Oleh : Laela Komalasari
Gamangnya menjadi rakyat kecil ditengah himpitan hidup pada akhir zaman ini. Ibarat terjebak di tengah lautan, jika berenang berharap akan sampai ke tempat tujuan dengan cepat tapi bisa jadi mati kelelahan tetapi jika berdiam berharap pertolongan orang lain yang ada mati kelaparan. Ya, kurang lebih seperti itu keadaan rakyat di tengah pandemi ini.
Harapan pemerintah, rakyat mengikuti aturan pemerintah untuk tetap di rumah, himbauan belajar di rumah, bekerja di rumah hingga ibadah di rumah pemerintah gaungkan tanpa solusi yang solutif. Nyatanya masyarakat masih banyak seliweran di tempat umum tanpa melakukan physical distancing dan tidak sedikit yang tidak memakai masker.
Tapi jangan salahkan rakyat, karena rakyat ingin mengikuti anjuran pemerintah untuk melakukan sosial distancing pun gamang. Hingga ada pernyataan "kami di luar mati karena corona, tapi di rumah kami mati kelaparan". Itu karena kebutuhan pokok sehari-hari, fasilitas belajar di rumah dan tanggungan atas biaya hidup yang ditanggung kepala keluarga tidak dipenuhi oleh negara.
Kurangnya pengayoman dari negara atas musibah ini menjadikan masyarakat seolah menantang maut dengan tetap bekerja di luar, khususnya pekerja-pekerja yang menggantungkan hidupnya di jalan. Seperti pedagang, tukang ojek, supir angkutan umum, dan lain lain. Pemutusan Hak Kerja (PHK) di mana-mana, sedangkan hidup harus terus berlanjut.
"Dari beberapa laporan para menteri ada 1,6 juta warga yang di-PHK dan dirumahkan," ujarnya dalam video conference, Senin (CNN, 13/4)
Lonjakan yang begitu signifikan pada jumlah Pemberhentian Hak Kerja masih akan terus bertambah seiring berjalannya waktu hingga pandemi ini berakhir. Tak sedikit pula korban-korban PHK mengalami depresi bahkan hingga bunuh diri. Tapi sekali lagi, negara abai atas apa yang terjadi. Masalah di atas mungkin akan minim terjadi jika pemerintah ikut menanggung beban rakyat.
Selain rakyat yang menjadi korban, dokter, perawat dan pegawai medis lainnya yang paling terkena imbas. Bukan hanya minimnya kelengkapan APD namun perlakuan sosial begitu dirasa tidak baik bagi para tenaga medis. Akibat kurangnya edukasi, masyarakat men-stigma negatifkan tenaga medis dengan menganggap mereka sebagai pembawa virus.
Efek stigma negatif terhadap pasien meninggal yang terinveksi corona terjadi penolakan pemakaman dibeberapa daerah. Seolah olah orang yang terjangkit covid-19 adalah makhluk menjijikan, padahal ia hanya korban. Perlakuan terhadap jenazah pun tidak sepatutnya begitu, jenazah harus dimuliakan karena kita semua akan menjadi jenazah juga.
Masalah demi masalah saling tumpang tindih dan masyarakatlah yang paling terkena dampaknya. Selain waspada terhadap virus, tetapi masyarakat juga harus menghadapi himpitan ekonomi yang semakin sempit, belum lagi dampak sosial bermasyarakat juga dirasakan semakin buruk. Jumlah kriminalitas pun bertambah karena tuk mempertahankan hidup dimasa pandemi ini.
Ujian, musibah dan masalah yang terjadi saat ini, bahkan belum sampai setengah tahun dirasa begitu berat, sangat berat. Tidakkah kita sadar bahwa ini bukan hanya tentang menuanya bumi, bukan tentang siapa yang memimpin, bukan salah tahun 2020? Tetapi akibat sistem yang saat ini diemban menjadikan manusia-manusia yang lebih mengedepankan nafsu dari pada akal.
Sebab sistem kapitalisme yang dipakai saat ini menghasilkan para penguasa yang lebih mengedepankan tahta ketimbang nyawa rakyatnya. Sistem ini pula yang akhirnya menjadikan masyarakat berkepribadian individualis. Jadi, saatnya kita sadar bahwa sistem ini sangat amat tidak memanusiakan manusia. Sistem ini hanya membuahkan masalah demi masalah.
Saatnya manusia kembali pada sistem yang sesuai fitrahnya; sistem Khilafah. Sistem yang diambil dari firman-firman Allah dan Sunnah Rosulullah. Sebab manusia ciptaan Allah, maka hanya Allah yang mampu mengatur manusia. Allah yang lebih tau tentang kita, bukan manusia-manusia lain. Sistem khilafah sudah terjamin kemahsyurannya dalam mengatasi masalah-masalah hingga musibah.
Jadikan musibah pandemi ini sebagai ajang untuk berserah diri pada sang Khaliq, sebagai moment bermuhasabah bahwa manusia hanyalah makhluk yang lemah. Manusia butuh sesuatu yang Maha Agung yaitu Allah. Dengan adanya musibah ini harusnya manusia kembali sesuai fitrahnya, kembali dengan aturan yang diatur oleh Islam.
Jika musibah dan semua masalah ini tidak menjadikan manusia sadar. Lalu, harus dengan apalagi Allah menegur manusia? Tak henti-hentinya Allah menegur tapi tak berhenti juga manusia bermaksiat setelahnya. Semoga Allah selalu menguatkan manusia yang berserah diri kepada-Nya. Semoga pandemi ini adalah jalan menuju perubahan peradaban yang gemilang. Aamiin.
Wallahu'alam.
Tags
Opini