Apa Kabar Pendidikan Hari Ini?

Oleh: Fitri Suryani, S.Pd
(Guru dan Penulis Asal Kabupaten Konawe, Sultra)

Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.

Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda, dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia (Wikipedia.org)

Peringatan Hari Pendidikan tersebut pun memiliki arti medalam bagi bangsa Indonesia saat ini. mengingat pendidkan hari ini tak seperti pada masa kolonial Belanda  dulu di mana, hanya orang dari kalangan keluarga kaya raya saja yang mampu memperoleh pendidikan. Lalu bagaimana dengan pendidikan hari ini? Apakah benar semua warga negara telah mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali?

Memang benar, angka partisipasi pendidikan oleh anak usia sekolah di Indonesia disebut meningkat tiap tahunnya. Di sisi lain, total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi negara ini masih berada di kisaran 4,5 juta anak.

Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk karegori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah. Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332 (Tempo.co, 23/07/2019).

Alasan anak putus sekolah pun beragam, di antaranya: Pertama, minimnya motivasi anak untuk mendapatkan pendidikan. Kedua, kurangnya dorongan untuk memperoleh edukasi dari lingkungan sekitar, terutama lingkungan keluarga. Ketiga, terkendala masalah biaya pendidikan.

Dari ketiga faktor penyebab anak putus sekolah, penyumbang terbesar yakni karena faktor ekonomi. Sebagaimana Forum Semua Murid Semua Guru (SMSG) menyampaikan faktor ekonomi merupakan alasan utama siswa putus/tidak bersekolah. Data UNICEF tahun 2015 mengungkapkan bahwa status ekonomi keluarga memiliki dampak paling signifikan pada kehadiran anak-anak usia sekolah dasar dan menengah pertama. Anak-anak dari 20% keluarga termiskin hampir lima kali lebih mungkin untuk tidak masuk SD dan SMP dibandingkan 20% dari keluarga terkaya (Kompas.com, 28/01/2019).

Hal tersebut tentu sangat disayangkan. Bagaimana tidak, pendidikan murah dan berkualitas seolah masih menjadi barang mewah, khususnya bagi meeka yang berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Hanya karena tersandung biaya, di mana orang tua tak mampu membiaya kebutuhan pendidikan, akhirya anak terpaksa putus sekolah. Bahkan tak sedikit di antara anak yang putus sekolah tersebut, akhirnya turut membantu mencari nafkah, demi untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Padahal dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Tapi fakta di lapangan berbicara lain terkait pasal tersebut. Dari itu, besar harapan bagi penduduk negeri untuk dapat merasakan pendidkan setinggi mungkin, tanpa perlu tersandung masalah biaya pendidikan. Khususnya mereka yang berada pada kelas menengah ke bawah.

Sementara itu, dalam Islam negara memiliki kewajiban untuk mengatur semua aspek yang berkaitan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, tak hanya masalah  yang berkaitan dengan kurikulum, metode pengajaran, dan hal-hal yang berkaitan tentangnya, tetapi juga mengusahakan supaya pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Seorang imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Selain itu, persoalan dana, sarana, dan prasarana pun tak kalah penting menjadi perhatian penguasa sebagai wujud upaya untuk mendorong terlaksananya program dan kegiatan belajar agar dapat tercapai dengan baik dan berkualitas. Karena memberikan pendidikan yang berkualitas bagi rakyat merupakan kewajiban negara dan hal itu pun menjadi hak warga negara. Karena sejatinya pendidikan merupakan kewajiban yang diberikan negara secara langsung kepada warganya, tanpa terkecuali baik orang kaya atau miskin, begitu juga kaum muslim atau non musim.

Oleh karena itu, mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas saat ini seolah tak mudah, sebab hanya mereka yang bermodal besar yang mudah mengakses pendidikan yang berkualitas. Karenanya besar harapan penduduk negeri ini, agar penguasa mampu merealisasikan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak