Herd Immunity dan Hilangnya Generasi





Oleh : Ummu Syakira 
Aktivis Dakwah



Mengejutkan, kasus COVID-19 tembus angka fantastis yaitu 973 pasien dalam 24 jam dari seluruh rumah sakit di Indonesia per Kamis (21/5/2020). Pihak pemerintah bahkan mengonfirmasi penambahan ini merupakan yang tertinggi dan peningkatan luar biasa sejak diumumkannya kasus COVID-19 pertama kali pada 2 Maret 2020. (kompas.com, 21/5/2020)

Masyarakat pun kian dibuat was-was, apalagi pemerintah sepertinya sudah mencukupkan diri dengan upaya yang ada dalam penanganan COVID-19. Buktinya seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo, bahwa pemerintah terus berupaya keras dan berharap puncak pandemi COVID-19 akan segera menurun. Selama wabah masih terus ada, Jokowi meminta seluruh masyarakat untuk tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan. Yang artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, masyarakat harus hidup berdamai dengan COVID-19 untuk beberapa waktu ke depan. 

Hal ini semakin kuat membuktikan bahwa pemerintah tengah menggunakan opsi fenomenal yang sudah menuai penolakan dari berbagai pakar kesehatan dan bahkan tokoh masyarakat. Yakni herd immunity, yang secara harfiah bisa diartikan sebagai kekebalan komunitas. Jadi, dalam satu komunitas, harus ada cukup banyak orang yang imun atau kebal terhadap suatu penyakit sehingga komunitas tersebut tidak lagi bisa diserang oleh suatu virus. Virus apapun butuh inang atau tempat tinggal untuk bertahan hidup. Manusia maupun hewan bisa menjadi inangnya. Termasuk SARS-COV-2 yang merupakan virus penyebab COVID-19. Jika virus ini tidak bisa memasuki tubuh manusia, maka ia lama-kelamaan akan mati karena tidak bisa bertahan lama berada di udara terbuka. Jika ada cukup banyak orang dalam satu komunitas memiliki kekebalan terhadap suatu virus, maka virus tersebut akan hilang. 

Lalu, bagaimana caranya agar orang-orang tersebut bisa kebal? Ada dua cara, yaitu : 

Vaksin
Dengan vaksin, maka di tubuh orang tersebut bisa terbentuk kekebalan terhadap penyakit tertentu. Pada penyakit campak misalnya, sudah banyak orang yang menerima vaksin campak sehingga penyebaran penyakit ini sudah tidak sebanyak dulu. Ini bukti bahwa herd immunity terhadap campak, sudah terbentuk.

Cara alami
Selain dengan vaksin, agar seseorang bisa kebal terhadap suatu penyakit, maka orang tersebut perlu terinfeksi terlebih dahulu. Setelah infeksi sembuh, tubuh akan membentuk antibodi atau pertahanan yang mencegah virus tersebut kembali menginfeksi. Jika meniru cara alami ini, maka semakin banyak orang yang terinfeksi dan sembuh, maka semakin banyak juga orang yang kebal. Lama-kelamaan, herd immunity akan terbentuk.

Dampak Herd Immunity

Untuk bisa mencapai herd immunity terhadap infeksi COVID-19, saat ini hanya ada satu pilihan, yaitu secara alami dengan membiarkan banyak orang terinfeksi penyakit ini. Sebab, hingga saat ini belum ada vaksin corona yang tersedia. Namun pertanyaannya, apakah hal tersebut setimpal dengan risiko kematian dan jumlah infeksi yang akan terjadi. Perlu diingat bahwa COVID-19 adalah penyakit baru. Saat penyakit ini muncul, belum pernah ada orang yang mengalaminya. Itu artinya, tidak ada orang yang kebal terhadap penyakit ini. Jadi, untuk membuat herd immunity terhadap COVID-19, diperkirakan 60% populasi masyarakat perlu terinfeksi dan sembuh. Ingat, harus sembuh. Jika banyak orang terinfeksi dan kemudian meninggal, maka tetap saja kekebalan komunitas ini tak akan tercapai. Bayangkan betapa rumitnya suasana fasilitas kesehatan jika sebagian besar orang terinfeksi virus corona secara hampir bersamaan. Tentu, kesembuhan akan semakin sulit dicapai dan berujung pada meningkatnya angka kematian.

