Oleh: Khaulah Ariska
Mahasiswi Pendidikan Matematika
Hampir sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia merasakan dampak yang luar biasa akibat pandemi Covid-19. Berbagai upaya penanganan dilakukan oleh penguasa, namun hingga kini berbagai kebijakan tersebut tak kunjung menuai hasil yang memuaskan. Hal ini tampak pada jumlah kasus positif Covid-19 yang makin meningkat.
Di Indonesia, penguasa pernah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilanjutkan dengan larangan mudik. Namun kebijakan ini dinilai inkonsisten dan tidak konsekuen, karena pada realitanya pemerintah memberlakukan PSBB hanya di beberapa wilayah. Pemerintah juga masih setia membuka ‘gerbang’ bagi masyarakat yang bepergian sehingga baru-baru ini dikabarkan penumpang pesawat justru membeludak.
Diberitakan pada laman Liputan6.com, 16 Mei 2020, bahwasanya ratusan calon penumpang berdesakan di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta (Soetta), Tangerang, Kamis pagi 14 Mei 2020. Mereka bertumpuk tanpa memperhatikan jarak aman di posko pemeriksaan dokumen perjalanan. Seperti diketahui, Bandara Soetta mulai dipadati warga setelah Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi memberi izin kembali beroperasinya seluruh moda transportasi mulai 7 Mei lalu melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idu Fitri 1441 Hijriah dan berlakunya Surat Edaran (SE) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19 dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Dikatakan bahwa Surat Edaran ini memuat teknis Permenhub dalam operasionalnya diharuskan melayani pengguna terkait urusan pekerjaan, bukan mudik.
Lantas mengapa ‘mereka-mereka’ ini tidak mematuhi protokol kesehatan ? Mengapa mereka dibebaskan bepergian ke mana saja, padahal bukankah virus bisa menempel di siapa saja? Demi ekonomi negara kah ? Atau karena sudah berselingkuh dengan penguasa sehingga begitu mudahnya diizinkan bepergian, dengan ancang-ancang pekerjaan. Padahal hal ini juga dapat menghambat upaya pemutusan rantai penyebaran virus serta bisa juga memicu gelombang kedua virus atau second wave yang lebih banyak menelan korban jiwa.
Jelas terlihat inkonsisten kebijakan penguasa. Berusaha memerangi Corona, tetapi malah membuat Corona betah berlama-lama di negeri ini. Bekerja keras hendak memutus penyebaran Corona, penguasa malah mengizinkan para elit berduit untuk tetap bepergian . Bukankah hal ini aneh? Penguasa dinilai ‘seolah-seolah’ menjilat ludah sendiri dan memperturutkan para elit berduit melakukan perjalanan dalam rangka bisnis. Padahal hal ini justru membuka pintu bagi rakyat untuk mudik dan tentunya akan berdampak pada upaya pemutusan rantai virus yang mulanya dicanangkan penguasa.
Apabila ditelisik, penerbitan aturan yang mengizinkan angkutan umum beroperasi kembali dan mengecualikan sejumlah orang yang bisa bepergian dengan catatan membawa surat keterangan sehat dan bebas Corona sangat tidak tepat, dikarenakan ada oknum tertentu yang memanfaatkan kondisi seperti ini untuk mendapatkan keuntungan, seperti menjual surat sehat bebas Corona palsu. Hal ini membuka peluang bagi rakyat untuk melancarkan aksinya yang sebelumnya terjeda. Seperti yang dilansir dalam laman Liputan6.com 16 Mei 2020, surat bebas Corona palsu viral di media sosial karena diperjualbelikan di situs belanja online, dengan kop surat salah satu rumah sakit swasta. Astaghfirullah.
Ada juga kebijakan yang dinilai tak konsisten yaitu perihal Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 Pasal 5 ayat 3 yang mengatakan bahwa pergerakan rakyat dengan menggunakan aturan darat dalam satu ranah aglomerasi masih diperbolehkan. Aglomerasi maksudnya wilayah-wilayah yang memiliki karakteristik sama terkait wabah Covid 19. Misalnya, sama-sama berada dalam zona merah dan memberlakukan PSBB. Padahal walau sama-sama berada dalam zona merah, bukankah ada rakyat yang masih negatif Corona ? Tentunya mudik lokal berpotensi besar berkontribusi dalam tingginya penyebaran Covid-19.
Hal ini jelas menggambarkan bahwasanya penguasa tidak ekstra dalam penanganan dan negara justru berlepas tangan perihal tanggung jawabnya dalam penanganan wabah. Penguasa hanya pandai beretorika perihal kebijakan, menyusupkan rasa nyaman dalam sela-sela jiwa rakyat,tetapi yang termanifestasi justru mengancam nyawa rakyat. Hal ini sungguh sangat ironi. Pemerintah bersikeras ingin memutus rantai penyebaran virus Corona, tetapi kebijakan yang dikeluarkan justru bertentangan. Ini adalah manifestasi pemerintah yang inkonsisten dan tak konsekuen.
Menilik dari sikap pemerintah yang ambivalen ini, virus Corona tak akan lekas pergi. Justru sebaliknya akan lebih lagi mengancam nyawa rakyat.
Sikap penguasa yang inkonsisten dan tidak konsekuen ini, tentunya berdasar pada sistem tempat bernanung saat ini. Sistem kapitalisme justru menghendaki matinya fungsi negara. Negara harus berlepas tangan dari pengurusannya terhadap pemenuhan hajat hidup rakyat, seperti halnya kesehatan. Dalam sistem kapitalisme juga dikenal istilah no free lunch. Setiap tindakan penguasa harus berasas pada profit semata. Oleh karena itu, walau berada di tengah ancaman pandemi Corona, penguasa tak segan-segan memutuskan melegalkan kebijakan yang inkonsisten dan tidak konsekuen. Lihat saja sederetan kebijakan penguasa saat ini, yang mulanya demi kemaslahatan rakyat, namun karena ada kepentingan akibat perselingkuhannya dengan para korporasi, membuat penguasa membanting setir bertolak belakang dengan kebijakan pertama. Hal ini tentu sangat berbahaya karena mengancam pemutusan mata rantai penyebaran virus Corona.
Lantas bagaimana seharusnya penguasa bertindak ? Bukankah bagus jika pemerintah menjalankan dua kemudi sekaligus, yaitu penanganan Corona dan menumbuhsuburkan ekonomi negara yang sempat collapse ? Sayangnya, dua kebijakan ini justru bertolak belakang, yang apabila dijalankan bersama-sama akan berefek pada masalah baru yang lebih besar yaitu tak terputusnya mata rantai penyebaran Corona yang tentunya menyangkut kemaslahatan rakyat. Jadi, selama kita masih bernanung dalam sistem kapitalisme, ambivalensi sikap pemerintah selalu tampak. Kecuali kita beralih ke sistem yang kemaslahatan rakyat berada pada urutan atas. Bertransformasi ke sistem yang kebijakannya tak datang dari akal lemah manusia, tetapi datang dari Allah Swt, Sang Pencipta sekaligus Mudabbir. Apakah ada sistem seperti itu ? Ada, yaitu sistem Islam. Di mana ketika tiap kebijakan yang berlaku adalah bersumber dari Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, tentunya tak nampak lagi inkonsisten dan tak konsekuen yang berefek pada ambivalensi sikap penguasa.
Wallahu a’lam bi ash shawab.
Tags
Opini