Oleh : Fityah Sholihah
Derita rakyat di tengah pandemi
Pandemi wabah virus Covid-19 di Indonesia terus berlangsung. Entah sampai kapan wabah penyakit yang dinamakan Korona ini pastinya akan terhenti tidak ada yang tahu. Bulan demi bulan berlalu rakyat hidup dalam cekaman wabah penyakit yang mengancam jiwa siapa saja.
Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang telah diterapkan dibeberapa wilayah kota yang belabel zona merah, sebagai pengganti kebijakan lockdown sempurna karena pemerintah yang ekonominya terlanjur carut marut tak berani menanggung kebutuhan hidup rakyat di negeri ini dalam masa lock down.
Namun demikian dalam masa PSBB telah tertoreh kisah-kisah pilu sebagai derita rakyat berjibaku dalam menghadapi wabah penyakit ini. Kebijakan sosial distancing dan physical distancing telah melumpuhkan banyak sendi kemaslahatan dalam kemasyarakatan. Baik dalam dunia pendidikan, sosial kemasyarakan, bahkan ekonomi menjadi lumpuh. Wal’hasil sudah jatuh tertimpa tangga, yang bertambah tidak hanya derita akibat wabah penyakit corona ini melainkan juga derita ekonomi dan kelaparan yang melanda rakyat.
Seolah berperang sendirian, rakyat hadapi musbah ini dengan kemampuan ala kadarnya. Bukankah negara adalah pelindung dan perisai utama bagi rakyatnya ketika mereka dalam keadaan terancam. Miris dan kesal yang mendalam ketika kita dipertontonkan penderitaan rakyat. Banyak rakyat menganggur karena tidak bisa bekerja, yang berakibatkan kelaparan dan berujung kematian yang merana. Seperti kisah Ibu Hamil dan Tiga Balita Lemas karena Kelaparan di tengah Kebun, akibat dari ayahnya Kehilangan pekerjaan. Nasib tragis tersebut dialami satu keluarga yang berasal dari Tolitoli, Sulawesi Tengah. Pasalnya, saat ditemukan warga di tengah kebun di Kelurahan Amassangan, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, kondisi mereka sudah lemas karena kelaparan. Satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang tersebut tiga di antaranya masih balita dan seorang ibu diketahui sedang hamil besar. Sebab, pekerjaannya sebagai buruh tani yang ditekuni saat di Tolitoli sudah tak bisa diharapkan setelah virus corona merebak. Kisah ini hanya fenomena gunung es yang tampak sedikit saja dalam liputan sosial media namun sesungguhnya derita rakyat sangat banyak dan mendalam. Bagaimana mungkin ketika mereka harus makan setiap hari tetapi mereka kehilangan nafkah mata pencaharian.
Dibalik Layar: Bansos Ditengah Rakyat
Tentu saja, bantuan dari negara adalah sesuatu yang sangat dirindukan dan berharap akan menjadi solusi derita dan persoalan rakyat yang melilit. Rakyat harus makan setiap hari, namun bantuan tak kunjung datang. Keresahan, penderitaan, mungkin ancaman kematian akan menjadi persoalan berat yang menghantui rakyat dalam menghadapi wabah ini. Ironisnya, kita tidak segera mendengar kabar bahwa bantuan akan segera datang dan menenangkan karena bantuan siap dan cukup untuk kebutuhan rakyat masa menghadapi wabah, melainkan yang kita dapatkan adalah berita-berita yang membuat kita mengelus dada tanda prihatin.
Seperti mendapatkan momen, para penguasa masih saja sempat memikirkan kepentingan kelompok (partai) nya dengan menumpang momen penderitaan rakyat dengan memberi label bantuan dengan logo partai atau tokoh partai tertentu. Rupanya mindset kapitalis telah benar merasuk dalam benak hingga menggeser hati nurani. Kejadian bermula dari foto bansos yang viral di media sosial. Dalam paket bantuan hand sanitizer, tertempel wajah seorang bupati di kabupaten tertentu. Termasuk bantuan nasional yang dalam kemasan tasnya terdapat logo Presiden yang notabene mendapt sorotan bahwa bansos tersebut merupakan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari uang rakyat. Secara kasat mata disini menampakkan kultur politisasi bansos dalam politik demokrasi sekuler. Hingga istilah istilah pork barrel atau gentong babi dimunculkan, sebagai simbul bantuan bagi pendukung atau calon pendukungnya jauh hari sebelum Pemilu. Trik ini juga bisaa disebut politik uang atau money politic, serupa dengan serangan fajar jelang pencoblosan ketika pemilu. Perbedaannya, pork barrel berbalut kewenangan pemerintah mengelola anggaran bantuan sosial. Rupanya politik pencitraan masih diaggap manjur dalam perpolitikan di negeri ini.
Islam Tangani Persoalan Umat Tanpa Pencitraan
Tentunya, kondisi ini berbalikan dengan sistem Islam. Dalam Islam seorang pemimpin akan selalu siap siaga untuk melindungi rakyatnya dengan tanpa pamrih. Mereka akan ada kapan saja rakyat memerlukannya. Tanpa harus berpikir untung dan rugi bagi dirinya dan kepentingannya. Karena telah menjadi syarat pertama dalam sistem Islam yang berlandaskan aqidah Islam, semua amal perbuatan harus dilakukan dengan ikhlas yaitu untuk mendapatkan Ridlo Alloh tanpa embel-embel kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau partai. Karena jika amal itu tidak ikhlas, apalagi amal bagi penguasa, maka amal itu akan menjadi rusak dan sia-sia. Dan tentu saja sifat ikhlas akan telah menjadi ideologi yang mengakar dalam jiwa pemimpin dan menjadi icon “branding” dalam sistem Islam.
Memang sudah berbeda dari sononya, sistem kapitalis sudah cacat sejak kelahiran sistem itu. Sistem kapitalis telah meniadakan sisi manusiawi dan kefitrohan manusia. Sistem ini telah menempatkan uang, dan kepentingan duniawi menjadi segala-galanya. Penguasa akan menghadapi rakyat bukan sebagai umat yang dilindungi, melainkan kaum lemah yang bisa dipolitisasi, dijadikan jalan untuk mengambil keuntungan pribadi dan kelompoknya. Sehingga sering kita dapati para penguasa menggunakan setiap momen untuk pencitraan demi pemenangan kursi kekuasaan yang akan datang.
Dalam Islam menjadi penguasa atau pemimpin merupakan tugas mulia dan tidak ringan, karena segala amal perbuatan akan dimintai pertanggung-jawaban di mahkamah keadilan Alloh SWT.
Dalam masa kepemimpinan Islam, banyak pemimpin Islam yang layak dijadikan teladan seperti para gubernur pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Di antaranya Said bin Amir bin Hisyam, Umair bin Saad, Salman al-Farisi, Abu Ubaidah al-Jarrah, dan Abu Musa al-Asy’ari. Mereka wajib mempunyai akidah yang benar, mengakui dan senantiasa terikat dengan hukum syariat, meyakini takdir Allah, memiliki kemampuan memimpin masyarakat, jujur, menjadi contoh masyarakat, pemberani, zuhud, senang berkorban, rendah hati, mau menerima nasihat orang lain, bijaksana, sabar, bercita-cita tinggi, memiliki keteguhan hati, memiliki keinginan yang kuat, adil, mampu menyelesaikan permasalahan, dan lain-lain. Demikian gambaran Islam yang mulia dalam sebuah naungan Sistem Islam yang kokoh nan menenteramkan.