By : bulis ja
Pandemi belum usai. Apa yangdisampaikan pemerintah berbeda dengan fakta yang terjadi. Bahkan korban meninggal Versi IDI dua kali lebih banyak dari data pemerintah. Melihat perdebatan datamacam ini anggota komisi ix DPR kurniasih mufidayati meminta pemerintah membuka data secara transparan agar masyarakat bisa percaya. Mengapa perdebatan semacam ini terrjadi? Bagaimana dengan rakyat? Informasi yang jelas sangat diperlukan oleh masyarakat. Bagaimana opini di deraskan maka apa yang dilakukan masyarakat akan seiring dengan opini. Jika yang terjadi kesimpangsiuran maka jelas akan berdampak pada bagaimana masyarakat melakukan upaya serius atau tidak dalam menghadapi pandemic covid ini. Yang di butuhkan rakyat itu sederhana bagaimana pandemik ini segera berakhir. Karena dampak dari pandemi ini jelas dirasakan oleh masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai penghasilan tetap. Mungkin bagi mereka yang mempunyai penghasilan tetap tidak dirasakan dampaknya.
Apalagi seakan pemerintah membiarkan beban berat ini diseleseikan oleh masyarakat sendiri. Misal tatkala ada PSBB yang diterapkan, kita bisa lihat dampak langsung dari ini misalnya para pedagang kaki lima mereka sudah tidak bisa berjualan lagi karena ada larangan. Sementara bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup tidak diberikan jalan keluar. Apakah kondisi ini tidak dilihat para penguasa?
Sejak awal kita bisa saksikan betapa pemerintah sedari awal tidak serius dalam penangana wabah ini. Saat wabah muncul pertama kali pemerintah terkesan menggampangkan dan menyepelekan. Penerbangan keluar masih di buka. Artinya antisipasi awal tidak pernah dilakukan. Setelah wabah sampai ke negri ini kita masih disuguhi dengan perdebatan lockdown atau tidak. Tidak sinkron antara pemerintah pusat dengan daerah. Semua tentu dengan pertimbangan. Namun yang muncul lebih kentara adalah perhitungan untung,rugi.
Kita bisa lihat kenapa PSBB lebih dipilih dari Lockdown. Sebab dua kebijakan ini menimbulkan konsekwensi yang berbeda. Dalam perundang undangan yang ada lockdown menimbulkan konsekensi atas penjaminan kebutuhan secara penuh oleh Negara baik orang ataupun hewan. Sementara PSBB tidak ada kewajiban demikian. Nah mau dibilang apa kalau seperti ini jika bukan pertimbangan untung atau rugi. Dan masih banyak lagi pertimbangan yang tetap mengujungnya adalah pada pertimbangan kapital.
Apa susahnya sih, apakah negri ini sudah tidak ada lagi kekayaan yang mampu menjamin kehidupan seluruh rakyat. Bukankah kita kaya SDA yang bisa dimanfaatkan untuk menjamin kebutuhan rakyat. Terus kemana hasil kekayaan SDA kita. Karena SDA ini sudah kalian jual. Terus mana hasil penjualnnya. Apakah kalian jual murah hanya untuk kroni kroni partai dan kekuasaan kalian.
Inikah hasil investasi yang terus kalian dengungkan. Sekarang terbuktikan bahwa investasi swasta atau asing tidak lebih hanya sekedar merampok dari SDA yang ini hak milik umat. Bagaimana tidak fakta berbicara bahwa rakyat tidak dapat apapun dari SDA yang ia miliki. Bahkan rakyat yang sudah dirampokpun masih harus lagi dipalak pajak yang katanya untuk melaksanakan pembangunan di negri ini. Tidak cukup itu, sudah bayar pajak tapi dalam pemenuhan hajatnya juga masih harus bersusah payah. Untuk Sehat saja harus bayar BPJS, listrik dari waktu kewaktu terus melangit. Ternyata perampokan masih terus berlanjut.
