Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Wabah Corona telah menyeran negeri ini. wabah ini tidak hanya mengancam kesehatan warga, tapi juga memengaruhi perekonomian sehari-hari. Akibat wabah ini banyak di antara mereka tiba-tiba menjadi miskin karena dirumahkan atau bahkan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Pelaku sektor UMKM yang biasanya panen rezeki selama Ramadan dan Idul Fitri kini banyak yang gigit jari karena merosotnya daya beli dan berkurangnya konsumen.
Sejak awal Ramadan lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa pemanfaatan zakat, infak, sedekah untuk penanggulangan wabah Covid-19 dan dampaknya. Dalam pertimbangannya, Komisi Fatwa MUI menyebutkan dampak wabah Covid-19 tidak hanya terhadap kesehatan, tapi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan sendi kehidupan lain. Apalagi dari hasil perhitungan MUI, potensi zakat yang diperkirakan mencapai kisaran Rp375 triliun bisa dimaksimalkan. Saat ini dari jumlah itu baru tergarap Rp15 triliun. (www.sindonews.com, 4/5/2020)
Selain MUI. seruan agar kaum muslim menunaikan zakat—baik zakat harta, perdagangan, pertanian, maupun fitrah—sudah disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) maupun PP Muhammadiyah. Bahkan di tengah cobaan pandemi korona, mereka mengimbau pembayaran zakat dipercepat.
Seperti diketahui, zakat adalah salah satu rukun islam yang harus dilaksanakan kaum muslimin. Dan ramadan adalah moment yang biasanya digunakan oleh kaum muslimin untuk menunaikannya. Zakat fitrah bagi seluruh kaum muslimin dan zakat maal (bagi yang memiliki harta simpanan dan sudah sampai masa satu tahun kepemilikan).
Menurut mayoritas ulama, batasan orang yang wajib membayarkan zakat fitrah adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan keluarga yang ia nafkahi pada malam dan siang hari ‘ied. Apabila keadaan seseorang demikian berarti dia dianggap mampu dan wajib mengeluarkan zakat fitrah. Selain itu, zakat fitrah, sekalipun sama seperti zakat lain yang dibagikan kepada delapan golongan mustahik, lebih mengutamakan kaum fakir-miskin untuk menerimanya.
Zakat fitrah diharapkan mampu mencukupi kaum fakir dan miskin dari meminta-minta pada hari raya Idulfitri sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan orang kaya pada hari tersebut dan syariat ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini dapat dirasakan oleh semua kalangan. (Lihat Minhajul Muslim,23 dan Majelis Bulan Ramadan, 382).
Ketika zakat fitrah diambil dari semua orang yang memiliki kelebihan makanan sekalipun masih terkategori miskin, maka diharapkan zakat lebih banyak terkumpul sehingga jumlah orang yang menerimanya akan lebih banyak.
Di masa pandemi Covid-19 ini, jumlah rakyat yang menjadi fakir dan miskin bertambah secara drastis. Banyak pekerja yang di-PHK dan usaha harus gulung tikar, sementara bantuan dari pemerintah tak seberapa. Itu pun seringkali tidak tepat sasaran sehingga orang yang sebenarnya butuh malah tidak mendapatkan.
Banyak kasus-kasus kelaparan, yang sebagian besarnya tidak terekspos di media massa dan media sosial. Zakat fitrah, boleh jadi akan memenuhi kebutuhan mereka dan mengganjal rasa lapar, minimal selama hari lebaran.
Dengan demikian, membayarkan zakat fitrah di masa banyaknya orang fakir dan miskin seperti saat ini, menjadi salah satu solusi untuk mencegah kelaparan dan memberikan kecukupan bagi yang membutuhkan terutama di hari raya.
Yang penting untuk diingat, syariat zakat fitrah dan zakat yang lainnya seperti zakat mal dan perdagangan, bukanlah solusi untuk mengentaskan kemiskinan dan tidak boleh dijadikan solusi kemiskinan. Zakat tersebut hanyalah pemenuhan kebutuhan jangka pendek bagi para mustahiknya. Sedangkan pengentasan kemiskinan adalah tugas negara.
Benar, zakat memeng memiliki dimensi sosial, namun tidak tepat jika dijadikan sebagai sumber pemasukan negara untuk mengentaskan kemiskinan, sedangkan harta dari kepemilikan umum yang seharusnya dipakai mengentaskan kemiskinan, diberikan kepada segelintir pemodal lokal dan asing.
Wallahu a’lam bi ash showab.