Oleh : Ummu Hanif, ANggota Lingkar Penulis Ideologis
Eksekutif Direktur World Food Programme (WFP), David Beasley, memperkirakan bahwa jumlah orang yang meninggal akibat dampak buruk ekonomi yang kemudian beralih menjadi kelaparan, akan berpeluang lebih banyak daripada akibat terinfeksi virus corona itu sendiri. (www.tempo.co, 23/4/2020)
WFP juga mengatakan, bahwa masyarakat dunia menghadapi ancaman kelaparan besar-besaran dalam beberapa bulan lagi akibat resesi ekonomi yang dipicu pandemi corona. Terdata, saat ini ada 135 juta orang menghadapi ancaman kelaparan.
Proyeksi dari WFP menunjukkan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat menjadi 270 juta orang. Jumlah ini masih bisa bertambah karena ada sekitar 821 juta orang yang kurang makan. Hingga diperkirakan, total warga dunia yang bisa mengalami bencana kelaparan melebihi 1 miliar orang. Sejumlah negara yang menempati peringkat terburuk terkait ancaman kelaparan adalah Yaman, Kongo, Afganistan, Venezuela, Ethiopia, Sudan Selatan, Suriah, Nigeria, dan Haiti. PBB mengingatkan wabah virus Corona ini bisa menyebar juga ke Afrika dan menyebabkan bencana kemanusiaan besar.
Bahkan, sebelum wabah virus corona berlangsung, sebagian wilayah Afrika Timur dan Asia Selatan telah mengalami kekurangan makanan yang parah akibat kekeringan dan wabah serangga terparah sejak berpuluh tahun terakhir. Bayangkan dampaknya, dengan kondisi yang lebih memprihatinkan saat wabah corona seperti sekarang ini. Na’udzu billaahi.
Tak terkecuali Indonesia. Meski belum termasuk negara yang mengalami bencana kelaparan kronis maupun akut, namun potensi krisis pangan dan kelaparan ini tetap harus menjadi alarm nasional. Pasalnya, Indonesia sudah diprediksi menjadi negara yang termasuk paling lambat mengakhiri wabah corona.
Karenanya, urgen adanya upaya antisipasi aktif. Semata agar negara kita tak kecolongan lagi layaknya awal masuk wabah corona yang kepastiannya masih menuai perdebatan panjang. Terkait hal ini, Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo (SYL), sempat menyatakan bahwa stok pangan nasional aman selama pandemi. Dari neraca pangan nasional, Indonesia memiliki neraca yang cukup bagus dan dapat dikatakan terkendali dengan baik. Sebab semuanya cukup tersedia dari hasil pertanian di seluruh Indonesia.
SYL juga berujar, wabah virus corona baru ini merupakan tantangan yang harus dihadapi, solusi kesehatan harus juga bisa dijamin dari hadirnya food security untuk rakyat. Menurut data kementeriannya, SYL menyatakan bahwa dari neraca pangan pada Februari, pemerintah masih punya stok pangan yang cukup besar.
SYL mendata, sedikitnya kurang lebih 3,5 juta ton. Kemudian pada Februari 2020 lalu, ada perkiraan produksi beras dan sawah di Indonesia berproduksi hampir 12,4 juta. Ditambah dengan stok di Bulog dan di penggilingan, jadi total stok kurang lebih menjadi 15 juta (ton).
Pun hasil panen padi di sejumlah daerah juga terdata mengalami surplus. Namun, ada residu problem sosial yang tak dapat dihindari. Tak sedikit rakyat yang terjerat resesi dunia usaha. Mereka dirumahkan, ada yang di-PHK. “Work from home” bagi mereka, adalah sama saja dengan menganggur. Artinya, tidak memiliki pendapatan.
Bantuan dari orang dermawan maupun relawan, tentu hanya sampai pada batas parsial. Kartu Prakerja dan bantuan BLT juga ibarat fatamorgana di saat kehausan. Masalah klasik birokrasi. Terlebih setelah masa PSBB dan larangan mudik ke kampung halaman, lagi-lagi rakyat kecil adalah kalangan yang paling terdampak. Hendak pulang ke kampung halaman, tak punya ongkos. Mau bertahan di tanah rantau, juga tak mampu membiayai hidup karena tidak punya pendapatan.
Kondisi serupa juga menimpa warga setempat yang sama-sama dinonaktifkan dari pekerjaan pascacorona.
Ini menunjukkan bahwa tata kelola pangan tak hanya harus serius tapi juga harus cekatan, khususnya di kala pandemi. Artinya, meski ketersediaan pangan nasional diklaim cukup, tapi keteraksesan pangan oleh kalangan ekonomi bawah juga rendah. Realitasnya, rakyat kecil tetap tak dapat menikmati lezatnya angka surplus stok pangan.
Islam sebagai agama sekaligus ideologi, telah memberi solusi tuntas bagi pencegahan serta penanganan krisis pangan dan kelaparan. Di dalam negeri, politik pangan Islam mekanisme pengurusan hajat pangan seluruh individu rakyat. Yakni menjamin pemenuhan pangannya, baik untuk konsumsi harian dan menjaga cadangan pangan untuk mitigasi bencana/paceklik seperti kondisi wabah corona saat ini.
Seorang pemimpin dalam sistem Khilafah Islam, yang tak lain adalah Khalifah, akan mengupayakan agar setiap individu rakyatnya terpenuhi kebutuhannya. Tingkat kebutuhan ini tentu berbeda-beda tergantung individunya. Kebutuhan ini pun bisa jadi berbeda lagi saat kondisi pandemi.
Namun ketika standarnya adalah hukum syariat, maka setiap individu juga akan mengedepankan sikap qana’ah dan tidak malah aji mumpung. Inilah bedanya kepribadian rakyat di bawah naungan Khilafah, yang sudah pasti akan sulit ditemukan dalam sistem kapitalisme-sekuler.
Demikianlah sistem islam menjawab setiap tantangan kehidupan. Maka tinggal kita, mau atau tidak untuk berada dalam nauangan sistem islam.
Wallahu a’lam bi ash showab