Buktikan dong jika investasi asing di negri ini akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Jika itu omong kosong sudah cukup sampai disini. Jangan terus rakyat dibohongi hanya untuk keserakahan segerombolan manusia yang haus harta dan kekuasaan.
Logika waras dimanapun akan menyampaikan bahwa swasta yang menguasai hajat hidup rakyat maka tidak akan menyentuh pada kesejahteraan bagi umat. Tapi herannya bahkan saat pandemi covid inipun ternyata mereka yang menamakan wakil wakil rakyat masih saja mengesahkan berbagai perundang undangan yang memuluskan swasta ini berkuasa. Tengok saja UU minerba.
Sering ada pertanyaan apakah wakil wakil rakyat atau para penguasa di negri ini tidak tahu bahwa ini adalah jalan untuk menguasai atau penjajahan di negri ini? Logika waras akan menjawab mereka tahu karena mereka orang yang pinter. Namun karena nafsu keserakahan kekuasaan dan harta telah mengalahkan nurani mereka. Telah mengalahkan kecintaan terhadap tanah airnya sekalipun mulut mereka senantiasa berdzikir NKRI harga mati. Namun sungguh apa yang mereka perbuat justru membuka kedok dan aib mereka sendiri siapa mereka sesungguhnya.
Bagaimana dengan rakyat. Mau tak mau kebanyakan dari mereka harus hidup di tengah kesulitan yang terus mendera. Sementara yang menikmati kemudahan, jumlahnya dipastikan hanya segelintir orang saja. Gap sosial di era ini memang makin lebar adanya. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya kebijakan zalim yang justru terus memperberat beban dan mempersempit kehidupan rakyat banyak. Mulai dari pajak yang merambah berbagai sektor, tarif BPJS dan TDL yang terus naik, harga BBM/LPG yang kian melangit, biaya pendidikan bermutu yang kian tak terjangkau, harga pangan yang terus meloncat-loncat, serta kebijakan-kebijakan lain yang kian liberal dan antirakyat.
Adapun di bidang politik, penerapan sistem demokrasi pun makin menampakkan wajah buruknya. Perselingkuhan penguasa-pengusaha makin telanjang. Kasus-kasus korupsi berjamaah terus mencuat ke permukaan. Intrik politik, termasuk politik pencitraan dan politik adu domba begitu kental dan lebih parah terasa.
Mahabenar Allah dengan firman-Nya yang artinya
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96)
Dan firman-Nya yang artinya
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.’.” (QS Thoha : 124-126)
Semestinya, semua realitas buruk ini mampu memicu keinginan kuat untuk melakukan perubahan. Dan perubahan dimaksud tentu bukan sekadar perubahan parsial berupa pergantian rezim semata. Tapi harus mengarah pada perubahan sistem. Tidak lain, perubahan dari sistem sekuler demokrasi yang jahiliah menuju sistem Islam yang dinaungi wahyu ilahiah.
Bukankah fakta menunjukkan bahwa pergantian orang atau rezim sudah berkali-kali dilakukan? Namun tanpa mengubah sistem, kondisi terbukti tak pernah membaik. Dan itu dikarenakan kerusakan memang bukan sekadar ada pada orang, tapi ada pada sistem yang diterapkan. Yakni sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal yang memang rusak sejak dari asasnya.
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem batil ini dicampakkan. Umat Islam bersegera kembali menerapkan hukum-hukum Allah melalui penegakan institusi khilafah yang dipastikan akan membawa keberkahan. Sistem khilafah inilah yang secara empirik pernah menaungi umat Islam bahkan non-Muslim selama belasan abad. Di masa itu, kesejahteraan dan persatuan hakiki pun terwujud dalam kadar yang tak pernah ada bandingannya. Hingga umat Islam mampu tampil sebagai umat terbaik dan berdaulat, serta mampu memimpin peradaban cemerlang sekaligus menebar rahmat ke seluruh alam.