sumber gambar: redaksiindonesia.com
Oleh: Ummu Diar
(Peminat Informasi Aktual)
Belakangan, istilah pulang kampung dan mudik ramai diperbincangkan. Asbabnya adalah karena adanya pembaruan pembedaan istilah pada keduanya. Yang mana pembedaan istilah itu berujung pada beda penyikapan. Pulang kampung tidak masalah bagi kalangan tertentu, tetapi mudik dilarang. Sontak publik banyak yang bertanya apa beda keduanya.
Menyikapi kebingungan tersebut, diberikan penjelasan pada publik oleh pihak terkait. Dalam bahan presentasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mudik merupakan kegiatan pulang kampung sementara dan akan kembali ke kota. Pulang kampung adalah kegiatan kembali ke kampung dan tidak akan kembali ke kota. Pemerintah mengizinkan pulang kampung bagi pekerja migran Indonesia (PMI) dan yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Kelompok ini wajib mengikuti protokol yang telah ditetapkan pemerintah, diberi bantuan sosial, keahlian, dan isentif melalui program padat karya tunai, serta program ketahanan pangan. [1]
Namun demikian, penjelasan itu tak lantas membuat masyarakat tenang. Pasalnya adanya pergerakan manusia yang berpindah wilayah tetaplah tak dapat dihindari, terutama sebelum larangan mudik diumumkan. Menurut Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono dari data Kementerian Perhubungan sejauh ini sudah ada 900 ribu orang yang melakukan mudik duluan dari Jabodetabek. Apabila mudik tidak dilarang, ratusan ribu pemudik ini rawan menyebarkan virus Corona ke daerahnya. [2]
Apa yang terjadi menunjukkan bagaimana ketimpangan antara harapan penekanan penyebaran virus dengan kesadaran masyarakat. Seolah mengaminkan bahwa informasi dan himbauan yang dikeluarkan selama ini, dinilai kurang meyakinkan masyarakat. Inilah simalakama ketika penyikapan terhadap wabah dinilai dilematis sedari awal. Seandainya segala antisipasi penyebaran wabah tegas sejak awal, larangan keluar daerah pusaran wabah ditetapkan, yang dari luar negeri dilarang datang, dan ada tindakan nyata bagi siapapun yang melanggar, kemungkinan ceritanya akan beda alur.
Akan ditemukan kepatuhan dan ketaatan dalam setiap kebijakan. Kepercayaan terbangun dan sinergi melawan wabah terjalin untuk saling menguatkan satu sama lain. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Wabah yang menyebar pesat telah terlanjur melahirkan efek domino. Tak hanya memakan korban jiwa semata, tapi turut pula mengerek berbagai sektor ke dalam pusarannya, terdampak bencana.
Yang paling menonjol, pandemi memaksa merumahkan banyak orang, melumpuhkan aktifitas produktif di tengah masyarakat. Ekonomi jadi melesu, berujung pada pemangkasan gaji karyawan sejumlah perusahaan. Bahkan tak sedikit yang akhirnya dirumahkan, PHK dadakan terpaksa ditelan tanpa pesangon. Imbasnya rumah tangga tak sedikit yang mengalami kesulitan pemenuhan kebutuhan pokoknya. Pilihan bertahan hidup dengan kondisi serba sulit di perantauan tak lagi diminati. Mengadu nasib di daerah asal yang akhirnya banyak dicoba, berliku meniti jalan pulang kampung.
Padahal pergerakan manusia, entah itu mudik ataukah pulang kampung, berpotensi menjadi media migrasi virus. Virus jelas tidak bisa membedakan apakah yang bergerak itu mengemban misi pulang kampung ataukah mudik semata. Yang virus pahami, selama ada benda bergerak, disitulah dia bisa menumpang berpindah. Menjelajah ketahanan imunitas antarwilayah, mengikuti pergerakan melintasi banyak zona merah.
Jika pertahanan daerah tujuan ideal, tentu tidak masalah. Namun jika belum siap, kesadaran akan bahaya wabah belum terbangun, pengetahuan isolasi mandiri dan protokoler kesehatan lainnya belum dijalankan, apa yang akan terjadi? Apalagi jika sepanjang jalan pulang tidak melewati jalan utama, sehingga lolos dari pos pemeriksaan kesehatan yang standar? Tidak salah jika kemudian kecemasan justru bergeser ke pelosok pedalaman.
Menyikapi kenyataan demikian, banyak spekulasi bermunculan terkait kemana arah kebijakan negeri ini yang sesungguhnya. Tentang bagaimana pertanggungan kebutuhan masyarakat terdampak PHK, maupun pen-jarak-an. Semuanya berliku, seakan mengarah pada konsep “hidupmu, urusanmu”. Mengarah pada tersimpulkannya wajah asli tata laksana pengurusan hajat hidup orang banyak, terpengaruh nuansa sekularisme. Tidak begitu memainkan agama sebagai tolak ukur penyelesaian masalah.
Padahal jika menengok sejarah, justru campur tangan kebijakan berbasis agamalah yang mampu menyelesaikan problema krisis. Menjamin kebutuhan pokok, tanpa harus menggunakan banyak istilah. Dikisahkan, pemerintahan Khalifah Umar pernah diuji Allah dengan dua musibah. Pertama, bencana kekeringan yang terjadi di Madinah. Selama kurang lebih sembilan bulan ibu kota pemerintahan Islam ini dilanda bencana kelaparan akibat perubahan cuaca. Kedua adalah wabah ‘Thaūn Amwās yang menyerang wilayah Syam. Wabah ini dikabarkan telah menghantarkan kematian tidak kurang dari 30 ribu rakyat. [3]
Pada tahun kelabu (masa krisis), bangsa Arab dari berbagai penjuru datang ke Madinah. Khalifah Umar ra. menugaskan beberapa orang (jajarannya) untuk menangani mereka. Khalifah Umar ra. memberi makanan kepada orang-orang badui dari Dar ad-Daqiq, sebuah lembaga perekonomian yang berada pada masa pemerintahan Umar. Lembaga ini bertugas membagi tepung, mentega, kurma, dan anggur yang berada di gudang kepada orang-orang yang datang ke Madinah sebelum bantuan dari Mesir, Syam dan Irak datang. Dar ad-Daqiq kian diperbesar agar bisa membagi makanan kepada puluhan ribu orang yang datang ke Madinah selama sembilan bulan, sebelum hujan tiba dan memberi penghidupan.
Khalifah Umar juga mengirimkan bantuan yang datang dari berbagai daerah berupa makanan dan pakaian kepada semua orang selama beberapa bulan. Tungku-tungku besar sebagai dapur umum terus beroperasi yang dikerjakan oleh tangan-tangan ahli. Mereka memasak sejak fajar dan membagikan makanan kepada orang-orang. Khalifah Umar menyampaikan pengumuman, “Bila Allah tidak mengentaskan kemarau maka setiap penghuni rumah akan kami tangguhkan seperti mereka dan akan kami beri makan semampu kami. Bila kami tidak mampu, kami memutuskan setiap penghuni rumah yang memiliki perbekalan, kami satukan dengan yang tidak punya perbekalan hingga Allah mendatangkan hujan.”
Peristiwa di atas memberi gambaran kepada kita bahwa bantuan untuk orang per orang yang tertimpa krisis jumlahnya sangatlah banyak, berlebih bahkan cukup hingga mereka mampu bekerja sendiri mencari rezeki. Para korban krisis diceritakan mendapat batuan sebanyak apa yang dibawa oleh satu unta. Inilah contoh hadirnya tanggung jawab yang didasari kesadaran iman yang tinggi. Yang melayani atas dasar ketakutan akan hisab, bukan semata untung dan rugi.
Semoga semua bisa mengambil hikmah. Bahwa tidak ada yang salah jika agama dijadikan nafas dalam penanganan wabah. Sebab sejarah menunjukkan, dengan agamalah rasa tanggung jawab terbangun. Persoalan kebutuhan pokok terjamin, sehingga tidak perlu lagi ada pergerakan dalam rangka bertahan hidup selama wabah. Dan virus pun juga tidak perlu bergerak mengikuti mudik atau pulang kampung. []
Referensi:
1.https://katadata.co.id/berita/2020/04/23/beda-mudik-vs-pulang-kampung-bnpb-punya-protokol-resmi-definisinya
2. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4978387/kecolongan-sudah-900-ribu-warga-curi-start-mudik
3. https://www.muslimahnews.com/2020/04/18/pilar-kesuksesan-pemerintahan-islam-dalam-menangani-wabah/