Hari Raya dan Takwa Hak
Pengasuh Majelis Taklim dan Member AMK
Ada yang menggelitik dalam hati. Para pejabat negara ️di antaranya Presiden dan Wakil Presiden menyampaikan ucapan Idul Fitri dengan mendorong terwujudnya takwa. Tapi sungguh heran, aktivitas yang mereka lakukan selama ini justru berbanding terbalik dengan arti takwa itu sendiri. Inilah ironi di sistem sekuler!
Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyampaikan selamat hari raya, seraya menyampaikan janji Allah Swt kalau kita beriman dan bertakwa akan diberikan keberkahan.
"Idul Fitri kali ini kita rayakan dalam suasana Pandemi, oleh karena itu mari kita rayakan dengan tetap memegang aturan-aturan kesehatan dan marilah kita perkuat iman dan ketakwaan kita karena Allah janji kalau kita beriman dan bertakwa akan diberikan keberkahan," katanya saat Takbir Virtual Nasional. (suaramerdeka.com, 23/05/2020)
Dalam sistem kapitalisme sekuler, terlihat jelas adanya paham pemisahan agama dan kehidupan, terutama saat hari raya seperti ini. Mendadak semua pejabat negara dengan ringannya mengucapkan kata takwa dari lisan mereka.
Tapi sayang, takwa yang diucapkan hanya sebatas takwa ritual semata, seiring dengan dijalankan perintah syariat di bulan Ramadan. Sebagaimana dipahami banyak orang bahwa puasa yang Allah maksudkan agar mewujudkan insan bertakwa.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan negara, kata takwa seperti jauh panggang dari api. Tidak akan pernah secara hakiki, takwa itu bisa kita raih. Karena bagaimanapun sistem demokrasi sekuler tidak akan memberikan peluang kepada Islam untuk diterapkan secara sempurna.
Takwa merupakan modal besar terwujudnya semua cita-cita kehidupan. Baik dalam lingkup individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Begitu pentingnya takwa sampai Al-Quran menyebutnya dalam lebih dari 240 lafaz dasar dan musytaq (derivat)nya.
Para sahabat, fuqaha dan salafushshalih juga terus mendalami makna takwa, ciri-ciri pemiliknya dan balasan bagi mereka yang meraih takwa.
Salah satunya, apa yang dijabarkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu berkata,
"Takwa yaitu rasa takut pada Al Jalil (Yang Maha Agung, yaitu Allah), beramal dengan At Tanzil ( yaitu syariat yang Allah turunkan), qana'ah dengan yang sedikit dan bersiap untuk hari kepergian (setelah mati)."
Negara yang bertakwa adalah negara yang melaksanakan seluruh perintah Allah Swt dan yang menjauhi larangan-Nya. Semua aktivitas yang dilakukannya senantiasa merujuk kepada Al-Quran, Sunah, Ijma dan Qiyas.
Negara yang bertakwa adalah negara yang para pejabatnya hanya takut kepada Allah Swt saja, tidak ️khawatir dengan stigma internasional. Karena mereka paham, suatu saat nanti mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt, terhadap segala kebijakan yang dikeluarkannya.
Terlebih di masa Pandemi seperti sekarang. Mereka tidak akan menyia-nyiakan rasa sakit, kesulitan, penderitaan, ataupun keselamatan atas nyawa satu jiwa manusia. Apalagi sampai mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyatnya. Karena mereka tahu ada azab yang pedih menanti bagi penguasa yang zalim.
"Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksaan yang pedih. (QS. Asy-Syura [42]: 42)
"Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum muslimin, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Sadarlah, tidak mungkin kita bisa mewujudkan ketakwaan hakiki dalam sistem demokrasi saat ini. Kebebasan menjadi pondasi dan modal menjadi prioritas tertinggi. Padahal, Allah Swt dan Rasul-Nya telah menyiapkan model sistem politik yang selaras untuk menyemai dan terus memupuk tumbuh suburnya takwa yaitu dengan berlakunya kembali sistem khilafah. Lebih dari 13 abad menjadi bukti kuat akan adanya khilafah, sebagai sebuah peradaban agung yang menerapkan hukum Islam secara kafah.
Wallahu'alam bishshawwab