Oleh: Ummu Wildan
(Aktifis Dakwah Banua)
Covid-19 adalah penyakit infeksius yang sedang naik daun. Menghadapi tingkat penularannya yang semakin luas, tidak sedikit negara-negara di dunia yang menerapkan karantina wilayah.
Indonesia ? Tidak, dia bukan salah satunya. Indonesia memilih PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Indonesia bukannya tak punya undang-undang tentang Karantina Kesehatan. Adalah Undang-Undang no 6 Tahun 2018, yang di dalamnya ada pasal 55 menyatakan bahwa selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Pasal ini pula menjadi salah satu pertimbangan sehingga di Indonesia hanya diterapkan PSBB. Pengajuan beberapa wilayah zona merah untuk penerapan PSBB pun ditolak antaranya karena minimnya anggaran. Contoh yang ditolak adalah Palangka Raya.
Ketika skenario PSBB dipilih, maka bukan perkara wajib bagi pemerintah atas kebutuhan pokok rakyat yang terdampak. Partisipasi rakyat pun menjadi salah satu yang sangat diharapkan untuk membantu.
Menteri Agama mengeluarkan himbauan agar membayar zakat segera. Surat Edaran Menteri Agama Nomor 6 tahun 2020 terkait panduan beribadah menyambut Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriah. Surat Edaran tersebut diteken Menag pada hari ini, Senin, 6 April 2020.
Sebelumnya pun Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan himbauan serupa. “Saat ini sangat tepat sekali yang kaya mengeluarkan zakat. (Yang biasanya dikeluarkan) tiap Ramadan, sebaiknya dimajukan waktunya dan pada sekarang ini sangat tepat karena memang masyarakat sangat membutuhkan,” katanya saat konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa, 31 Maret 2020.
Berbagai kalangan pun sebenarnya sudah terlibat dalam membantu penanganan ini. Dari para ustadz muda yang tergabung dalam Barisan Bangun Negeri sampai Youtuber semacam Atta Halilintar. Dari orang kaya yang bagi-bagi duit dan masker dari dalam mobil sedannya. Sampai ibu rumah tangga yang menggantung makanan di pagar rumahnya agar bisa diambil orang yang memerlukan. Namun hal tersebut masih jauh dari menjangkau kebutuhan rakyat ke seluruh penjuru negeri.
Di Jakarta, keputusan PSBB agak berbanding terbalik dengan kenyataan. Justru semakin banyak orang yang beraktivitas di luar rumah. Begitupun di Banjarmasin. Jalan-jalan tikus menjadi lebih ramai ketika jalan utama dijaga petugas. Pertimbangan perut agaknya sulit dielakkan. BLT Rp 600 ribu per keluarga sulit dikata mencukupi. Belum lagi perihal PKH yang sebelum pandemi saja sudah menyimpan masalah pendataan. Sembako yang dibagikan pun tidak sedikit yang tidak sesuai kualifikasi sembilan bahan pokok.
Impat, 51 tahun, seorang pedagang ikan keliling asal Batola, bisa jadi salah satu nyawa yang tak seharusnya melayang di pinggir jalan (tribunnews.com). Dalam keadaan kurang fit selayaknya dia beristirahat di rumah. Namun ketiadaan jaminan dapur mengepul telah memaksa dirinya keluar, mencari nafkah. Akhirnya ajal menjemput tanpa bisa ditunda. Tragis memang.
Pendataan Rakyat Miskin: Ambyar
Program pengalokasian anggaran Jaring Pengaman Sosial sebesar Rp 110 triliun untuk masyarakat lapisan bawah, yang terdiri dari Program Keluarga Harapan (PKH), Program Kartu Sembako, Program Kartu Prakerja, dan Program Tarif Listrik untuk 450VA dan 900VA, yang sudah dilansir sejak awal April 2020 lalu, ternyata implementasinya di lapangan amburadul.(eramuslim.com)
Persoalan database kelompok sasaran masih sangat rapuh. Sehingga yang terjadi, yang semestinya berhak memperoleh bantuan sosial, justru salah sasaran, jatuh ke kelompok tidak pantas memperolehnya.
Pada kasus pekerja informal, seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), pekerja serabutan, tukang parkir, pekerja bangunan yang menetap di kota-kota besar misalnya, justru banyak yang tidak memperoleh bantuan. Sehingga wajar, meski sakit kadang mereka harus tetap berjuang mencari nafkah!
Kasus ini menambah panjang derita rakyat di sistem Kapitalis yang memang setengah hati dalam melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Lalu tak adakah solusi terbaik bagi kondisi tak mengenakkan bagi rakyat seperti hari ini?
Sungguh sulit untuk keluar dari kondisi buruk ini kecuali kita mau berpaling kepada solusi asasi yaitu ganti sistemnya. Selama mempertahankan sistem bobrok, ya..selama itulah kekecewaan akan terus menghantui kita semua.
Sistem Pengganti Itu Adalah Islam (Khilafah)
Dicuplik dari sejarah para khalifah, salah satunya Umar bin Khothob yang sangat viral akhir- akhir ini. Soalnya, sempat salah satu petinggi negri disebut mirip Umar dalam soal dermawannya. Tapi entah dari sudut (kamera) mana melihatnya?
Yang jelas, khalifah (para pengganti yang dibaiat setelah Nabi wafat) sangat serius mengemban amanah rakyat yang diurusnya.
Sebagai contoh, Umar rela berpatroli malam-malam untuk memastikan tidak ada warga yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya. Dia pun rela memanggul sendiri karung gandum (yang akan diberikan) karena rasa takutnya kepada Allah. Dan perlu dicatat: tu karung tanpa sablon
" bantuan khalifah" , makanya yang dibantu tak tau bahwa yang memberi adalah amirul mukminin. Maasya Allah.
Ini merupakan manifestasi dari sabda Rasul. Dari Ibnu Umar RA dari Nabi SAW telah bersabda: Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. (HR. Muslim).
Dia pula yang memilih hanya makan dari bahan cuka dan tepung pada masa pandemi karena tak merasa pantas makan mewah sementara ada rakyatnya yang menderita terkena wabah. Umar pun berhasil membawa rakyatnya melewati masa pandemi.
Dalam sejarah pemerintahan Islam tercatat betapa serius pembahasan terhadap kesehatan seperti virus dan wabah, bahkan ada kitab khusus membahas cacar. Di Puncak keemasan Abbasiyah, penyakit kusta diberikan pelayanan, bukan seperti Romawi Kuno yang sekedar dikucilkan tanpa diurus. Ibnu Zuhri (Avenzoar) yang lahir 200 tahun sebelum wabah Black Plague abad ke 14 telah meletakkan dasar-dasar observasi, semisal scabies, tidak semata-mata setiap penyakit harus bekam.
Dalam pembiayaan kesehatan pun Islam mengenal sistem ekonomi yang pro rakyat. Sehingga memungkinkan kepemilikan umum seperti barang tambang dan hutan untuk pemenuhan kebutuhan pokok publik, termasuk menjamin kebutuhan asasi seperti sandang , pangan dan rumah. Juga mampu mnenyokong pembiayaan kesehatan yang mampu melayani semua kalangan. Sehingga tak ada ceritanya faskes kekurangan alkes seperti hazmat, dsb.
Begitulah Islam mencakup semua segi, bahkan ketika wabah tak pilih- pilih dalam menjamin kebutuhan publik. Sila bandingkan dengan kondisi hari ini. Di mana anggaran minim bahkan prioritas anggaran pun kadang salah. Plus setengah hati melayani rakyat, karena dianggap membebani perekonomian negara. Sudah cukup banyak bukti, bahwa sistem ini harus diganti. Tidakkah umat mau sadar?[]