Konten Sampah Demi Rupiah




Oleh: Bintunapan Sastrawetjana


Bicara soal media sosial. Pasti di dalamnya ada istilah-istilah, diantaranya subcriber dan follower. Mungkin ini kata yang baru kita temui di jaman millenial. Subcribe artinya langganan,
Subscriber berarti pelanggan. Kalau buka you tube pasti ada tombol itu. Kemudian ada tanda lonceng kecil, gunanya untuk mendapatkan notifikasi atau pemberitahuan kalau ada postingan anyar. Kurang lebih mungkin seperti itu. Yang saya fahami. 

Ada juga follower, atau artinya pengikut. Nah ini ada di Twitter dan Instagram. Nggak tahu deh media sosial apalagi. Yang cukup populer memang itu. 

Media sosial adalah hasil kemajuan teknologi. Sebagai seorang muslim, sebaiknya memahami faktanya terlebih dahulu. Agar bisa menyikapi tentunya. Media sosial, Ia adalah bentuk madaniyah. Pada dasarnya hukumnya mubah, karena tidak mengandung pemahaman agama ataupun peradaban ideologi lain. Jadi, bolehkah kita sebagai muslim menggunakan Twitter dan instagram atu media sosial lainnya?  Ya boleh boleh saja. Toh itu tidak bertentangan dengan akidah. Jadi tidak termasuk bid'ah. Atau mengada-ada dalam perkara ibadah. 

Nah, yang perlu diperhatikan, pada semua hal, apapun itu, pasti ada dua sisi yang berbeda. Seperti halnya kita memegang pisau. Pisau adalah benda, mubah kita gunakan. Namun, penggunaanya kita yang tentukan. Untuk apa pisau kita gunakan? Untuk memotong bawang atau untuk menusuk orang? Benda yang mubah bisa berubah hukumnya karena perbuatan kita. Dan itu adalah ranah pilihan kita. Bisa baik atau buruk. Begitu pula media sosial atau aplikasi gadget yang ada sekarang. Twitter, IG,  FB, YouTube, dan banyak lagi. Hasil teknologi yang boleh kita ambil. Namun penggunaanya tergantung kita. 

Kembali lagi ke subscriber dan follower. 

Saat kita memutuskan menggunakan media sosial, maka, ini adalah resiko yang akan kita hadapi. Punya akun Youtube misalnya, mengunggah video, kemudian ada orang melihat, suka dan akhirnya like, share, komen, bahkan subcribe. Setiap yang kita posting asti pelanggan kita tahu, karena ada notif dari lonceng tanda dia adalah subcriber. 
Punya akun di IG, posting foto atau posting video. Ada yang suka, komen, like, danakhirnya jadi pengikut alisa follower. Setiap kita posting muncullah di beranda orang yang mengikuti kita. Di like, komen dan seterusnya.

Terus saja begitu. Makin lama, makin banyak. Bisa jadi. Jika konten yang disuguhkan sesuai selera pengikut. 
Masalahnya.. 
Apa sih yang kita posting? Konten seperti apa sih yang membuat orang menjadi subscriber atau follower kita? 
Nah ini, ada dua jenis pula. 

Pertama, konten berfaedah, berarti kebaikan. Standar baiknya tentu saja halal haram ya.. 
Seandainya satu postingan kebaikan, kemudian dilihat satu orang, dilike, dishare, dan di follow tuh akun kita. Tentu saja itu menjadi ladang pahala buat kita, asal jangan bangga diri aja di like banyak orang. Bisa hilang juga pahalanya. Kemudian kebaikan itu diikuti orang lain, menjadi inspirasi juga bagi seseorang. Maka ketika diikuti orang lain itu pahala mengalir buat kita. Telah menunjukkan orang pada kebaikan. Berbagi ilmu misalnya. Baik itu ilmu agama maupun ilmu lainnya, yang tidak bertentangan dengan agama. Bukan ilmu hitam ya. 
Dalam sebuah hadis: "Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” 
( Shahih Muslim,no 1893). Jadilah kita pelopor kebaikan. 

Kedua, konten unfaedah. Konten receh atau sampah. Atau konten yang tidak bermanfaat. Bahkan cenderung merusak. Misalnya posting foto atau video ngeprank, seperti yang baru saja diamankan aparat karena video prank bagi-bagi sembako sampah. Banyak juga video menjebak orang, membuka aurat, sampai adegan mesum, kemudian oleh subscriber atau follower disukai, dikomen, dan dibagikan. Bukan hanya menjadi dosa pribadi, tapi bisa menjadi dosa jariyah karena terus disambung oleh tangan follower kita. Singkat kata menjadi pelopor dalam keburukan. 

Nah, itulah dua sisi dari hasil teknologi. Bukan tidak boleh menggunakan, namun bagaimana kita menggunakan. Berpikir bijak sebelum bertindak. 
Karena perbuatan itu adalah ranah manusia untuk memilihnya.

Saat ini, karena peran negara tidak ada dalam hal mengatur konten-konten media sosial, maka sekuat tenaga kita membentengi diri untuk pengaruh buruk kemajuan teknologi yang desertai derasnya arus kebudayaan dari barat. Yang sangat jauh dari Islam. Dan mengatur media itu adalah peran Negara. Negara kapitalis memang bukanlah berstandar pada hukum pencipta, tapi keuntungan semata. Selagi menghasilkan keuntungan materi so what gitu loh? Tidak lagi menjadi pertimbangan dampaknya ada kerusakan masyarakat khususnya generasi muda. 

Dalam Islam, jelaslah karena standar perbuatannya adalah hukum syara yaitu halal haram, maka konten-konten yang bertentangan dengan akidah jelas akan di hapus oleh negara. Negara harus menjaga rakyatnya dari tindakan-tindakan yang mengarah kepada maksiat kepada Allah. Sudah otomatis rakyat terjaga dari kerusakan budaya dan informasi yang salah. Semoga Islam segera mengatur kehidupan kita. Agar generasi terjaga.

Wallahu'alam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak