Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Baru – baru ini, viral video protes yang diunggah oleh seorang kepala desa (Kades) Jalan Cagak, Kabuaten Subang, Indra Zainal Alim. Video yang berdurasi 3,38 menit tersebut berisikan kritik keras terhadap lemahnya kebijakan bansos. Dalam videonya, Indra mengingatkan Pemerintah pusat, Presiden Jokowi, Menteri Desa, dan khususnya Gubernur Ridwan Kamil untuk mematangkan kebijakan sebelum disampaikan pada publik. Pasalnya, setiap hari kebijakannya berubah-ubah, seperti negeri ini tak memiliki hierarki undang-undang. (www.detik.com, 28/4/2020)
Sebelumnya pun dalam laman yang sama (www.detik.com, 26/4/2020), telah viral video serupa dari Bupati Boalang Mongondaw Timur, Sulawesi Utara, Sehan Landjar perihal mekanisme pemberian BLT yang menyulitkan warga. Prosesnya yang berbelit-belit dan tidak tepat sasaran telah membuatnya geram.
Buruknya pendataan dan semrautnya pengurusan taktis telah membuat kades dan bupati protes terbuka di media sosial. Protes tidak lagi dilayangkan melalui jalur birokrasi yang ada, dengan alasan agar aspirasinya cepat sampai ke pemerintahan provinsi bahkan pusat. Inilah potret buram kohesi struktur pemerintahan kita.
Seolah menjadi martir, pascaviralnya video-video yang berisikan aparatur negara memprotes kebijakan bansos yang buruk, puluhan kades dari Bogor pun melakukan protes ke kantor bupati untuk memperbaiki data penyaluran tiga sumber bansos yakni bantuan propinsi, kabupaten dan dana desa. (www.kompas.com, 26/04/2020)
Pada awalnya, respons publik terhadap kebijakan bansos yang diumumkan pemerintah cukup positif. Namun, segudang masalah dalam implementasinya telah membuat warga kecewa. Meski sebenarnya pengalaman harusnya mengajarkan, bahwa sudah menjadi ciri rezim ini bahwa kebijakan yang berhubungan dengan rakyat selalu tak serius diurusi.
Gagapnya pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19 semakin membuktikan pada masyarakat perihal buruknya kepemimpinan dan tata kelola negeri ini. Instrumen yang dikeluarkan berupa kebijakan bansos dinilai kurang matang dalam pembuatannya.
Setidaknya ada tiga poin terkait polemik kebijakan bansos yang menjadi sorotan masyarakat, sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa aparatur negara yang bergelut dalam proses pembagiannya.
Yang pertama adalah data. Data adalah hal krusial yang harus diperhatikan oleh pemerintah, karena akan berdampak pada ketepatan sasaran program tersebut. Hanya saja, ada beberapa daerah yang mana data turunnya bansos, masih mengacu pada data lama. Padahal tingkat desa sudah memperbarui data sebagaimana yang diinstruksikan. Akibatnya, banyak warga terdampak yang telah diusulkan pihak desa, yang tidak mendapat bantuan. Dampak lanjutannya, adalah terjadinya bentrok antara warga dengan apparat desa.
Yang kedua adalah syarat yang pelit dan berbelit. Syarat yang rumit pun membuat masyarakat sulit mengakses bantuan. Misal saja kriteria keluarga miskin penerima BLT berdasarkan peraturan Menteri Desa PDTT nomor 6 tahun 2020 yang dinilai keterlaluan. Terdapat 14 syarat yang kesemuanya dipertanyakan warga.
Berdasarkan putusan tersebut, warga yang berhak mendapatkan BLT adalah warga yang mempunyai rumah dengan luas lantai kurang dari delapan meter, lantainya harus tanah/bambu, dindingnya harus bambu/kayu murah/tempok tanpa plester, tidak punya fasilitas WC dalam rumahnya.
Selain itu harus tidak punya listrik, PAM, kompor gas alias pakai kayu bakar. Untuk sandangnya, hanya mampu membeli pakaian satu setel per tahun. Untuk pangan, hanya mampu makan 1-2 kali sehari dan tidak sanggup berobat ke Puskesmas.
Penghasilan tetap dibawah Rp600 ribu per bulan per KK, itu artinya Rp20 ribu per hari untuk satu keluarga. Pendidikan kepala keluarga tidak sekolah/SD, serta tidak memiliki tabungan/barang mudah dijual minimal 500 ribu.
Apakah harus demikian parah kondisi warga agar bisa mendapat bantuan? Bukankah untuk kondisi saat ini, tidak perlu separah ini, sangat – sangat memerlukan uluran tangan?
Yang ketiga adalah perkara korupsi bansos. Di tengah warga yang menjerit kelaparan, bansos pun tak luput dari incaran para tikus berdasi. Dilansir dari www.Jabarsuara.com, diduga ada korupsi dana bantuan sosial atau bansos untuk orang miskin di Depok, Jawa Barat.
Kita bisa membaca, protesnya para kades di jejaring sosial bukan tanpa sebab. Kemarahan dan kekecewaan yang memuncak terhadap kebijakan pusat dan daerah yang tumpang tindih telah melahirkan permasalahan baru. Mereka lebih memilih protes ilegal daripada menghadap langsung pada atasan dan sesuai birokrasi yang ada.
Hal demikian jika tidak disikapi dengan cepat akan menjadi bibit-bibit perpecahan. Jika pusat terus-menerus tak memedulikan daerah, dampak terburuknya adalah disintegrasi. Karena kepercayaan penguasa daerah pada pusat telah dikebiri oleh kebijakannya sendiri.
Islam sebagai agama yang paripurna, telah memiliki definisi yang jelas tentang sosok pemimpin. Pemimpin dalam sistem Islam kafah haruslah seorang yang perintahnya membuat mayoritas rakyatnya gembira, bukan orang yang membuat rakyatnya berpaling darinya.
Abu Musa berkata, “Saat Rasulullah saw mengirim salah seorang sahabatnya untuk urusan tertentu, beliau akan berkata pada sahabatnya, ‘Buatlah orang senang dan jangan buat mereka berpaling darimu. Bersikaplah lemah lembut dan jangan mengasari mereka.’” (HR. Muslim)
Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah yang menerima dari ayahnya, “Saat Rasulullah saw hendak memilih seorang Amir yang akan memimpin pasukan atau ekspedisi, beliau selalu memerintahkannya agar memiliki ketakwaan dan agar bersikap baik pada para muslim yang bersamanya.” (HR. Muslim, Musnad Ahmad).
Penguasa yang takut dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wata‘ala, serta hatinya selalu terpaut kepada Allah Subhanahu wata’ala akan terhindar dari kemungkinan berubah menjadi diktator.
Demikianlah sosok pemimpin yang kita rindukan kehadirannya saat ini. Pemimpin yang bisa mengayomi, adil, dan memiliki kepribadian yang mulia. Yang mengedepankan kemaslahatan dan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadi dan golongannya saja. Pemimpin yang bervisi akhirat, yang hanya ada dalam sistem tata kelola pemerintahan yang juga bervisi akhirat.
Wallahu a’lam bi ash showab