Oleh : Arifah Azkia N.H
(Aktivis Mahasiswi Surabaya, Phsyconom of Syariah)
Ragam permasalahan guru dari kesejahteraan hingga kastanisasi menjadi faktor penyebab masalah pendidikan Indonesia. Ragam permasalahan yang dialami oleh para guru Indonesia ini sudah sering diurai oleh berbagai pihak. Namun, permasalahan tersebut seperti mengurai benang kusut yang tak kunjung menjadi lurus, namun malah menjadikannya semakin kusut.
Sungguh ironi ketika hari ini permasalahan yang dihadapi guru sangatlah beragam. Seperti yang kita ketahui, peran guru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sungguh besar dan sangat menentukan. Begitupun kontribusi seorang guru dalam membangun peradaban dan mencetak generasi-generasi emas kegemilangan yang akan membawa kejayaan peradaban ada pada peran seorang guru sebagai pendidik generasi. Seorang guru yang berusaha mempelajari banyak hal untuk mencerdaskan anak didiknya dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Seorang guru yang dengan telaten mengajarkan moral dan sopan santun kepada murid untuk senantiasa diamalkan dala kehidupannya.
Guru merupakan salah satu faktor strategis dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang meletakkan dasar serta turut mempersiapkan pengembangan potensi peserta didik untuk masa depan bangsa. Amanat seorang guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Kualitas guru merupakan faktor penting penentu kemajuan bangsa. Kualitas guru harus merata di berbagai wilayah.
Selain kualitas sumber daya manusianya, pendistribusian guru yang tidak merata juga menjadi persoalan dalam dunia pendidikan Indonesia. Jumlah guru memang banyak, tetapi distribusi guru tidak merata. Kenyataannya beberapa daerah di wilayah Indonesia masih kekurangan guru. Dan lebih parahnya, problematika diantara guru masih terus terjadi seiring adanya istilah-istilah bagi guru tertentu. Kastanisasi guru muncul dari pendikotomian antara guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS), guru bantu, guru honorer, dan guru swasta murni yang mengajar di sekolah swasta. Jika dianalogikan dengan sistem kasta, guru swasta diperlakukan sebagai kasta sudra, kasta paling rendah derajatnya. Mereka, di mata pemerintah paling dianaktirikan, status sosial di masyarakat dipandang sebelah mata, dan tingkat kesejahteraan paling memprihatinkan. Hanya sebagian kecil saja sekolah swasta yang mampu dan mau memberi kesejahteraan cukup.
Belakangan yang lebih memperhatinkan akan nasib para guru ditengah pandemi Covid-19, tunjangan gaji guru malah disunat 3,3 Triliun, dana abadi pendidikan 60 Triliun dipakai buat tambal devisit RI, bahkan nasib guru honorer di Pamekasan semakin tercekik, insentif yang diterima hanya cukup buat beli pulsa untuk kebutuhan mengajar secara daring . Saat ini, biaya kebutuhan hidup mereka tidak ada.
Apalagi dengan kondisi pandemi seperti ini dengan diberlakukannya pembelajaran jarak jauh, para orangtua siswa sekolah swasta utamanya menengah ke bawah banyak yang menolak membayar iuran.
"Ketika bayar iuran sekolah tidak mau bagaimana membayar guru? Kan pilihannya dari BOS, sementara BOS-nya ada yang tidak seluruhnya diberikan, ada yang dipotong. Berarti mereka kan belum tentu bisa mendapatkan," ungkap Ledia Hanifa anggota Komisi X DPR.
Lantas bagaimana dengan guru yang berstatus swasta dan tidak ada dana BOS yang diterima? Maka tidak ada harapan lagi bagi seorang guru apalagi yang notabene swasta dan honorer. Bekerja sepenuh hati, sedangkan gaji yang diterima belum pasti.
Ditengah dampak pandemi covid-19 ini, para guru dengan sistem belajar daring yang harus terus ia jalankan untuk para anak didiknya, diminta untuk bisa standby dan berusaha memaksimalkan daya untuk tetap bisa terlaksana belajar mengajar. Para guru yang lokasi rumahmya berdekatan dengam sekolah tersebut, dibuat kebijakan untuk tetap datang ke sekolah mengurusi berbagai data, dokumen serta kebutuhan belajar mengajar. Maka dengan terpaksa para guru yang berlokasi dekat sekolah yang diajar, harus rela bolak-balik datang ke sekolah. Sedangkan para guru yang berlokasi jauh dari sekolah harus tetap menjalankan proses belajar mengajar dari rumah yang tak ayal sangat membutuhkan banyak biaya untuk membeli kuota ekstra dan keterbatasan sinyal. Padahal, tak semua guru dalam tataran mampu dari segi ekonomi apalagi untuk membeli kuota dan pengadaan smartphone.
Belum lagi ketika banyak materi yang susah ditangkap oleh murid, walhasil tak sedikit para guru rela mendatangi rumah anak didik masing-masing untuk mengajari dan menyampaikan materi. Mereka rela keluar, untuk memberi pengajaran ditengah kondisi seperti ini.
Tetapi, harga jasa seorang guru nampak begitu di abaikan. Kerja keras dan usaha seorang guru tidak dihargai dengan baik. Tak sedikit para guru yang sudah lama mengabdi di sekolah dan menjadi guru honorer, malah nasibnya terkatung-katung. Tunjangan gaji guru pun disunat 3,3 Triliun. Padahal tunjangan itu sangat berarti apalagi bagi guru honorer.
/Guru Sejahtera dalam Sistem Islam/
Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang pernah tercatat dalam sejarah kegemilangannya. Sistem pendidikan Islam sangat memuliakan posisi guru. Kesejahteraan guru sangat diperhatikan. Sangat masyhur bagaimana pada masa Khalifah Umar bin Khattab, gaji pengajar adalah 15 dinar/bulan atau sekitar Rp 36.350.250,- ( 1 dinar = 4,25 gram. Dan jika 1 gram = Rp 570.200).
Atau di zaman Shalahuddin al Ayyubi, gaji guru malah lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah gaji guru berkisar antara 11 dinar sampai dengan 40 dinar! Artinya gaji guru bila di kurs dengan nilai saat ini adalah Rp 26.656.850,- sampai Rp 96.934.000,-.
Maka, akan sangat wajar kalau para guru menjadi bersemangat dan fokus dalam mendidik generasi tanpa disibukkan mencari tambahan penghasilan di luar mengajar seperti para guru honorer saat ini. Sehingga generasi-generasi gemilang bermunculan untuk menoreh kegemilangan peradaban.
Dan yang paling penting, posisi guru dalam sistem Islam semuanya adalah sebagai aparatur negara (muwazif daulah). Tidak ada pembedaan status guru negeri dan honorer. Semua guru dimuliakan dalam sistem Islam karena perannya yang begitu strategis. Maka sudah saatnya para guru menyadari bahwa sistem sekulerlah yang telah menzalimi dan merendahkan martabat guru dari derajatnya yang hakiki.
para guru membutuhkan hadirnya sistem pendidikan Islam yang memuliakan posisi dan peran para guru. Maka para guru pun wajib memahami dan terlibat aktif dalam mengembalikan sistem pendidikan Islam yang pernah menorehkan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. Semoga para guru segera terangkat derajatnya dan dimuliakan posisinya dalam waktu yang dekat.
Wallahu a'lam bissowab..