Oleh : Citrawan Fitri, S.Mat., M.Pd
Moramo, Sulawesi Tenggara (Pemerhati Sosial)
Di tengah wabah pandemi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang dinilai bertujuan untuk mencukupi kehidupan masyarakat selama masa proses pembatasan sosial berskala besar diberlakukan. Salah satu di antaranya yaitu pemerintah hendak memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang disinyalir membutuhkan bantuan tersebut.
Namun, implementasi penyaluran bantuan sosial tersebut dinilai menuai banyak polemik dan tak tepat sasaran. Hal ini tentu membuat persepsi publik terkait kebijakan bansos berubah dari positif menjadi negatif. Pasalnya, penyaluran bansos ini tidak terarah dan terkesan tumpang tindih dalam proses penyalurannya. Tidak hanya itu, pemerintah pun menetapkan kriteria untuk mendapatkan bantuan tersebut salah satunya masyarakat harus membuka rekening terlebih dahulu.
Maka wajarlah jika menuai banyak protes dari kalangan masyarakat. Sebagaimana yang tersebar dalam sebuah video Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, Sehan Salim Landjar viral di media sosial. Sehan Landjar geram karena mekanisme pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah pusat dianggap sulit.
Hal ini merupakan pernyataan tegas dari Sehan Landjar “Kalau sistem pembagian BLT tanya saja di Kemensos dan Kemendes, itu program kedua kementerian itu. Kalau program saya menalangi kesulitan rakyat yang sangat mendesak, mereka butuh makan hari ini, bukan disuruh menunggu besok, atau sampai administrasi tentang BLT selesai. Kebutuhan untuk isi perut rakyat tidak bisa menunggu onggokan kertas yang diminta oleh para menteri, sebagai syarat untuk mendapatkan uang Rp600 ribu, rakyat saya bahkan memohon biar tidak dapat duit BLT." https://news.detik.com (16/04)
Pernyaataan tegas datang pula Kepala Desa (kades) Jalan Cagak, Kabupaten Subang, Indra Zainal Alim, dalam sebuah video yang baru-baru ini viral di masyarakat. Ini adalah penggalan protes dari bapak tersebut, “Jangan jadikan bencana atau musibah ini menjadi pencitraan bagi Bapak, tolong sekali lagi pak, kami sebagai kepala desa seolah-olah diadu domba oleh kebijakan Bapak dengan warga kami sendiri.” www.muslimahnews.com (01/05)
Selain itu adanya Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Jhonny Simanjuntak, yang terdata sebagai salah satu penerima bansos. Tak hanya di Jakarta, di Jawa Timur, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Achmad Amir, menceritakan bantuan antara pemerintah provinsi dan tingkat desa yang tumpang tindih. Lalu, masyarakat yang berada di rumah hanya mendapat masker dan sembako. Tapi, mereka yang keluyuran malah dapat bantuan lebih. https://vivanews.com (24/04)
Lebih lanjut, beredar video berdurasi 25 detik yang menunjukkan dua anak yatim piatu warga Desa Sebau, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dengan kondisi tubuh kurus kering akibat kelaparan, viral di media sosial. Keberadaan keduanya yang nampak tidak terurus, mengundang keprihatinan dari berbagai kalangan. Dengan kondisi yang memilukan, sejumlah spekulasi pun bermunculan. https://vivanews.com (24/04)
Ketika kita menelisik lebih jauh dari segala kebijakan yang terencana dan telah diberlakukan oleh pemerintah saat ini, maka wajarlah menuai banyak protes dari masyarakat. Pasalnya, alih-alih memenuhi kebutuhan rakyat, justru malah mempersulit masyarakat di tengah wabah pandemi corona ini. Masyarakat kini butuh makan, jangan lagi dipersulit dengan harus mengurus administrasi sana sini untuk mendapat bantuan tersebut. Masyarakat kini tidak lagi membutuhkan janji manis yang digembor- gemborkan di media, melainkan bukti. Sebab jika tak segera teratasi, maka nyawa menjadi taruhannya.
Selain itu, Perbedaan data tentu menimbulkan kegaduhan. Rakyat mempertanyakan mengapa yang mendapat bantuan tidak sesuai dengan yang telah didata RT/RW. Akhirnya, yang menjadi sasaran kemarahan rakyat adalah RT, RW, Kadus, dan Kades. Sungguh cerminan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani wabah ini. Perbedaan data pun disinyalir sengaja. Akibat mengacu data lama, tentu jumlah penerima bansos lebih sedikit dari sekarang.
Inilah potret sistem buatan manusia, yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat, bahkan justru di tengah pandemi ini, negara hanya bertindak sebagai regulator sedangkan pelaksana di lapangan adalah operator yaitu para korporasi elit penguasa yang hanya memikirkan surplus untuk dirinya sendiri.
Berbeda dengan sistem Islam yang melahirkan para pemimpin yang berfokus pada kemaslahatan umat. Sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir adalah kebijakan yang mampu menyelesaikan permasalahan umat tanpa menimbulkan permasalahan baru.
Karena sesungguhnya, para pemimpin dalam Islam memahami bahwa keberadaannya di pemerintahan adalah semata untuk beribadah kepada Allah Swt. Mereka takut akan azab Allah Swt. bagi penguasa yang lalai terhadap amanahnya. Apalagi menjadikan amanahnya sebagai jalan tol perburuan rentenya.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang diamanahi mengurusi umatku lalu menyusahkan mereka, maka baginya Bahlatullahi. Para sahabat bertanya, apakah itu Bahlatullahi? Rasulullah menjawab, Laknat Allah.”(HR Abu Awanah dalam kitab sahihnya).
Dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu khilafah, rakyat tidak akan dibiarkan sendiri dalam memenuhi kebutuhannya, karena hal demikian adalah hak rakyat yang harus dipenuhi negara. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok rakyat: sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan.
Sebab, negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raain (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung). Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Oleh sebab itu, mari sama-sama berjuang untuk kembali menghadirkan institusi Islam dalam bingkai khilafah, yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar secara murni bertujuan untuk meriayah rakyatnya.
Wallahu a'lam bishshawab