Jauh sebelumnya, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) menilai penerapan herd immunity untuk mengatasi Corona COVID-19 di Indonesia sama sekali tidak boleh dijadikan pilihan. Alasannya cukup tegas, cara itu dapat menghilangkan satu generasi, alih-alih menghentikan pandemi. Kajian PAPDI ini ditujukan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Pengendalian COVID-19, Doni Monardo dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng Mohammad Faqih pada Jumat (27/3/2020) kemarin. "Dampaknya adalah peningkatan jumlah kematian. Kematian massal ini bisa terjadi di kelompok usia produktif sehingga mengakibatkan hilangnya sebuah generasi," demikian tertulis dalam surat pengantar kajian tersebut. PAPDI berkesimpulan herd immunity untuk COVID-19 di Indonesia dapat memusnahkan satu generasi karena faktanya tingkat penyebaran penyakit ini sangat tinggi, sementara di satu sisi populasi di Indonesia sangat besar. Jumlah penyakit penyerta juga tinggi, yang membuat seseorang semakin rentan seandainya terinfeksi COVID-19. PAPDI mencatat ada 1,5 persen orang yang menderita penyakit penyerta kardiovaskular, lalu diabetes (10,9 persen), paru kronis (3,7 persen), hipertensi (34 persen), kanker (1,8 per 1 juta penduduk), dan autoimun (3 persen). "Sehingga jumlah populasi yang berisiko terkena infeksi dengan teori herd immunity akan berjumlah fantastis," tertulis dalam surat tersebut. (tirto.id, 28/3/2020)

Tapi mengapa pemerintah tetap ngotot dan tega menerapkan Herd imunity meski pakarnya mengatakan Indonesia akan kehilangan satu generasi? Tampaknya benarlah bahwa Indonesia saat ini dipimpin oleh pemimpin ruwaibidhah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: 

"Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, Siapa Ruwaibidhah itu? Nabi menjawab, Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum." (HR. al-Hakim, al-Mustadrak ala as-Shahihain, V/465)

Imam as-Syathibi menjelaskan, "Mereka mengatakan, bahwa dia adalah orang bodoh yang lemah, yang membicarakan urusan umum. Dia bukan ahlinya untuk berbicara tentang urusan khalayak ramai, tetapi tetap saja dia menyatakannya." (As-Syathibi, al-Itisham, II/681)

Mereka berambisi menjadi penguasa, padahal mereka adalah orang bodoh, tidak bermutu, fasik, dan hina. Mereka bukanlah orang yang mencari kebenaran, bukan pula orang yang menggengamnya dengan jujur, tetapi mereka adalah para pembohong yang pandai mengeklaim. Ya seperti itu pulalah saat memberi informasi tentang hasil penangan COVID-19, kebohongan penurunan kasus yang dipaksakan dengan klaim gerakan kurva landai yang tidak diikuti oleh kajian epidemiologis. Bahkan ditentang oleh pakarnya. Namun karena yang mengatakan adalah penguasa maka jajaran di bawahnya pun mengikuti dan menyosialisasikannya. Tak heran karena memang sistem demokrasi kapitalismelah yang menjadikan biang kemunculan pemimpin Ruwaibidhah. Sistem yang lahir dari sekulerisasi/pemisahan agama dari kehidupan.
 
Paradigma Islam Mengatasi Wabah

Berbeda dengan paradigma kepemimpinan dan watak sistem Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dinilai sebagai amanah berat yang berkonsekuensi surga dan neraka. Dia wajib menjadi pengurus dan penjaga umat. Seorang pemimpin pun dipandang seperti penggembala. Layaknya gembala, dia akan memelihara dan melindungi seluruh rakyat yang menjadi gembalaannya. Memperhatikan kebutuhannya, menjaga dari semua hal yang membahayakannya, dan menjamin kesejahteraannya hingga bisa tumbuh dan berkembang biak sebagaimana yang diharapkan. Negara hadir sebagai penanggung jawab urusan umat. Negara senantiasa ada dan terdepan dalam setiap keadaan. Negara tidak menyerahkan urusan rakyatnya pada pihak lain. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibn Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, 

"Seorang imam yang berkuasa atas masyarakat bagaikan penggembala dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).”

Siapa saja yang dijadikan Allah mengurusi suatu urusan kaum muslimin lalu ia tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinannya.

Sejatinya memang negara mesti memprioritaskan urusan pengayoman terhadap kehidupan rakyat, sebab itulah cerminan dari posisinya sebagai raain dan junnah. Tidak boleh negara mengambil kebijakan yang mengabaikan nasib mereka. Dalam keadaan apa pun keselamatan rakyat senantiasa akan menjadi pertimbangan utama negara.


“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani)

Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Wabah itu ialah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upaya Rasulullah saw. adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut. Beliau bersabda:


“Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta.” (HR. al-Bukhari)

Dengan demikian, metode karantina sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw. untuk mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain. Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasul saw. membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Peringatan kehati-hatian pada penyakit kusta juga dikenal luas pada masa hidup Rasulullah saw. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, "Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa." (HR. al-Bukhari) 

Islam memang telah memerintahkan kepada setiap orang untuk mempraktikkan gaya hidup sehat. Misalnya, diawali dengan makanan. Allah SWT telah berfirman:

“Makanlah oleh kalian rezeki yang halal lagi baik yang telah Allah karuniakan kepada kalian.” (QS. an-Nahl : 114)

Selain memakan makanan halal dan baik, kita juga diperintahkan untuk tidak berlebih-lebihan. Apalagi sampai memakan makanan yang sesungguhnya tak layak dimakan, seperti kelelawar. Allah SWT berfirman:


"Makan dan minumlah kalian, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. al-Araf : 31)

Islam pun memerintahkan umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan diri maupun lingkungan sekitar. Untuk itulah Rasulullah saw. pun, misalnya, senang berwudhu, bersiwak, memakai wewangian, menggunting kuku dan membersihkan lingkungannya. Namun demikian, penguasa pun punya peran sentral untuk menjaga kesehatan warganya. Apalagi saat terjadi wabah penyakit menular. Tentu rakyat butuh perlindungan optimal dari penguasanya. Penguasa tidak boleh abai. 

Para penguasa Muslim pada masa lalu, seperti Rasulullah sebagaimana riwayat di atas, telah mencontohkan bagaimana seharusnya penguasa bertanggung jawab atas segala persoalan yang mendera rakyatnya, diantaranya dalam menghadapi wabah penyakit menular. Dengan begitu wabah pasti akan segera berakhir. Namun pemimpin seperti ini tak kan terwujud dalam sistem demokrasi kapitalisme. Dia hanya bisa lahir dari rahim yang benar yakni sistem Islam dalam naungan Khilafah. 

Saatnya umat sadari, bahwa pemimpin mereka adalah pemimpin Ruwaibidhah, yang akan memusnahkan satu generasi dengan wabah ini jika dibiarkan dengan kebijakan Herd imunitynya dalam menangani wabah Covid 19. Tentu kita semua tidak menginginkan itu terjadi. Karenanya dibutuhkan dakwah yang sungguh-sungguh untuk menyadarkan umat Islam. Agar wabah ini menjadi berkah dengan terwujudnya pemimpin Islam dalam naungan Khilafah sebentar lagi insyaAllah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak