Indonesia Terserah, Saatnya Kembali dalam Naungan Khilafah

Oleh: Rindoe Arrayah


       Indonesia Terserah menjadi tagar yang sangat viral di dunia maya sebagai wujud rasa kecewa yang dirasakan khususnya oleh para tenaga medis.  Pernyataan ini bisa diartikan sebagai keluhan, rasa geram bahkan keputusasaan dari para pejuang garda terdepan pandemi ini, para pahlawan kita, para tenaga kesehatan. Putus asa melihat kebijakan pemerintah yang selalu berubah arah  tentang penanganan wabah corona. Karena kebijakan itu, diperkirakan pasien positif Covid-19 akan bertambah banyak, sehingga akan membahayakan tenaga kesehatan.

Kebijakan pemerintah yang tak tentu arah ini diawali munculnya himbauan berdamai dengan corona, disertai dengan relaksasi atau pelonggaran PSBB. Pusat perbelanjaan kembali dibuka, sarana transportasi kembali dijalankan, pasar dan tempat-tempat lainnya mulai kembali berkegiatan. 

Bak lepas dari kurungan, penerbangan, mall dan jalan raya kembali penuh sesak. Apalagi di saat akhir Ramadhan yang lalu, masyarakat memanfaatkan waktu itu untuk membeli banyak keperluan lebaran. Ini adalah kebijakan nyeleneh pemerintah yang kesekian kalinya dalam menangani pandemic corona. Padahal, data terkini menyebutkan, pasien positif covid-19 bertambah setiap harinya. Per hari ini selasa (19/05/2020), sudah ada 18.496 kasus positif Covid-19, 12.808 orang dirawat dengan angka kematian mencapai 1.221 orang (Kompas.com, 19/5/2020).

Kini, dengan jumlah 12.808 orang yang dirawat akan sangat menyulitkan tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan penanganan wabah. Apalagi ditambah dengan kebijakan berdamai dengan corona. Prosentase jumlah pasien akan terus bertambah. Maka wajar sekali jika tenaga kesehatan kita putus asa, sehingga naiklah tagar “Indonesia Terserah” dan menjadi trending topik.

Penanganan pemerintah yang sering berubah arah telah menguak wajah asli kapitalisme yang tidak mampu menangani pandemi. Jika kita mengikuti semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, maka semua itu sama sekali tidak menolong rakyat. Kita ingat bagaimana sistem ini terlambat mengeluarkan kebijakan lockdown, malah menggantinya dengan PSBB. Juga dengan membebaskan napi, menaikkan iuran BPJS, tidak semua orang bisa menikmati listrik gratis. Saat ini yang terbaru adalah relaksasi PSBB demi menaikkan ekonomi.

Kemanakah hati nurani pemerintah atas kematian ribuan rakyatnya? Dengan belasan ribu pasien positif yang sedang dirawat? Bahkan, dengan ribuan pasien yang tidak bisa dirawat karena rumah sakit sudah penuh? Atau dengan tenaga kesehatan yang terus menerus bergelut ancaman penularan Covid-19?

Telah nyata adanya, kapitalisme tidak akan pernah memihak kepada rakyat dan tidak punya hati nurani. Pemerintah yang menggunakan sistem ini menganggap enteng seribu orang yang meninggal. Padahal, bisa jadi diantara mereka ada orangtua kita, saudara kita atau bahkan anak kita. Itu semua tidak ada artinya dimata sistem yang rusak dan merusak ini, yaitu kapitalisme. 

Lain halnya dengan sistem Islam yang sangat menghargai satu nyawa. Dari al-Barra’ bin Azib RA, Nabi SAW bersabda,

 “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455). 

       Berbagai fakta historis kebijakan di bidang kesehatan yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul SAW menunjukkan taraf yang sungguh maju. Pelayanan kesehatan gratis diberikan oleh negara (Khilafah) yang dibiayai dari kas Baitul Mal.  Adanya pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas dan diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan.

Hal itu sudah dijalankan sejak masa Rasul SAW. Delapan orang dari Urainah datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa.  Nabi SAW Kemudian memerintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal yang digembalakan di sana.  Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih. 

Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi SAW. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal.  Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan.  Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari Baitul Mal.  Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman.  Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan.

Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya.  Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis.  Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”   

Menurut Ketua Institut Internasional Ilmu Kedokteran Islam, Husain F Nagamia MD, di dunia, rumah sakit yang sebenarnya baru dibangun dan dikembangkan mulai awal kejayaan Islam dan dikenal dengan sebutan ‘Bimaristan’ atau ‘Maristan’.  Rumah sakit, meski baru tahap awal dan belum bisa benar-benar disebut RS, pertama kali dibangun pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. RS Islam pertama yang sebenarnya dibangun pada era Khalifah Harun ar-Rasyid (786 M – 809 M). Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu dan pemilihan tempatnya merupakan ide brilian dari ar-Razi, dokter muslim terkemuka. Djubair, seorang sejarahwan yang pernah mengunjungi Baghdad tahun 1184 M  melukiskan bahwa rumah sakit-rumah sakit itu memiliki bangunan megah dan dilengkapi dengan peralatan modern.

Menurut M. Husain Abdullah, pada masa Khilafah Abbasiyah, banyak rumah sakit dibangun di Baghdad, Kairo, dan Damaskus. Pada masa itu pula, untuk pertama kalinya, ada rumah sakit berjalan (semacam ambulans). (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikri al-Islami, hlm. 88). 

Menurut Dr. Hossam Arafa dalam tulisannya, Hospital in Islamic History,pada akhir abad ke-13, RS sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia. Rumah sakit-rumah sakit itu untuk pertama kalinya di dunia mulai menyimpan data pasien dan rekam medisnya. Konsep itu hingga kini digunakan RS yang ada di seluruh dunia.

Semua itu didukung dengan tenaga medis yang profesional baik dokter, perawat dan apoteker.  Di sekitar RS didirikan sekolah kedokteran.  RS yang ada juga menjadi tempat menempa mahasiswa kedokteran, pertukaran ilmu kedokteran, serta pusat pengembangan dunia kesehatan dan kedokteran secara keseluruhan. Dokter yang bertugas dan berpraktik adalah dokter yang telah memenuhi kualifikasi tertentu. Khalifah al-Muqtadi dari Bani Abbasiyah memerintahkan kepala dokter Istana, Sinan Ibn Tsabit, untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad. Dokter yang mendapat izin praktik di RS hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Khalifah juga memerintahkan Abu Osman Said Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah. 

Pada masa Khilafah Abbasiyah itu pula untuk pertama kalinya ada apotik. Yang terbesar adalah apotik Ibnu al-Baithar. Saat itu, para apoteker tidak diijinkan menjalankan profesinya di apotik kecuali setelah mendapat lisensi dari negara. Para apoteker itu mendatangkan obat-obatan dari India dan dari negeri-negeri lainnya, lalu mereka melakukan berbagai inovasi dan penemuan untuk menemukan obat-obatan baru (M. Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikri al-Islâmî, hlm. 89).



Paradigma Islam Tentang Kesehatan

Rasulullah SAW bersabda:

 “Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi.

Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar itu. Nabi SAW bersabda:

اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”  (HR al-Bukhari)

Tidak terpenuhi atau terjaminnya kesehatan dan pengobatan akan mendatangkan dharar bagi masyarakat. Dharar (kemadaratan) wajib dihilangkan.  Nabi SAW bersabda:

“Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri.”  (HR Malik)

Dengan demikian, kesehatan dan pengobatan merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara dalam memenuhinya.



Kebijakan Kesehatan

       Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari 3 (tiga) unsur sistem. Pertama: peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif.  Kedua: sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga: SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148).

Kebijakan kesehatan dalam Khilafah akan memperhatikan terealisasinya beberapa prinsip. Pertama: pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga: pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat: kontrol efektif terhadap patologi sosial. Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Promotif ditujukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif ditujukan untuk menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat.

Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan kepribadian Islam itu sendiri.  Dalam hal ini, keimanan yang kuat dan ketakwaan menjadi keniscayaan.  Dr. Ahmed Shawky al-Fangary1 menyatakan bahwa syariah sangat concern pada kebersihan dan sanitasi seperti yang dibahas dalam hukum-hukum thaharah.   Syariah juga memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta perilaku dan etika makan seperti perintah untuk memakan makanan halal dan thayyib (bergizi), larangan atas makanan berbahaya, perintah tidak berlebihan dalam makan, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara, termasuk kaitannya dengan syariah puasa baik wajib maupun sunah. Syariah juga menganjurkan olah raga dan sikap hidup aktif. Syariah juga sangat memperhatikan masalah kesehatan dan pola hidup sehat dalam masalah seksual.

Jadi, menumbuhkan pola baku sikap dan perilaku sehat tidak lain adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat. Tentu hal itu bukan hanya menjadi domain kesehatan tetapi menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat umumnya.

Kebijakan kesehatan Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif.  Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dsb.  Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadits, seperti:

“Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahud.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la)

اتَّقُوا الْمَلاَعِنَ الثَّلاَثَةَ الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ

“Jauhilah tiga hal yang dilaknat, yaitu buang air dan kotoran di sumber/saluran air, di pinggir atau tengah jalan dan di tempat berteduh.” (HR Abu Dawud).

Rasul SAW juga bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian buang air di air yang tergenang.” (HR Ashhab Sab’ah).

Jabir berkata, “Rasulullah melarang buang air di air yang mengalir.” (HR Thabarani di al-Awsath). 

Di samping itu juga terdapat larangan membangun rumah yang menghalangi lubang masuk udara rumah tetangga, larangan membuang sesuatu yang berbahaya ke jalan sekaligus perintah menghilangkannya meski hanya berupa duri.

Beberapa hadits ini dan yang lain jelas mengisyaratkan disyariatkannya pengelolaan sampah dan limbah yang baik, tata kelola drainasi dan sanitasi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan, dan pengelolaan tata kota yang higienis, nyaman sekaligus asri.  Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen kesehatan, tetapi juga departemen-departemen lainnya.  Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, dsb telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa.

Pelayanan kesehatan berkualitas hanya bisa direalisasikan jika didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten.  Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara (Khilafah) karena negara (Khilafah) berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pengobatan.  Karenanya, Khilafah wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotik, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan dan sekolah lainnya yang menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya.  Negara juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan; menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan dan lainnya.

Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat baik kaya atau miskin tanpa diskriminasi baik agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum.

Semua pelayanan kesehatan dan pengobatan harus dikelola sesuai dengan aturan syariah termasuk pemisahan pria dan wanita serta hukum-hukum syariah lainnya. Juga harus memperhatikan faktor ihsan dalam pelayanan, yaitu wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam: Pertama, sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit). Kedua, cepat dalam pelayanan. Ketiga, profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan amanah. 

       Sungguh, hanya Khilafah yang hanya bisa mewujudkan tatanan kehidupan yang menenteramkan dalam segala  bidang, termasuk di bidang kesehatan. Saatnya kita kembali dalam naungan Khilafah agar teraih rahmatan lil alamiin.



Wallahu a’lam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak