Oleh: Ummu Syaqieb
Viral di media sosial kasus prank yang dilakukan seorang youtuber. Conten creator tersebut memberikan bingkisan sedekah kepada beberapa waria dan anak jalanan yang ternyata berisi sampah dan batu bata. Kontan saja, aksi sang youtuber menuai kecaman keras dari masyarakat luas. Tindakan tersebut dinilai amat melukai rasa kemanusiaan, terlebih di tengah masa pandemi.
Kasus prank viral sejatinya bukan kali pertama terjadi. Di dunia maya, prank sudah menjadi konten yang marak dilakukan. Korban bisa siapa saja, mulai dari driver ojek online hingga anggota keluarga. Modus pun beragam, mulai dari meng-cancel order makanan yang membuat driver ojek online berderai air mata, hingga pura-pura bunuh diri yang membuat keluarga panik bukan kepalang.
Ke semua dilakukan demi satu hal, mendapatkan popularitas di dunia maya. Mirisnya, konten prank mendulang like amat banyak dari viewers, atau dengan kata lain diminati oleh kalangan luas di negeri ini.
Fakta ini menjadi gambaran degradasi moral yang terjadi di tengah masyarakat, utamanya kaum milenial. Memiliki minat yang tinggi pada tontonan tidak bermanfaat alias tontonan sampah. Kondisi demikian tak lepas dari faktor pemicu yang hari ini amat melekat di kehidupan masyarakat.
Adalah budaya permissif atau serba boleh, menjadikan masyarakat, terlebih kaum milenial, merasa bebas untuk melakukan hal apapun yang disukai, tanpa perduli lagi baik dan buruk. Semua dilakukan berdasar satu frame: menyenangkan.
Budaya permissif lahir dari pemahaman liberalisme yang menjamin 4 kebebasan bagi manusia, salah satunya kebebasan berpendapat yang diekspresikan dalam kebebasan berperilaku.
Selain itu, sekularisme atau paham memisahkan agama dari kehidupan telah merasuk kuat di tengah-tengah umat. Aturan-aturan agama (Islam) dijauhkan dalam kehidupan. Padahal agama merupakan benteng bagi perilaku manusia.
Berdasar sekularisme, manusia menimbang baik-buruknya perilaku tidak lagi berdasar ketentuan agama, melainkan hawa nafsu/keinginan individu. Kala sekularisme liberal dijadikan pijakan dalam menjalani hidup, maka lahirlah perilaku-perilaku rusak yang jauh dari kategori bermoral, sebagaimana kita saksikan hari ini.
Hal lainnya, kerusakan moral generasi menjadi bukti gagalnya sistem pendidikan di negeri ini mencetak kepribadian luhur peserta didik. Baik skala keluarga maupun negara. Banyak keluarga yang gagal menjalankan fungsinya sebagai sekolah utama dan pertama bagi anak-anak.
Begitupun negara, sistem pendidikan berasas kapitalisme sekular hanya mampu menghasilkan peserta didik yang pandai secara akal, namun miskin moral.
Hal ini berbeda dengan Islam. Islam menentukan pendidikan dimulai sedini mungkin, bahkan sejak dari dalam kandungan. Setelah anak lahir, ia dididik oleh sekolah pertama, keluarga, dengan nilai-nilai yang bersumber dari akidah Islam.
Akidah Islam menjadi pondasi terbangunnya kepribadian Islam. Anak akan dididik dengan target capaian pemahaman, sesuai tuntunan Islam. Hingga di usia baligh, anak telah terbentuk menjadi pribadi yang memiliki pengetahuan tentang syariat dan berperilaku sesuai dengan syariat.
Tak hanya keluarga, lembaga pendidikan formal pun menyelenggarakan pendidikan dengan target yang sama, membentuk kepribadian Islam. Hingga terbentuk pola pikir Islam dan pola sikap Islam dalam diri setiap peserta didik. Hal ini dapat berjalan atas dukungan penuh negara yang memang menerapkan sistem Islam yang berasas akidah Islam.
Sesungguhnya, rusaknya generasi menjadi ancaman paling akut untuk keberlanjutan peradaban. Tak terbayangkan masa depan akan sebuah bangsa, andai peradabannya hari ini diisi oleh generasi rusak yang terbius oleh cara pandang sekularisme liberal.
Saatnya kita menyadari, maju mundurnya sebuah generasi amat ditentukan oleh sistem yang menjadi landasan kehidupan mereka. Sistem kapitalisme sekular telah nyata menyeret generasi pada kerusakan, kemunduran. Maka saatnya kita kembali pada sistem Islam, agar generasi semisal Al Fatih akan bisa berulang. []
Tags
Opini