Oleh : Alit Agustina
Pemerhati Masalah Publik
Opini
Ramadan tahun ini sungguh berbeda dengan ramadhan di tahun sebelumnya. Di tengah wabah pandemi yang meluas di berbagai negara. Tak luput Indonesia menjadi negara yang terdampak wabah terbanyak korban meninggal karena Corona di wilayah Asia Tenggara. Sampai hari ini korban terkonfirmasi positif covid-19 di Indonesia yang dikutip dari kompas.com mencapai 12.776 orang dengan kasus tambahan 484 orang per 7 Mei dan yang sembuh mencapai 2.381 sedangkan korban meninggal mencapai 930 orang dengan tambahan 8 orang.
Masih meningkatnya kasus positif di republik ini, pemerintah terus menghimbau kepada seluruh warga negaranya untuk mematuhi himbauan social distancing dan juga phsycal distancing, serta kewajban memakai masker bila keluar rumah dan juga rajin mencuci tangan. Bahkan pemerintah juga mengeluarkan larangan mudik untuk mencegah wabah Corona agar tidak semakin menyebar ke berbagai wilayah.
Beberapa kebijakan pun telah diambil oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah demi menekan penyebaran wabah pandemi ini, salah satunya dengan pemberlakuan PSBB yakni pembatasan sosial berskala besar. Yang mana dengan diterapkannya PSBB tersebut, baik masyarakat ataupun sektor ekonomi baik perusahaan swasta maupun pegawai informal terkena dampak yang cukup besar dengan ketidakmampuan mereka membiayai dari gaji pegawai ataupun membiayai kehidupan sehari-hari.
Karena dengan pemberlakuan PSBB, menjadikan mereka harus berada dirumah dan tidak boleh beraktifitas di luar rumah kecuali untuk keperluan yang mendesak. Sehingga diperkirakan akibat kebijakan tersebut bakal terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja(PHK) massal dampak dari penerapan PSBB.
Sementara itu, desakan kebutuhan hidup menuntut untuk segera dipenuhi banyak kasus kriminal bahkan kasus kelaparan yang terjadi belakangan ini akibat dari kebijakan pemerintah utk mengatasi pandemi yang masih terbilang lamban bahkan cenderung memanfaatkan situasi demi kepentingan pencitraan dirinya. Seperti dilansir dari www.merdeka.com, menteri sosial mengakui bansos dari pemerintah sempat tersendat dikarenakan menunggu tas dengan label "bantuan presiden".
Ini sungguh miris melihat kenyataan bahwa banyak rakyat yang menunggu bantuan malah terkena wabah kelaparan dilansir dari kompas.com seorang ibu hamil dan tiga balitanya lemas karna kelaparan setelah ayahnya tidak lagi memiliki pekerjaan imbas dari wabah corona. Bahkan ada mahasiswa yang nekad mudik karena kelaparan malah ditangkap.
Melihat kondisi ini, seharusnya pemimpin lebih peka terhadap kondisi masyarakatnya yang membutuhkan bantuan dan insentif tanpa mempolitisasi dan menjadikannya sebagai ajang pencitraan. Jaring Pengaman Sosial pun yang dijanjikan belum sepenuhnya terealisasi dengan baik di masyarakat. Empat bantuan yg diberikan PKH, Kartu Pra Kerja, Kartu Sembako, dan subsidi listrik nyatanya belum memberikan rasa nyaman.
Terlebih kemudian adanya Bansos dan juga Bantuan langsung Tunai yang nyatanya implementasi di lapangan masih tumpang tindih kevalidan data penerimanya. Belum lagi adanya ketimpangan sosial di masyarakat akibat bansos yang tidak tepat sasaran. Sungguh miris, ditengah pandemi covid-19 malah dijadikan ajang oleh para pemimpin pusat maupun daerah berlomba-lomba memperbaiki citra di mata masyarakat menggunakan Bansos yang seharusnya itu merupakan hak rakyat dari dana APBN.
Melihat kenyataan ini, sungguh kita mendamba kepemimpinan yang luhur dan bijaksana seperti di masa kegemilangan Islam dulu dalam mencetak pemimpin yang bertaqwa. Dimana kepemimpinan merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan sang Pencipta. Sehingga menjadikan pemimpin akan berbuat sesuai Kitabullah dan Sunnah.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah kedua Umar bin Khattab, ketika masa krisis dan wabah melanda. Kelaparan dan penderitaan rakyat itu dirasakan oleh Umar sebagai penderitaan bagi dirinya. Karena itu, beliau bersumpah tidak akan mengecap daging dan minyak samin. ''Bagaimana saya dapat mementingkan keadaan rakyat, kalau saya sendiri tiada merasakan apa yang mereka derita,'' begitu kata Khalifah Umar yang amat berkesan pada waktu itu.
Hingga para sahabat menggambarkan sikap umar bin khattab "Andai Allah tidak melenyapkan musibah pada tahun kelabu, kami yakin Umar Bin Khatab akan mati karena kesedihannya." Sungguh, dimana lagi kita bisa menjumpai pemimpin seperti umar?
Jika kita berharap pada masa sekarang dimana para pemimpin lebih menimbang untung rugi daripada kebutuhan rakyatnya maka kita tak akan bisa menemukan lagi pemimpin yang setara dengan umar. Karena akar permasalahannya bukan hanya pada individunya tapi pada sistem yang membentuk karakter pemimpinnya.
Wallahu a'lam bish showab.
Tags
Opini
Miris hidup dalam sistem kapitalis sekuler
BalasHapus