Oleh : Ummu Qila
Ramadan adalah momen yang tepat untuk mudik melepaskan kerinduan bertemu orang tua dan sanak saudara di kampung halaman. Momen yang sudah ditunggu-tunggu selama 11 bulan lamanya. Dalam kondisi normal sebelum wabah, bahkan ada yang "mewajibkan" mudik. Alasannya, sebagai bukti peduli terhadap keluarga. Namun dalam kondisi wabah Covid-19 yang tak kunjung reda seperti sekarang, mudik menjadi "berbahaya", apalagi pemudik dari zona merah terdampak Covid-19.
Dalam rangka memutus mata rantai Covid-19, pemerintah mengambil kebijakan PSBB, larangan mudik dan disarankan di rumah saja. Larangan ini ditetapkan baik di tingkat pusat maupun daerah dilengkapi dengan penjagaan-penjagan di perbatasan antarwilayah oleh aparat kepolisian. Bahkan ada sanksi bagi yang nekat mudik.
Dikutip MayangkaraNews.com . Larangan mudik sudah berlaku, hari ini polisi terpaksa meminta dua kendaraan plat luar kota yang akan masuk ke Kabupaten Blitar untuk berbalik arah.
Kasat Lantas Polres Blitar, AKP Yoppy Anggi Krisna mengatakan Sabtu 25 April 2020 hari ini Polres Blitar bersama dengan Forkopimda Blitar melakukan pengecekan di tiga pos yang didirikan oleh Polres Blitar di titik perbatasan Kabupaten Blitar untuk mengecek adanya kendaraan dari luar kota yang masuk ke wilayah Kabupaten Blitar melalui Krisik Gandusari, Selorejo & Kademangan. Fakta mudik ini juga kita jumpai di seluruh wilayah negeri ini terutama dari wilayah kota-kata besar menuju kampung halamannya.
Meski larangan mudik sudah diberlakukan, namun di lapangan masih dijumpai pemudik yang nekat, baik dengan kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Fenomena ini masih ditemukan di tengah-tengah masyarakat kita. Boleh jadi mudik menjadi pilihan terakhir. Bertahan di kota sangat sulit akibat pemberhentian dari tempat kerja ,tidak ada pemasukan dan lambannya bantuan yang masih sarat birokrasi yang berbeli-belit. Maka mudik menjadi pilihan walaupun rela melewati lobang-lobang tikus. Tak hanya itu, sampai di tempat tujuan masih menjalani 14 hari isolasi. Kondisi yang memaksa diri dan keluarganya pulang kampung dengan mengikuti protokol dan segala risiko di tempat tujuan.
Sebelum diberlakukan pelarangan mudik, Pemerintah Kabupaten Blitar telah mengisolasi pemudik dari dalam dan luar negeri. Diberitakan MayangkaraNews.com . Akhir pekan lalu, 30 lebih pemudik sedang menjalani isolasi di Rusun Yonif 511 Kota Blitar. Ketua Crisis Center Penanganan Covid-19 Kota Blitar, Hakim Sisworo mengatakan sampai Sabtu, 25 April 2020 jam 12 siang, sebanyak 36 orang sedang menjalani isolasi atau karantina mandiri di Rusun Yonif 511 Kota Blitar.
Sementarabitu, dilansir dari Liputan6.com, Proses karantina pemudik bandel di wilayah Solo masih berlaku. Banyak cerita menarik dialami oleh para pemudik yang dikarantina di Graha Wisata Niaga maupun Ndalem Joyokusuman. Setelah menjalani karantina 14 hari, ia pun telah dinyatakan lulus pada pada hari ini, Jumat, 1 Mei 2020.
Cerita pilu Elly Ajak keluarga isolasi diri di hutan,di phk dan jadi odp saat pulang kampung. Juga satu keluarga di Polewali Mandar sebagaimana dikutip KOMPAS.com, Satu keluarga yang terdiri atas kakak, adik dan keponakan mereka melakukan karantina mandiri di dalam hutan setelah warga sekitar menolak mereka, sepulang dari Kotabaru, Kalimantan Selatan, sejak 23 April 2020. Akhirnya, satu keluarga ini mengisolasi diri di hutan, yang jauh dari permukiman warga di di desanya di Desa Pao-pao, Kecamatan Alu, Polewali Mandar (Polman).
Pilihan pulang kampung dengan karantina yang diambil masyarakat kalau kita cermati bisa memicu dampak penyebaran wabah yang meluas. Dan pilihan masyarakan untuk menjadi ODP tidak sepenuhnya salah mereka.
Pemerintah Membedakan Istilah Mudik dan Pulang Kampung.
Mudik adalah mobilitas yang dilakukan menjelang Ramadan atau hari raya dalam rangka mengisi liburan menuju kapung halamannya. Dan setelah hari raya selesai, mereka kembali lagi ke kota, tempat mereka bekerja. Sedangkan pulang kampung adalah mobilitas dari kota yang terkena wabah misal Jakarta kedaerah masing masing karena tak mampu bertahan sebab PHK dan sudah memulangkan anak dan istrinya terlebih dahulu, sehingga pulang dalam waktu yang lama. Tidak kembali lagi ke kota.
Pelarangan mudik oleh pemerintah dan mengizinkan pulang kampung sendiri menui banyak perdebatan publik. Bukan hanya karena istilahnya, melainkan juga lebih ke arah apa tujuan kebijakan tersebut. Bukankah baik mudik atau pulang kampung keduanya memobilisasi massa dari tempat yang terdampak wabah, dan ini memperbesar zona penyebaran virus?
Perizinan pulang kampung semakin terkesan pemerintah kebingungan dan lambat dalam mengambil kebijakan. Kebijakan yang membingungkan, tidak jelas arah kebijakannya, dan kebijakan yang tidak diambil dengan langkah-langkah terukur, berikut tanggung jawab penuh akibat yang ditimbulkan inilah mendorong masyarakat untuk mudik/pulang kampung dan mengisolasi diri. Bukan tidak sayang dengan keluarga ,lebih baik mati berkumpul keluarga dari pada mati kelaparan di perantauan.
Sudah menjadi ciri dari negara yang menganut kapitalisme dalam mengambil kebijakan. Pertimbangan keuntungan dan posisi pencitraan yang dikedepankan. Keberpihakan pada masyarakat menjadi pilihan terakhir ketika wabah sudah menyebar. Masyarakat sebanarnya mengikuti kebijakan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 asalkan dipenuhi hak-haknya. Kebijakan pemerintah harusnya sejalan dengan segala hal yang terkait dengan penanganan wabah. Larangan tidak dibarengi dengan konsekuensi kewajiban akibat kebijakan hanya akan menambah beban masyarakat. Dan pelanggaran menjadi fenomena wajar. Ini bisa kita lihat dari beberapa catatan lambannya dan ketidak mampuan penganganan wabah Covid 19 di Indonesia.
Peristiwa pemulangkampungan pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Saat paceklik sudah berakhir tahun 18H, Umar bin Khatab membuat kebijakan memulangkan Suku Badui kekampung halamannya dari Madinah. Kebijakan yang diambil Umar ini disambut dengan gembira oleh suku Badui bukan karena mereka tidak kerasan tinggal di Madinah. Khalifah Umar menjamain semua keperluan mereka saat pulang dan memastikan keamanan sampai di tempat tujuan.
Kebijakan Umar ini punya tujuan yang jelas. Pertama, penduduk Madinah saat itu sudah padat sehinnga kurang kondusif apabila suku Badui tetap bertahan di Madinah. Kedua, Suku Badui mempunyai mata pencaharian sehingga mereka bisa produktif. Ketiga, menjaga keaslian Bahasa Suku Badui karena di Madinah bahasanya heterogen.
Demikianlah Syariat Islam memberikan tuntunan tuntas dalam menghadapi setiap permasalahan. Sehingga apabila kita menginginkan semua urusan kemasyarakatan termasuk kesehatan beres, maka mau tidak mau pemimpin harus mengambil Syariat Islam untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat dan akhirnya kerahmatan bagi seluruh alam akan terwujud. InsyaAllah.