Antara Islam, Kapitalisme, dan Tenaga Medis




Oleh Rifdatun Aliyah



Kabar yang menyayat hati kembali datang dari para pejuang wabah garda terdepan. Setelah semakin banyaknya tenaga medis yang gugur saat menangani wabah, kini sebagian dari mereka harus mengelus dada lantaran insentif yang harus mereka terima tak kunjung diberikan. Seperti Anitha Supriono misalnya. Perawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, hingga kini belum menerima insentif sebesar Rp 7,5 juta yang dijanjikan pemerintah. Anitha merupakan salah satu perawat yang bertugas di ruang Intensive Care Unit (ICU) menangani pasien-pasien positif Covid-19 (tempo.co/25/05/2020).

Bahkan sebelumnya diketahui 109 tenaga medis dipecat saat wabah virus corona masih melanda. Hal ini terjadi di RSUD Ogan Ilir. Pihak rumah sakit menyatakan bahwa pemecatan dilakukan lantaran para tenaga medis sempat melakukan aksi mogok kerja (wartakota.tribunnews.com/21/05/2020). Minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan tenaga medis membuat tenaga medis berstatus tenaga honorer dan tenaga harian lepas (THL) menuntut dijadikan pegawai tetap. Menurut Sekretaris Badan Bantuan Hukum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Maryanto sudah selayaknya hal itu dipenuhi karena perawat honorer sudah bekerja dalam waktu yang cukup lama (m.detik.com/27/05/2020).

Ironi yang terjadi dikalangan tenaga medis sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya, gugurnya tenaga medis atau pemecatan yang terjadi pada tenaga medis sama dengan mengurangi prajurit di garda depan medan tempur melawan wabah. Namun, hal ini nampaknya akan sulit dilakukan oleh para pemimpin negara pengemban ideologi kapitalisme. Sebab dalam sistem kapitalisme, hal yang paling diutamakan adalah keberlangsungan hagemoni para kapital (pemilik modal) agar perekonomian mereka tetap dapat berjalan.

Tetap dibukanya pusat-pusat perbelanjaan dan berbagai bisnis merupakan salah satu bukti atas perlindungan yang diberikan negara kepada para pengusaha besar. Terlebih lagi, upaya untuk 'menormalkan' kembali segala aktivitas ditengah lonjakan kasus positif Covid-19 merupakan bukti lain atas ketidakseriusan pemerintah dalam penanganan wabah dari aspek kesehatan. Konsep "Herd Immunity" yang dianggap membahayakan masyarakat juga bukan hal yang mustahil akan diterapkan oleh negara-negara kapitalis.

Menyikapi kondisi yang dialami para tenaga medis seperti saat ini, Islam sebagai agama dan sebuah pandangan hidup memiliki sikap tersendiri. Islam sangat menghargai dan memperhatikan para tenaga medis yang berjuang menjaga kesehatan masyarakat. Islam memandang bahwa kesehatan merupakan kebutuhan yang harus didapatkan oleh semua warga negara. Negara sebagai penanggungjawab dan pengurus rakyat harus memberikan jaminan kesehatan tersebut. Jaminan kesehatan diberikan gratis dan tidak boleh dikomersilkan sekalipun rakyat mampu membayarnya. 

Sejarah mencatat, bahwa Rasulullah SAW dan para Khalifah didalam Daulah Islam telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Rasulullah SAW pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis yang kemudian dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR. Muslim). Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umar Bin Khatab pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam secara gratis (HR. Al-Hakim). Begitupun pada masa kekhilafahan Islam.

Termasuk pandangan terhadap tenaga medis. Islam memberikan fasilitas agar para ahli melakukan riset cepat dalam menangani wabah yang terjadi. Para tenaga medis juga dijamin dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tenaga medis yang menjalankan amanah negara mendedikasikan diri mereka untuk umat sebagai amal jariyah. Sehingga wabah yang terjadi dapat segera tertangani sebab Khilafah Islam juga melakukan sinergi terhadap penanganan wabah seperti melakukan karantina nasional dan mengurusi kebutuhan rakyat yang terdampak wabah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak