW menyatakan bahwa kepemimpinan bisa jadi penyesalan di hari kiamat. Beliau berkata Abu Dzar terkait kepemimpinan, “ Sungguh (kepemimpinan) itu adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi mereka yang menunaikan amanah tersebut sesuai haknya dan menjalankan kewajibannya.” (HR Muslim)

Pemimpin wajib menempatkan kepentingan dan kemaslahatan rakyat di atas kepentingan dirinya maupun keluarganya. Sebab pemimpin  akan dimintai pertanggung jawaban atas nasib seluruh rakyat yang ia pimpin.

Dari Ibnu Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,”Setiap orang di antara  kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas  kepemimpinannya atas rakyatnya. Pemimpin yang mengatur kehidupan rakyat adalah pemimpin atas mereka dan aia akan dimintai pertanggung jawaban atas diri mereka.” (HR Bukhari)

Jadi, seriuskah pemimpin negeri ini untuk melindungi dan menyelamatkan rakyatnya? Wallahu a’alam bissowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak