Oleh : Nahida Ilma Nafi'ah
(Pelajar)
Belum lama ini, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly telah menandatangani Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Kepmen yang ditandatangani Yasonna H. Laoly pada Senin 30 Maret 2020 ini menyebutkan sejumlah hal yang menjadi pertimbangan terbitnya kebijakan ini. Di antaranya Lapas, lembaga pembinaan khusus anak (LPKA), dan rumah tahanan negara merupakan institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi, sehingga sangat rentan penyebaran dan penularan Covid-19.
Ada sejumlah syarat pengeluaran narapidana dan anak melalui asimilasi sesuai Kepmenkumham ini. Pertama, narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai 31 Desember 2020. Kedua, anak yang ½ masa pidananya jatuh sampai dengan 31 Desember 2020. Ketiga, narapidana dan anak yang tidak terkait dengan PP No.99 Tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsider dan bukan warga negara asing. Keempat, asimilasi dilaksanakan di rumah. Kelima, surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, LPKA, dan Rutan.
Kemudian pembebasan anak melalui integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas) dilakukan dengan mekanisme yang kurang lebih sama dengan asimilasi.
Dengan keputusan itu, hingga kini sudah 35 ribu lebih napidana yang bebas karena program asimilasi dan integrasi. Tentu saja hal ini menimbulkan keresahan di tengah warga. Pasalnya, kemenkumham bersikukuh membebaskan puluhan ribu napi, namun gagal memberikan pengawasan ketat kepada mereka, sebab sebagian narapidana yang bebas kembali melakukan aksi kejahatan.
Di televisi dan media sosial banyak berseliweran berita tindakan kriminal yang dilakukan oleh narapidana asimilasi. Seperti, Baru Bebas, Napi Ditangkap lagi setelah menjambret di Bandung (Kompas.com), Sepekan Bebas karena Asimilasi, Eks Napi Rutan Balikpapan Kembali Dibui (Kompas.com), Bebas karena Asimilasi, Dua Napi Menjambret Lagi di Surabaya (CNN Indonesia), dan berbagai berita yang semisal yang dimuat di banyak laman berita.
Nampaknya, para narapidana yang dibebaskan karena asimilasi tidak menghiraukan ancaman yang diberikan apabila mereka melakukan aksi lagi. Pasalnya, ketika meraka masih berada di lapas, mereka tidak mendapatkan pembinaan yang manusiawi yang seharusnya mereka dapatkan. Segala fasilitas yang diberikan sesuai dengan berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh masing-masing napi selama masa tahanan. Kesenjangan sosial sangat nampak dan terasa. Kecemburuan sosial menjadi ancaman serius bagi keamanan di lapas.
Banyaknya napi yang kembali berulah menjadi bukti kegagalan pembinaan napi selama di lapas dan ketidakmampuan pemerintah, khususnya penegak hukum untuk memberikan rasa aman kepada publik. Hal ini menjadikan semakin nampak kebobrokan sistem kapitalis yang dianut negeri ini. Setelah rakyat diminta menjaga diri sendiri dari penyebaran virus, kini ditambah lagi menjaga diri sendiri dari ancaman tindakan kriminal ulah napi yang dibebaskan.
Berita tentang adanya penghematan anggaran negara setelah membebaskan sekian puluh ribu napi juga menjadi bukti bahwa memang dalam sistem kapitalis bukanlah kesejahteraan rakyat yang menjadi prioritas utama melainkan tergeser oleh kepentingan ekonomi. Kepentingan individu membuat mereka rakus akan uang.
Sangat berbeda apabila hukum dipandu dengan syariat Islam. Dengan panduan syariat islam, para pejabat pada masa khilafah memiliki sifat dan karakter terpuji. Mereka menjalankan amanahnya atas dasar keimanan. Takut akan pertanggungjawaban yang besar di akhirat kelak. Di antara sifat dan karakter terpuji itu adalah dengan memberikan rasa aman. Salah satunya, menerapkan sanksi hukum atas orang-orang fasik dan berbuat dzalim. Jika perbuatan mereka dibiarkan maka akan membahayakan kehidupan yang lainnya. Hukuman dalam islam yang mampu membuat jera dan bisa mencegah orang lain melakukan halyang serupa.
Dalam buku sistem sanksi dalam Islam yang ditulis oleh Abdurrahman Al-Maliki, dijelaskan bahwa penjara ialah tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Penjara adalah tempat orang menjalani hukuman yang dengan pemenjaraan itu seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan yang serupa. Di dalamnya harus ada pembinaan kepada para narapidana yang mampu meningkatkan rasa takut kepada Allah dan memperkuat ketakwaan. Diberikan hak hidup sesuai syariat. Misalnya, makanan yang layak, tempat tidur yang terpisah, kamar mandi yang tetap melindungi aurat dan lain sebagainya.
Penjara menjadi tempat membina para narapidana dengan sepenuh hati. Sehingga, ketika mereka keluar dari penjara, mereka mampu menjadi pribadi-pribadi yang bermanfaat untuk agamanya dan sesama manusia. Tidak akan ada lagi kejahatan yang terulang dan keamanan rakyat terjamin. Begitulah sistem islam dalam bingkai institusi islam yakni Khilafah. Semoga pemimpin hari ini bisa mengambil teladan.