Oleh : Elis Sulistiyani
(Muslimah Perindu Surga)
Jeritan hati para tenaga medis yang menangani pasien corona di berbagai daerah, mengenai kurangnya Alat Pelindung Diri (APD) kini kian nyaring terdengar. Bagaimana tidak, pasien yang terkonfirmasi setiap harinya kian meningkat. Hingga per 25 April 2020 sudah menginjak angka 8.607 orang yang tekonfirmasi positif covid-19 (detik.com, 25/04/2020). Namun sangat disayangkan peningkatan pasien tidak dibarengi dengan APD yang memdai bagi tenaga medis, hingga sangat rentan untuk terpapar covid-19 bagi mereka. Di DKI Jakarta per 26 Maret sudah 50 orang yang terpapar covid-19, 2 diantaranya meninggal dunia. (cnbcindonesia.com, 27/03/2020).
Kekurangan APD ini justru dimanfaatkan segelintir orang untuk mengeruk keuntungan. Jiwa rakus kapitalis bergejolak melihat peluang emas ini. Indonesia sendiri hingga saat ini belum mampu untuk dapat memproduksi APD ataupun obat-obatan sendiri. Selama ini Indonesia hanya menjadi penjahit APD saja, namun bahan bakunya harus impor dan jika barangnya sudah jadipun akan diambil oleh “tuannya”. Bahkan ketergantungan Indonesia terhadap Impor alat kesehatan (alkes) bahkan mencapai lebih dari 90%. (kompas.com, 16/10/2018). Bahkan Staf Khusus Mentri BUMN, Arya Sinulingga menyebut ada praktik mafia alat kesehatan. (tribunnews.com, 19/04/2020)
Kebijakan impor ini tak lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi (ekonomi neolib) yang diambil rezim. Ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi politik akhir abad 20 yang prinsip dasarnya adalah menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi. Ekonomi neoliberal memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Merobohkan semua hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi. Maka jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk agreement perdagangan bebas.
Syariat Islam wujudkan negara mandiri
Tsunami impor akan terus menggerus negeri ini selama rezim tetap berpegang pada kebijakan ekonomi neolib. Untuk menghentikannya dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis, serta sistem ekonomi syariah bukan ekonomi yang prokapitalis.
Kenapa ekonomi syariah? Karena ekonomi syariat bebas kepentingan manusia dan terbukti 1.300 tahun lebih berhasil meratakan kesejahteraan, adil, dan stabil. Ekonomi syariah bukan hanya bermakna pengaturan financing dan semacamnya, tapi berupa pengaturan makro dan mikro ekonomi yang mengacu kepada syariat Islam Dalam ekonomi syariah, kegiatan impor dan ekspor merupakan bentuk perdagangan (tijârah). Di dalamnya praktik jual-beli (buyû) dengan berbagai bentuk dan derivasinya dilakukan. Karena itu, hukum asal perdagangan, baik domestik maupun luar negeri adalah mubah sebagaimana hukum umum perdagangan.
Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan. Dalam hal ini, mereka bisa diklasifikasikan menurut negara asalnya, menjadi tiga:
Pertama, Kafir Harbi, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim. Hukumnya perdagangannya boleh nmun dengan visa khusus, kecuali kafir harbi fi’lan tidak boleh melakukan perdagangan apapun di wilayah negara Islam.
Kedua, Kafir Mu âhad, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam, maka boleh dan tidaknya mereka melakukan perdagangan di wilayah negara Islam dikembalikan pada isi perjanjian yang berlaku antara Khilafah dengan negara mereka.
Ketiga, Sementara warga negara Khilafah, baik Muslim maupun nonmuslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan Negara Khilafah dan menguatkan musuh.
Dari sini tergambar jelas begitu sempurna dan utuhnya pengaturan negara khilafah dalam aspek perdagangan luar negerinya. Negara bervisi besar dan lengkapnya pengaturan yang digali dari Alquran dan Sunah ini pasti mampu mengatasi karut marut yang biasa terjadi pada urusan ekspor impor.
Sebagaimana firman Allah Swt.,
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS Al-Nisâ’ ayat141).
Keterikatan pada syariat Islam kafahlah yang mampu menjamin stabilitas ekonomi. Dijamin tak akan terjadi tsunami impor macam hari ini. Hadirnya kekuatan besar ini makin kuat dirasakan seiring dengan makin tampaknya kebobrokan sistem ekonomi kapitalis liberal. Hadirnya makin dekat. Tsumma takuunu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah