Oleh : Rantika Nur Asyifa
Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berikut sejumlah peraturan turunnya dibuat untuk melegalkan Dan menginstitusikan pandangan negatif sekularisme, khususnya tentang kesehatan dan fungsi negara. Kesehatan tak lebih dari jasa yang harus dikomersilkan dan negara regulator bagi kepentingan korporasi dalam hal ini BPJS Kesehatan.
Beban penderitaan masyarakat yang semakin berat, terlihat ketika banyaknya keluarga yang kesulitan mengakses pelayanan kesehatan. Bahkan nyawa publik yang harus dilindungi negara justru dipertaruhkan di ruang fasilitas kesehatan. Krisis pelayanan kesehatan di depan mata.
Belum lama ini, negara mengumumkan kenaikan iuran BPJS di tengah pandemi covid-19. Kebijakan tersebut dianggap telah melukai hati masyarakat. Anggota DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc, mengatakan, kenaikan iuran BPJS telah melukai hati masyarakat di seluruh Indonesia, termasuk Aceh. Apalagi kebijakan tersebut dilakukan di tengah-tengah pandemi Corona seperti sekarang ini.
“Kebijakan ini melukai hati masyarakat. Di tengah wabah Corona seperti sekarang, banyak masyarakat mengalami kesusahan di bidang ekonomi serta PHK terjadi di mana-mana," kata Fadhil Rahmi, Serambinews.com, Minggu (17/5/2020).
Selain itu, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono / AHY turut menyayangkan langkah Presiden Joko Widodo yang bersikukuh tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Di tengah kesulitan ekonomi, pemerintah seharusnya memberikan jaminan kesehatan dengan baik. Pasalnya, kenaikan ini terjadi di tengah masyarakat sedang menghadapi pandemi Covid-19, yang turut berdampak terhadap perekonomian mereka.
"Masyarakat sedang membutuhkan fasilitas jaminan kesehatan, sementara pandemi juga menciptakan peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan. Masyarakat ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula," tulis AHY melalui akun Twitter pribadinya, Kamis (14/5/2020).
Sama seperti pembangunan proyek infrastruktur, menurut dia, pemerintah seharusnya juga dapat memberikan skala prioritas terhadap sektor kesehatan masyarakat. AHY menyarankan pemerintah merealokasikan anggaran pembangunan infrastruktur yang belum mendesak untuk menutupi kebutuhan Rp 20 triliun bagi BPJS Kesehatan.
"Jika selama ini proyek infrastruktur bisa ditalangi lebih dahulu, negara pastinya bisa lebih prioritaskan kesehatan rakyat saat ini," tulisnya. (TribunMataram.com, 15/05/2020).
Sudah menjadi rahasia umum aspek diskriminasi begitu menonjol. Apalagi bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu, Penerima Bantuan Iuran yang preminya dibayarkan Pemerintah. Bahkan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik, dan puskesmas saat ini berubah menjadi tempat pertaruhan jutaan nyawa manusia.
Pelayanan kesehatan benar-benar dalam cengkraman industrialisasi, khususnya bisnis BPJS Kesehatan. Bahkan sering rumah sakit dan insan kesehatan dipaksa memberikan pelayanan substandar (dibawah standar).
Lain halnya dengan jaminan kesehatan dalam Islam. Islam menjadi tameng bagi komersialisasi dan industrialisasi pelayanan kesehatan. Sistem kesehatan Islam meniscayakan penyediaan secara memadai segala aspek yang dibutuhkan bagi perwujudan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat tanpa diskriminasi. Wallahualam
_ Aktivis Dakwah, Penulis, Pemerhati Remaja _