Oleh : Sri Wahyuni S. pd
(Tenaga Pendidik dan Pemerhati Masalah Publik)
Respon pemerintah dalam menanggapi kasus pembuangan jenazah TKI yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di kapal ikan China terkesan sangat lamban. bahkan cenderung menyepelekan. Betapa tidak, saat pertama kali kasus ini ramai diperbincangkan media, Pemerintah justru sibuk mengklarifikasi istilah yang digunakan banyak media dalam memberitakan berita tersebut dan bukan fokus pada masalahnya.
Disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, pihaknya mengatakan bahwa jenazah tersebut bukan “dibuang.” Istilahnya bukan ‘Pembuangan’ tapi ‘Pelarungan jenazah’ atau burial at sea .
Tentu kasus ini bukan sekedar persoalan jenazah yang dibuang ke laut.
Lebih dari itu, kematian para ABK RI menjadi persoalan serius dan banyak di sorot media lokal bahkan internasional karena dugaan eksploitasi perusahaan pencari ikan asal China, kepada ABK WNI yang bekerja di kapal-kapal mereka. Dugaan eksploitasi mencuat disebabkan perlakuan tidak manusiawi yang diterima oleh para ABK hingga berujung pada kematian seperti, kekerasan selama bekerja oleh pekerja asal China lainnya, ketidaklayakan makan dan minuman yang diterima oleh ABK RI, bekerja 18 jam sehari dan upah yang hanya dibayar 1 juta setahun.
Yang lebih mengejutkan adalah dari cuplikan video yang beredar juga didapati informasi yang menyebut pembuangan jenazah ABK telah terjadi sejak bulan september 2019. Ini artinya, kasus eksploitasi telah terjadi sejak lama. Tentu menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana peran Pemerintah selama ini dalam melindungi para TKI? sebab dalam kasus ini sangat terlihat tidak adanya koordinasi yang baik antara Pemerintah dengan Perusahaan penyalur para TKI.
Kesan lambatnya penanganan kasus ini juga kental terasa dari penyelesaiannya yang masih belum menemukan titik terang, padahal Kemenlu sendiri telah menerima informasi kematian ABK sejak desember 2019. Sejauh ini bahkan Pemerintah masih disibukkan melakukan cek kontrak kerja antara ABK dengan pihak agensi, serta masih dalam tahap meminta penjelasan tambahan mengenai alasan pembuangan jenazah, apakah sesuai ketentuan international dan perlakuan yang diterima oleh ABK WNI lainnya.
Terkait yang terakhir ini, sebenarnya para ABK telah menceritakan secara detail perihal perlakuan buruk yang mereka terima. Bahkan hasil forensik yang dilakukan terhadap salah satu ABK yang sempat dilarikan ke rumah sakit di Korea Selatan menyebut pasien meninggal dunia karena pneumonia atau radang paru-paru.
Fakta ini sangat bersesuaian dengan pengakuan para ABK terkait air laut yang mereka konsumsi sehari-hari, serta kesamaan gejala sesaat sebelum korban meninggal dunia yaitu nyeri dada dan sesak napas.
Dengan berbagai fakta bahkan bukti adanya pelanggaran kemanusiaan, tak cukupkah ini meyakinkan pemerintah terkait dugaan eksploitasi atau bahkan lebih tepatnya perbudakan terhadap para ABK? Sehingga mengharuskan Pemerintah untuk bersikap tegas terhadap China.
Mengapa justru Pemerintah disibukkan mengumpulkan bukti dengan menunggu klarifikasi penuh dari pihak China? Melihat sikap Pemerintah yang demikian tentu tak berlebihan jika muncul dugaan pembelaan terhadap China.
Sungguh ironi! minimnya lapangan kerja dalam negeri, membuat rakyat mencari kesejahteraan di negara lain. Alih-alih melindungi hak warganya, Pemerintah justru lepas kontrol mengawasi agensi pembawa para TKI.
Tentu bukan kali pertama kasus kekerasan menimpa para TKI, namun kasus perbudakan yang menimpa para ABK ini seolah menjadi puncak betapa lemahnya negara dalam melindungi para TKI dan kesan ketidakberdayaan menghadapi negara lain yang nyata telah melakukan pelanggaran HAM.
Maka layak kita renungkan bersama, apa yang salah dengan negeri ini? Berkali-kali para TKI menjadi korban kebiadaban majikan mereka dan berkali-kali pula Pemerintah tak mampu melakukan pembelaan terhadap para pekerja dan justru tunduk terhadap asing. Ini tak lain karena bobroknya sistem kapitalisme yang selama ini diterapkan.
Sistem yang melemahkan sebuah negeri dengan jeratan hutang, hingga memaksa negeri tersebut untuk patuh dan tunduk terhadap negara pemberi hutang. Akibatnya, sebuah negara menjadi lemah di mata negara lain dan rentan terjadi penindasan. Mudah ditebak bukan kenapa Indonesia tak berkutik di depan China?
Sudah saatnya negeri ini bangkit dari penindasan dan ketidakberdayaan dengan menyudahi hegemoni kapitalisme dan menggantinya dengan sistem terbaik yaitu Islam. Sebuah sistem yang akan menjamin hak-hak para pekerja dengan memperlakukan pekerja dengan baik, memberikan upah yang layak sesuai dengan jasa yang diberikan serta tidak mengulur waktu pembayaran, dan tidak mendholimi pekerja.
Dasar ini pula yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Al-Khattab saat menghakimi pelanggaran seorang majikan terhadap pembantunya. Saat itu seorang pembantu milik Hatib bin Abi Balta’ah ketahuan mencuri seekor unta milik seseorang dari bani muzayyinah. Setelah diselidiki, pembantu tersebut akhirnya mengaku bahwa unta hasil curian tersebut mereka sembelih untuk dikonsumsi sendiri karena kelaparan. Mendengar jawaban itu, khalifah umar mengarahkan pandangan kepada tuan pencuri tersebut sambil berkata “Hampir saja aku menimpakan hukuman kepada mereka, kalau aku tidak dapat kabar bahwa engkau telah mempekerjakan mereka, tetapi membiarkan mereka kelaparan sehingga mereka terpaksa mencuri dan aku tidak akan menimpakan hukumannya kecuali kepadamu.”
Hukuman justru diberikan kepada majikannya yang membiarkan pembantunya kelaparan dengan disuruh membayar 2 kali lipat dari harga unta yang telah dicuri yakni 800 dirham kepada bani muzayyinah.
Inilah Islam, penerapannya akan menjamin kesejahteraan para pekerja karena terpenuhinya hak-hak mereka. Maka sudah selayaknya kondisi ini membuat kita semakin rindu dan terdorong untuk makin serius memperjuangkan tegaknya kembali sistem Islam. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini