Oleh : Puput Weni
Mudik merupakan momen yang sangat dinantikan oleh para perantau dan semua orang yang merindukan kampung halaman, bertemu sanak-saudara. Namun saat ini tak sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Menghindari penyebaran wabah corona jauh lebih penting. Guna mengendalikan penyebaran virus corona pemerintah mengeluarkan peraturan larangan mudik ini berlaku mulai 24 April hingga 31 Mei 2020. Sehingga banyak para pemudik yang mencuri start mudik.
Pernyataan ambigu dari presiden negara +62 bahwa, mudik dan pulang kampung merupakan dua hal yang berbeda. Pernyataan Presiden Joko Widodo ini langsung menjadi sorotan warganet. Kata kunci pulang kampung langsung masuk topik terpopuler Twitter di Indonesia pada pagi tadi (katadata.co.id, 23/04/2020).
Presiden Jokowi melang mudik namun pemerintah mengizinkan pulang kampung bagi pekerja migran Indonesia (PMI) dan yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Jokowi, orang-orang yang berbondong-bondong pulang kampung tak lantas berarti mudik. Ia beranggapan, pulang kampung kembali ke keluarga di kampung karena kembali bekerja di kota rantau. Sementara mudik kembali ke kampung halaman saat lebaran.
Antropolog dari Universitas Padjajaran, Budi Rajab, mengatakan bahwa memang ada perbedaan makna pada istilah ‘pulang kampung’ dan ‘mudik’. Pulang kampung menurutnya adalah aktivitas yang dilakukan seseorang untuk kembali ke kampung halaman, sementara mudik biasanya berkaitan dengan ritual keagamaan, seperti Hari Raya, dan itu bisa berlaku bagi umat Islam hingga Kristen. "Tapi mudik itu sendiri pasti pulang kampung,” jelas Budi (m.kumparan.com, 24/04/2020).
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pernyataan yang dilontarkan pemerintah mengenai perbedaan mudik dan pulang kampung dinilai tidak tegas dan justru menimbulkan kebingungan bagi publik. Padahal dua kalimat ini dinilai memiliki efek yang sama, yakni memobilisasi publik dalam jumlah besar.
Peneliti Senior Indef Didik Rachbini mengatakan pernyataan yang membingungkan bagi publik ini justru menyebabkan risiko penyebaran Covid-19 yang meluas. Namun pemerintah dinilai tidak tegas dalam mengendalikan mobilisasi publik ini (cnbcindonesia.com, 26/04/2020).
Masalah arti mudik dan pulang kampung seharusnya tidak menjadi perselisihan karena pada dasarnya suatu aktifitas sama, yaitu kegiatan sama-sama berbindah dari suatu wilayah ke wilayah lain. Hal ini sama-sama berpotensi menyebarkan virus corona. Jika fokus pemerintah ingin mengendalikan virus corona semestinya hal tersebut mendapat perlakuan yang sama.
Peraturan mudik termuat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19. Namun belum ada peraturan tentang pulang kampung. Nampaklah pernyataan yang tak berlandasan, terkasan mengada-ada, membuat kebingungan publik, melahirkan peraturan yang membingunkan pula.
Peraturan larangan mudik tidak efektif mengendalikan penyebaran virus corona. Banyak penyebab yang menjadikan para perantau mudik atau pulang kampung. Diantaranya, penghasilan di tempat kerja menurun bahkan ada yang di PHK, sedangkan diperantauan membutuhkan biaya untuk makan, membayar kos atau kontrakan, dan biaya keperluan lainnya.
Sedangkan pemerintah tidak mempu menjamin kebutukan pokok rakyatnya. Sebagai mana seorang pemimpin jika mengeluarkan peraturan seharusnya paham dan menyiapkan penangan dari efek peraturan yang diberlakukan. Peraturan yang tidak tepat akan membahayakan nyawa rakyat. Nyawa rakyat terancam oleh virus corana dan atau mati kelaparan.
Jika banyak para perantau yang tetap pulang kampung dan penyebaran corana semakin meluas. Penguasa akan lepas tangan dengan tanggungjawabnya dengan berdalih rakyat tak patuh peraturan. Inilah kubangan sistem kapitalisme, setiap peraturan yang dibuat nampak semu keberpihakannya pada kemaslakhatan rakyat, namun kemaslakhatan kepentingan kantong elit penguasa yang lebih dominan.
Pada masa ke pemimpinan khalifah Umar bin khattab demi menanggulangi ‘Ta’un Amwās dan ‘Am Ramadha, Umar bin Khattab pun mengeluarkan sejumlah kebijakan:
1) Meminta kepada rakyat agar senantiasa berdoa kepada Allah swt
2) mengirimkan kebutuhan dasar pokok masyarakat
3) menghimbau masyarakat agar bersikap hemat dalam mengonsumsi makanan yang tersedia dan
4) penangguhan zakat peternakan.
Upaya Umar bin Khattab dalam mencukupi kebutuhan pangan bagi rakyatnya merupakan tanggungjawab kepemimpinan seorang Khalifah. Umar pun menyadari bahwa kebijakan yang dikeluarkan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Saat situasi seperti sekarang ini rakyat berharap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memberikan manfaat dan kemaslahatan besar bagi rakyat.
Peraturan yang jelas dan tepat sasaran merupakan kunci utama mengatasi masalah. Teladan Umar bin Khattab ini juga mengingatkan akan arti penting peningkatan iman dalam setiap bencana atau musibah yang mendera. Di lain sisi, tingkat imunitas masyarakat juga harus ditingkatkan dengan ketersedian pasokan makanan bagi rakyat, jaminan rasa aman sehingga tidak kegelisahan dan kepanikan pada rakyat. Dengan kembali menerapkan sistem islam benang kusut masalah wabah corona bahkan masalah komplek dunia bisa terurai. Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb