Bansos Bermakna: Ada Udang Dibalik Batu?





Oleh: Shofiyya Honey


Di bulan yang penuh ampunan dan penuh berkah ini, banyak orang yang berlomba lomba menyalurkan sedekah demi meraup banyak pahala. Di tambah kondisi Indonesia yang sedang berada di tengah pandemi Covid-19. Maka berjamurlah pos- pos bantuan di sana- sini.
Di ambil dari merdeka.com " Seperti yang diketahui, pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial mulai menyalurkan bantuan sosial berupa paket sembako senilai Rp600 ribu kepada warga tak mampu di Jabodetabek. Sementara, keluarga di luar Jabodetabek akan mendapat Bantuan Langsung Tunai senilai Rp600.000 ".
Aman Aman saja. Ada yang salah dengan itu?
Yang jadi buah bibir adalah cara penyaluran bantuan yang sempat ribut di twitter dan menjadi tranding topic.
"Tas untuk mengemas paket sembako itu berwarna merah putih dan bertuliskan 'Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19'. Di tas itu juga terdapat logo Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Sosial serta cara-cara agar terhindar dari virus corona." Di kutip dari merdeka.com.
Publik mempermasalahkan bantuan sosial yang diberikan pemerintahan Joko Widodo dengan nama 'Bantuan Presiden RI'. Bantuan itu terlihat di keluar kan sendiri oleh Presiden Jokowi. Terlihat seakan ada makna tersembunyi di balik bantuan sosial itu.

Dilansir dari CNN Indonesia.com "Padahal sumber dana bantuan sosial berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari uang rakyat."
Dan ini membuat pemerintahan Jokowi di duga melakukan politisasi bansos.
Bantuan sosial sendiri sudah jadi taktik umum dalam berjalannya kampanye. Tujuan nya adalah untuk menjalin kedekatan dengan masyarakat . Tapi bagi kepala negara atau kepala daerah yang sudah tidak berkompetisi. Ini bisa jadi trik bagus dalam mempertahankan kepemimpinan-nya.inilah salah satu ciri Oligarki.

Di tengah krisis yang di sebabkan oleh Covid-19 memang sangat tepat untuk mengadakan "pameran". Tapi sepertinya ini jadi bumerang ke pemerintahan itu sendiri. Publik menilai bahwa pemerintahan hanya mementingkan terhadap dirinya sendiri dan di anggap hanya melakukan pencitraan.
Tapi begitulah cara kerja pemerintahan yang berlandaskan sistem kapitalis demokrasi yang hanya mengejar jabatan. Mereka tidak peduli terhadap rakyat.Yang meraka pedulikan hanya mengejar keuntungan setinggi mungkin.

Jika kita flashback di masa Islam memimpin puncak peradaban. Tidak ada dari pemimpin-nya yang mementingkan kepentingan pribadi. Ummat menjadi prioritas utama mereka, contoh, pada masa pemerintahan Umar bin khattab, ketika kelaparan melanda Madinah yang di akibatkan kemarau panjang.
Sang Khalifah membagikan habis seluruh isi baitul mall. Bahkan Umar bersumpah tidak akan memakan makanan enak selagi Ummat Muhammad kelaparan. Dan Makanan nya ketika itu hanya sepotong roti yang di olesi minyak.
Lagi, Di ceritakan saat mengetahui ada rakyat nya yang kelaparan, Umar RA memikul sendiri sekarung gandum dan segera ia berikan kepada mereka yang kelaparan.
Lalu, kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang hidup sangat sederhana dengan keluarga- nya, bukan berarti beliau miskin. Tapi harta kekayaan-nya beliau sumbangkan untuk kas negara.

Ini membuktikan bahwa mereka adalah pemimpin- pemimpin yang peduli pada rakyatnya. Mereka tidak pernah memikirkan kenyamanan hidup di dunia. Yang mereka pikir hanya kesejahteraan rakyat, bagaimana rakyat ku bisa merasa aman, dan damai berada dalam kekuasaan ku. Bagaimana cara melindungi mereka dari kejahatan kelam dunia. Dan bagaimana cara mencerdaskan meraka, itulah yang mereka pusingkan.
Ini berbeda 360 derajat dalam pemerintahan demokrasi.

Dalam sistem demokrasi, siapapun yang punya uang plus kekuasaan, tidak peduli bagaimana kepribadian dan kepekaan-nya terhadap rakyat, dia bisa terpilih menjadi wakil rakyat. Dalam sistem demokrasi, jabatan menjadi prioritas utama yang selalu di kejar, walau harus mengeluarkan so much money. Mengharuskan ngutang sana-sini, jual aset harta benda, bahkan kalau perlu menipu, demi menjadi petinggi negara. Semua di lakukan.

Demokrasi melahirkan politik jual beli jabatan dan kekuasaan. Demokrasi juga melahirkan politik "balik modal", setelah menjadi penguasa ia memeras rakyat dan merampok uang negara.
Di saat berkuasa, hukum berpihak kepadanya. Korupsi bukan sesuatu yang mustahil. Posisi yang sudah di capainya digunakan untuk melindungi keluarga dan kelompoknya dari sanksi pidana. Rakyat biasa yang berbuat salah langsung ditindak, jadi tersangka dan dipenjara. Tapi jika keluarga, kerabat dan kelompoknya atau para pembesar dan orang- orang terkenal yang punya banyak uang yang tersangkut pidana, hukum tiba- tiba melemah. Penjara tak berlaku. Dibuatkan macam- macam "Karangan" untuk menutupi!
Ini fakta yang diperlihatkan di hadapan publik without doubt. Malu? Tidak sama sekali bahkan mereka sangat percaya diri!

Sekali lagi beginilah jeblok-nya sistem demokrasi. Masih maukah mencari sistem selain Islam sebagai pedoman hidup?

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak