Oleh : Fitri Agustina
Pandemi Covid-19 hingga kini masih belum terselesaikan khususnya di Indonesia karena pemerintah dinilai masih menganggap enteng permasalahan virus ini. Terbukti dari berbagai kebijakan penangannya, angka kurva yang terpapar virus hingga meninggal masih banyak diberbagai daerah.
Seperti kebijakan yang baru-baru ini menghebohkan masyarakat yaitu istilah mudik dan pulang kampung yang dianggap memiliki perbedaan makna oleh Presiden RI Joko Widodo dalam wawancara bersama Najwa Shihab pada hari rabu rabu, 22 April 2020. Di mana Joko Widodo (Jokowi) membantah bahwa mudik dan pulang kampung tidaklah sama. Katanya, mudik adalah dilakukan ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri, sedangkan pulang kampung yakni dilakukan untuk kembali ke keluarga di kampung karena sudah tidak memiliki aktivitas atau pekerjaan di kota rantau.
Pernyataan ini sontak menjadi perbincangan para netizen di sosial media terutama di Twitter. Hal ini bukannya menghasilkan kebijakan yang dapat menyelamatkan rakyat, namun semakin membingungkan rakyat. Beginilah yang terjadi ketika negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang jauh dari kata visioner dan seorang negarawan. Kini aturan mudikpun sudah resmi diatur dalam peraturan menteri perhubungan yang tertera dalam Permenhub nomor 25 Tahun 2020 berjudul pengendalian Transportasi selama masa mudik idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam rangka pencegahan Covid-19 (Kumparan. 24/4/2020).
Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang hendak pulang kampung? Apakah petugas bisa membedakan antara mereka hendak mudik atau pulang kampung? Hal ini karena Pemenhub tidak memuat menyebut sama sekali tentang pulang kampung. Mudik dilarang pulang kampung diperbolehkan. Sungguh suatu kebijakan seperti goyonan di mana masyarakat terlalu pinter untuk masalah seperti ini jelas mereka akan mengubah nama mudik dengan pulang kampung agar diperbolehkan. Terbukti sudah sejuta lebih masyarakat rantau yang curi start pulang kampung.
Semakin tampak ketidakpahaman yang diperlihatkan dalam membuat sebuah kebijakan yang diterapkan pada publik. Pernyataan mengenai makna mudik dan pulang kampung tersebut
Benar-benar tidak berfikir lagi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Kebijakan yang asal jadi makin membingungkan publik dan berakhir pada kegagalan dalam menjaga nyawa rakyat.
Seandainya dari awal penangan terhadap Covid-19 lebih cepat dan kebijakannya pun tidak asal-asalan jelas hal ini tak akan terjadi. Mana mungkin rakyat bisa bertahan di kota rantau sedangkan mereka pekerjaannya dihentikan namun biaya hidup tidak ditangguhkan. Belum lagi kebutuhan pokok yang semakin mahal sehingga rakyat rantau berfikir dari pada mati di kota rantau lebih baik pulang ke daerah. Sudah banyak kasus rakyat yang kelaparan bahkan mati karena menahan lapar, sedangkan bantuan pangan sangat sulit didapatkan karena butuh prosedur yang sangat lama.
Sungguh miris negeri ini padahal sumber daya alamnya bagus sumber daya manusia nya banyak namun kemiskinan dan kesengsaraannya sangatlah memprihatinkan. Lalu penguasanya berbuat apa?
Mendefinisikan mudik dan pulang kampung saja bingung, bagaimana dapat memikirkan kondisi rakyat yang semakin ruwet di tengah pandemi. Hendaknya pemerintah mengevaluasi setiap protokol kebijakan larangan mudik dan pulang kampung karena keduanya sama-sama berdampak penyebaran Covid-19. Jangan sampai bersembunyi dibalik kalimat “kami telah melarang mereka mudik, tapi jika tetap pulang kampung, virus makin menyebar, jangan salahkan kami”.
Inilah kehidupan manusia ketika aturan hidupnya menggunakan sistem kapitalis liberal penderitaan demi penderitaan akan terus dirasakan terutama rakyat yang hidup dalam ekonomi rendah. Tidak ada harapan hidup sejatera karena penguasanya dikuasai oleh nafsu berkuasa tanpa memikirkan penderitaan dan kebutuhan rakyatnya.
“ Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.
Sejatinya, tugas utama seorang penguasa adalah pelayan bagi rakyatnya bukan pelayan para antek asing dan aseng. Sebagai pelayan rakyat ia fokus dalam dua hal, yaitu hirasatuddin (melindungi agama mereka) dan siyasatuddunya (mengatur urusan dunia). (Al-ahkam as-Sulthoniyah, juz 1, hal 3).
Namun sayang pemimpin seperti ini tidak didapatkan dalam sistem demokrasi sekuler yang jauh dari tuntunan Islam. Islam telah mencontohkan dalam sejarah yakni pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khathab ra, ketika daulah Islam di Amwas terkena wabah tha’un ia mengangkat Amr bin Ash sebagai gubenur unruk menangani wabah tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk melihat keadaan di Amwas, ia menyerukan penduduk untuk mengisilasi dirinya masing-masing. Amr berkhotbah dan memerintahkan agar pergi jauh hingga rakyatnyapun pergi memencar ke berbagai penjuru. Hingga pada akhirnya wabah tha’un terselesaikan.
Betapa rindunya dengan kepemimpinan di dalam Islam semoga segera terwujud Bisyarah Rasulullah
“........Selanjutnya akan kembali khilafah yang mengikuti metode kenabian.” (HR. Ahmad)
Sehingga penderitaan rakyat segera berakhir dan permasalahan seperti penangan covid-19 tidak terjadi lagi ditengah masyarakat Aamiin ya Rabbalallamin.
Wallahualam Bishawab
Tags
Opini