Mewujudkan Generasi Taqwa Bukan Generasi Sampah



Oleh: Tita Rahayu
 
Beberapa minggu yang lalu, warga sosial media atau netizen merasa resah akibat ulah seorang content cerator yang dinilai menyimpang. Sebab, konten video yang dibuat bersama kawannya terkesan merendahkan manusia ditengah pandemi yang saat ini belum sirna. Sebagaimana kita ketahui bahwa kondisi masyarakat hari ini sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan dampak pandemi Corona Virus Diseases 2019 (COVID-19) yang melanda di seluruh negeri. Gelombang Putus Hubungan Kerja (PHK) semakin tinggi, usaha di semua sektor lumpuh, kelaparan terjadi dimana-mana disusul angka kematian yang semakin tinggi pula. Sebenarnya banyak sekali masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup. Tapi faktanya bantuan yang tersalurkan tidak tepat sasaran. Sehingga masyarakat berharap adanya uluran tangan dari kaum dermawan untuk sedianya mengentaskan sebagian beban hidup yang dirasakannya. Namun masih pantaskah kondisi seperti demikian dibuat bahan lelucon dengan berkedok memberi bantuan sembako yang nyatanya berisi sampah. Hal ini sungguh melukai hati umat lainnya. Dimana akhlaknya generasi Z ini saat membuat video sampah itu? Faktor apa yang menyebabkan generasi Z menjadi fasad (rusak)? Lalu, bagaimana solusi Islam agar dapat mewujudkan generasi taqwa?

Melihat fenomena diatas, selayaknya kita tengok sejauh mana efektifitas pendidikan yang didapat dari sekolah dalam membentuk kepribadian anak. Sebab, sekolah yang baik seharusnya mampu membentuk kepribadian yang baik pula pada siswa sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi faktanya sistem pendidikan saat ini jauh dari harapan. Sistem pendidikan yang dianut justru mengacu pada sistem pendidikan sekuler kapitalis. Dimana pada sistem pendidikan tersebut, agama tidak lagi menjadi pondasi pembentukan kepribadian anak didik. Melainkan diganti dengan materi-materi sain, keterampilan dan kompetensi lain yang lebih menyita sebagian besar waktu dan tenaga siswa ketimbang pemberian pemahaman agama (Islam).   Ditambah persaingan mengutamakan hasil dengan nilai bagus lebih dominan daripada penghargaan atas proses atau upaya yang dilakukan. Sehingga berpengaruh pada kualitas pembinaan akhlak para siswa. Penancapan agama di sekolah memang sangatlah minim, dalam seminggu hanya berdurasi 2 jam satu kali tatap muka. Belum lagi ketika kegiatan rohis dicurigai sebagai tempat persemaian bibit teroris, akhirnya para walimurid membatasi kegiatan anak di rohis. Walhasil, banyak siswa lebih memilih aktif dalam kegiatan lainnya di sekolah seperti seni, olahraga, ketrampilan dan sebagainya. Akibatnya, nilai- nilai agama tidak mewarnai kepribadian siswa. 

Tidak hanya sekolah, pembentukan kepribadian anak berdasarkan Islam juga menjadi tanggung jawab orang tua, bahkan orang tua dan keluarga menempati posisi utama. Sebab, orang tua sudah diberikan amanah oleh Sang Khaliq untuk membina dan membentuk kepribadian anak. Namun faktanya saat ini banyak oang tua terpaksa lebih memilih menyibukan diri dengan urusan kerjaan mereka daripada mendidik anak. Hal ini disebabkan tuntutan kehidupan kapitalis yang menjadikan bahkan kedua orang tua harus bekerja. Padahal peran ibu yang pertama dan utama dirumah adalah mendidik, membentuk kepribadian dan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Sehingga wajar saja jika saat ini banyak generasi Z yang salah langkah dan berkepribadian tidak jelas.
Keluarga memang memiliki peran penting dan strategis dalam membentuk kepribadian siswa. Mulai dari mengenalkan Sang Pencipta hingga tujuan hidup di dunia untuk apa. Demikian juga  pengajaran perilaku dan budi pekerti anak pertama kali didapatkan dari keluarga, mulai dari tata cara bercakap yang sopan hingga cara memenuhi kebutuhan hidup yang benar sesuai dengan Islam. Dan disini peran ibu sangat menentukan kualitas generasi penerusnya.

Disamping sekolah dan keluarga, Negara juga berperan sebagai penyelenggara pendidikan generasi yang utama. Negara harus menerapkan kurikulum yang menjamin tercapainya generasi berkualitas dan bertaqwa. Tidak hanya mencetak generasi agar mampu menguasai saintek namun juga memiliki berkepribadian Islam. Generasi yang mampu membedakan mana yang benar dan salah, mampu membedakan mana yang terpuji dan juga tercela. Oleh karena itu, negara wajib mengontrol dan menindak tegas hal-hal yang sedianya dapat merusak akhlak generasi baik pengaruh negatif berasal dari media cetak maupun elektronik.

Sudah saatnya kita bersama-sama mewujudkan generasi taqwa bukan generasi sampah. Untuk mewujudkan generasi yang taqwa pada dasarnya diperoleh melalui proses pendidikan dan pembinaan. Hal ini tentu membutuhkan proses panjang tidak semudah membalikan telapak tangan. Sebab pendidikan merupakan kegiatan sepanjang masa yang berkesinambungan. 

Islam merupakan agama sekaligus peraturan hidup yang diturunkan Allah SWT. Didalamnya (Islam) berisi seperangkat hukum yang pelaksanaannya dapat menghasilkan anak-anak berkepribadian mulia (Islam). Oleh karena itu, umat seharusnya merenungkan kembali tanggung jawabnya ber-Islam kaffah, dengan menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari termasuk terkait pendidikan dan pembinaan generasi. Hanya Sistem Islamlah yang mampu mewujudkan generasi berkualitas dan taqwa bukan generasi sampah.
 
Wallahu’alam Bi’ashowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak