Bansos Di Negeri Korporatokrasi, Rakyat Hanya Gigit Jari



Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis

Video protes Kades dan Bupati tentang pelaksanaan bantuan sosial warga terdampak Covid-19, sempat menggegerkan dunia maya beberapa hari ini. Buruknya pendataan dan semrawutnya pengurusan taktis telah membuat kades dan bupati protes terbuka di media sosial. Protes tidak lagi dilayangkan melalui jalur birokrasi yang ada, dengan alasan agar aspirasinya cepat sampai ke pemerintahan provinsi bahkan pusat. Inilah potret buram kohesi struktur pemerintahan kita. (www.detik.com, 28/4/2020)

Polemik kebijakan bansos saat ini sebenarnya bukan hanya berbicara persoalan teknis kesalahan data dan tumpang tindihnya kebijakan yang ada. Hal demikian lebih besar disebabkan corak pemerintahan kita yang berideologikan kapitalisme, yang pada gilirannya menganggap bahwa model negara korporatokrasilah yang ideal diemban negara ini. Yaitu sebuah model negara yang menyerahkan seluruh urusannya pada koorporat atau swasta

Lihat saja alokasi dana yang dikucurkan pemerintah untuk bantuan sosial ini, tidak sebanding dengan kucuran dana pada para pengusaha. Bail out pada bank swasta jika terkena dampak dan suntikan dana pada pengusaha yang tertuang dalam perpu no 1 tahun 2020.

Dalam perppu no 1 tahun 2020 tersebut, Jokowi mengumumkan tambahan anggaran penanganan virus corona Rp405,1 triliun. Dengan rincian Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk social safety net atau jaring pengaman sosial. Kemudian Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, serta Rp150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. (www.liputan6.com, 01/04/2020)

Bayangkan, alokasi pemulihan ekonomi dan insentif perpajakan lebih besar hampir dua kali lipat dari jaring pengaman sosial. Belum lagi dalam jaring pengaman sosial tidak semua disalurkan pada kebutuhan pokok rakyat. Ada program kartu prakerja sebesar 5,6 T yang sebagian besarnya masuk ke kantong pengusaha. Semua itu adalah kebijakan yang lahir dari sudut pandang sistem kenegaraan yang bercorak kapitalistik.

Watak korup para pejabatnya pun menjadikan wabah ini sebagai ajang perampokan uang negara. Terlihat dari perppu no 1 tahun 2020 yang meniscayakan terciptanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara yang tertuang pada pasal 27. Bancakan korupsi dalam kondisi pandemi sungguh terjadi di negeri yang kehilangan empati.

Oleh karena itu, wajar akhirnya ketidakpercayaan dan gelombang protes terus muncul dari berbagai kalangan. Rakyat menganggap pemerintah pelit dan tidak serius mengurusi kebutuhan rakyatnya. Sebaliknya, pemerintah bersikap murah hati pada para konglomerat.

Islam sebagai agama sekaligus ideologi, telah memiliki sistem yang memanusiakan manusi. Berbeda dengan sistem pemerintahan bercorak kapitalisme, sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang berfokus pada kemaslahatan umat. Sehingga kebijakan-kebijakan yang lahir adalah kebijakan yang mampu menyelesaikan permasalahan umat tanpa menimbulkan permasalahan baru.
Karena sesungguhnya, para pemimpin dalam Islam memahami bahwa keberadaannya di pemerintahan adalah semata untuk beribadah kepada Allah swt. Mereka takut akan azab Allah swt. bagi penguasa yang lalai terhadap amanahnya. Apalagi menjadikan amanahnya sebagai jalan tol perburuan rentenya.

Dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah, rakyat tidak akan dibiarkan sendiri dalam memenuhi kebutuhannya, karena hal demikian adalah hak rakyat yang harus dipenuhi negara. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok rakyat: sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan.

Sesungguhnya, sebaik-baik teladan adalah Rasul dan para sahabatnya. Dalam permasalahan penanganan wabah, kita bisa meneladaninya dari Khalifah Umar bin Khaththab.

Dikisahkan dalam buku The Great Leader of Umar bin Khaththab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, bahwa pada 18 H, orang-orang di Jazirah Arab tertimpa kelaparan hebat. Makanan sungguh sulit didapatkan. Langkah awal Umar saat itu adalah menjadi teladan terbaik bagi rakyatnya dalam menghadapi krisis. Ia dan keluarganya selalu berhemat dan hidup sederhana, agar beliau bisa merasakan penderitaan yang dialami oleh rakyatnya.

Teladan ini telah membawa pejabat di bawahnya mengikuti langkah beliau. Perilaku ini berbanding terbalik dengan pejabat di sistem saat ini yang boros dan bermewah-mewahan. Setelah itu, dengan kecerdasan dan kepekaan perasaannya, Khalifah Umar langsung membuat keputusan, lalu mengatur dan mengelola seluruh struktur pemerintahan di bawahnya, sehingga bisa cepat, sigap, dan tuntas dalam memenuhi kebutuhan umat saat krisis.

Beliau mengerahkan seluruh struktur dan perangkat negara untuk membantu masyarakat yang terdampak. Para pejabat pun dengan sigapnya merespons hal tersebut, seperti yang dilakukan Wali Mesir, Amr bin Ash.

Khalifah Umar melayangkan surat kepada wali Mesir, Amr bin ‘Ash, yang memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk mengirimkan pasokan makanan ke Madinah. Cepatnya respons Amr bin ‘Ash terhadap perintah Khalifah Umar, merupakan bukti keharmonisan pemerintah pusat dan daerah. Begitu pun kecintaan Umar pada rakyatnya, terwujud berupa kebijakan yang menyelesaikan seluruh hajat umat, yang dibalas dengan doa terbaik seluruh rakyatnya untuk Sang Khalifah.

Hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah berlangsung harmonis, dan antardepartemen begitu sinergis. Banyaknya penguasa yang dalam benaknya selalu memikirkan kondisi umat, adalah kondisi saat sistem Islam menjadi arah pandang negaranya.

Begitulah, saat Islam menjadi ideologi negara, semua penguasa akan berpandangan sama, yaitu keberadaan mereka semata untuk umat. Tidak seperti saat ini yang menjadikan kepentingan pribadi dan golongan sebagai asas mereka bekerja.

Benih-benih pemimpin sebagaimana dikehendaki Islam akan lahir apabila ditanamkan tiga bekal yang hanya berasal dari akidah Islam. Yaitu: (1) sudut pandang menyeluruh dan khas tentang kehidupan, itulah akidah Islam yang menentukan visi misi hidup seseorang. (2) sudut pandang tertentu tentang kebahagiaan hakiki bagi masyarakat, yang dalam Islam tak lain adalah teraihnya keridaan Allah yang hanya bisa dicapai dengan tunduk dan taat pada perintahNya. (3) keyakinan akan sebuah peradaban (hadlarah) yang akan diwujudkan, yang tak lain adalah peradaban Islam yang hanya akan mewujud melalui penegakkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Inilah yang menyebabkan kepemimpinan Islam saat ditegakkan, mampu melahirkan peradaban yang luar biasa cemerlang. Negara Islam yang dipimpin negarawan sejati, tampil sebagai negara yang berwibawa, berdaulat, bahkan adidaya. Dia memfungsikan diri sebagai penebar risalah yang dengannya dunia akan diliputi oleh kebaikan. Rakyatnya pun hidup makmur sejahtera, hingga taraf yang tak mampu dicapai oleh peradaban manapun di dunia. Bahkan tak hanya manusia, kebaikannya pun dirasakan oleh alam semesta.

Wallahu a’lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak