Oleh : Ilma Kurnia P
Banyak kabar berita yang berseliweran perihal korban yang meninggal akibat kelaparan karena faktor ekonomi. Seperti di lansir dari CNN, indonesia (21/4/2020) yang menyatakan Seorang ibu rumah tangga di Serang, Banten, menghembuskan nafas terakhirnya, Senin (20/4) sore sekitar pukul 15.09 WIB, setelah menahan lapar dengan hanya minum air galon isi ulang selama dua hari. Ibu bernama Yulie Nuramelia (43) itu menahan lapar dua hari karena tak ada pemasukan akibat wabah virus corona (Covid-19). Ibu Yulie meninggalkan empat orang anaknya, salah satunya masih bayi. Suaminya, Mohamad Holik (49), hanya bekerja sebagai pencari barang rongsokan dan pemulung.
Sejak muncul wabah corona, lapak yang bisa menampung barang rongsokan dari Holik tutup sehingga tak ada lagi pendapatan bagi keluarganya.
Dampak Virus Corona atau Covid-19 nampaknya berimbas pada semua sektor terutama ekonomi. Bahkan Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini akan tertekan di level 2,1 persen. Hal ini disebabkan oleh terus meluasnya persebaran Covid-19 baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bank Indonesia (BI) pun telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi RI menjadi di Bawah 5 Persen atau hanya sekitar 2,5 persen saja yang biasanya mampu tumbuh mencapai 5,02 persen.
Adapun yang menjadi sebab ialah melambatnya pertumbuhan ekonomi karena pandemi Covid-19. Pandemi virus corona COVID-19 telah mengancam asasi paling dasar bagi setiap manusia, yakni hak untuk hidup. Secara global, lebih dari 200 ribu jiwa melayang akibat serangan virus tersebut. Tak sampai di situ, kini kelaparan juga jadi ancaman yang ikut mengintai nyawa ratusan juta penduduk dunia.
Direktur Program Pangan Dunia atau World Food Programme (WFD), David Beasley, bahkan menyebut 265 juta penduduk dunia terancam kelaparan sebagai dampak dari pandemi virus corona. Sedangkan di Indonesia, mengutip dari laman resmi ADB, Rabu (6/11), Sebanyak 22 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan kronis. Jumlah tersebut sekitar 90 persen dari total jumlah penduduk miskin Indonesia, yakni 25 juta jiwa (beritagar.id, 05/11/2019).
Langkah-langkah serius harus segera dilakukan. Tanpa ada tindakan preventif terhadap permasalahan untuk mengakhiri pandemi ini jumlah tersebut akan terus bertambah. Upaya preventif yang radikal, terencana dan menyeluruh harus dilakukan. Tetapi jelas, ini bukan tugas yang bisa dipenuhi oleh rezim kapitalis. Mereka tidak kompeten, dan terlebih lagi, memiliki prioritas yang berbeda, yaitu menjaga kepentingan ekonomi para pemilik modal. Bahkan dalam penaganan masyarakatpun juga masih terjadi ketimpangan sosial antara orang kaya dan miskin. Ketika orang kaya yang diberikan kemudahan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Tetapi ketika orang miskin yg tidak memiliki banyak uang sulit untuk memeriksakan diri.
Sistem kapitalisme telah terbukti tidak mampu melindungi rakyat dari pandemi Covid-19. Ini karena kapitalisme dirancang bukan untuk memenuhi kebutuhan manusia tetapi untuk meraup profit. Yang dibutuhkan sekarang adalah sistem perencanaan ekonomi yang terpusat dan demokratik, demi kebutuhan manusia perseorangan.
Tentu hal ini berbeda dengan sistem Islam, dimana Islam sangat memperdulikan umat. Dalam sitem Islam mampu memberikan solusi tuntas yang tentunya tidak merugikan satu apapun. Seperti kisah di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kaum muslimin pernah terserang wabah tha’un amwas yang menewaskan hingga sekitar 25.000 muslimin termasuk para sahabat terbaik Rasul. Wabah ini menyebar begitu cepat dan menjadi penyakit yang paling mematikan pada masa itu.
Menghadapi situasi ini, setelah diskusi panjang dengan kalangan Anshar, Muhajirin serta para sahabat yang terlibat dalam pembebasan kota Mekah, Khalifah Umar memutuskan untuk mengisolasi wilayah Syam dan sekitarnya yang menjadi tempat wabah tha’un menyebar. Keputusan ini diambil berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari).
Meski sempat mempertanyakan kebijakan tersebut, Abu Ubaidah bin Al Jarrah (kepala daerah kota Syam) akhirnya menerima dengan ikhlas keputusan khalifah dan kembali memimpin kota Syam. Sebuah keputusan telah ditetapkan. Syam dikarantina hingga wabah tha’un menghilang. Sebagai kepala negara, inilah sikap khalifah Umar bin Khattab dalam menyelesaikan pandemi yang terjadi di wilayah Islam. Abu Ubaidah sebagai kepala daerah pun tak tinggal diam. Bersama masyarakat kota Syam berupaya mengentaskan wabah hingga beliau wafat karena wabah tersebut. Akhirnya khalifah menunjuk Amr Bin Ash sebagai kepala daerah kota Syam selanjutnya. Alhamdulillah, berkat penelitian yang cepat dari kepala daerah yang baru, Syam terbebas dari wabah tha’un.
Demikianlah sikap pemimpin Islam. sikap yang layak ditiru oleh pemimpin manapun di dunia ini. Kebijakan diambil berdasarkan kemaslahatan umat dengan mempertimbangkan nasib rakyat. Masalah ekonomi adalah konsekuensi logis dari pandemi ini, namun hal tersebut tak menjadi keragu-raguan negara dalam mempertimbangkan yang terbaik bagi rakyatnya.
Sesungguhnya pemimpin itu adalah pelindung. Rakyat bergantung kepada kepala negara karena demikianlah fitrahnya. Ketakwaan sang pemimpin menjadi jaminan bagi rakyatnya untuk taat. Tidak seperti sikap pemimpin dunia hari ini, yang mengambil sikap, membuat sebuah kebijakan berdasarkan pertimbangan ekonomi dan mengabaikan kebutuhan mendasar rakyatnya. Wallahua'lam bish showab...