ABK: Korban Perbudakan Modern?



Oleh Firda Umayah



Pemerintah China akhirnya menanggapi kasus eksploitasi yang dilakukan sejumlah kapal ikan asal negaranya terhadap puluhan warga Indonesia yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) (m.cnnindonesia.com/12/05/2020). Sebelumnya, Indonesia dihebohkan dengan beredarnya video pelarungan tiga jenazah anak buak kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) yang meninggal dunia di kapal tempat mereka bekerja. Kapal pencari ikan berbendera China, Long Xing 629 (m.detik.com/10/05/2020).

Kepolisian telah menemukan tiga bukti petunjuk terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) anak buah kapal (ABK) Indonesia di Kapal Long Xing. Status kasus naik ke tahap penyidikan (m.medcom.id/13/05/2020). Adanya kasus dugaan perbudakan ABK menambah panjang deretan duka bagi para warga negara Indonesia yang bekerja di bawah tekanan warga asing. Sungguh hal ini tak boleh dibiarkan. Sebab negara adalah penanggungjawab atas rakyat. Maka rakyat harus mendapatkan perlindungan dari segala tindakan tidak manusiawi khususnya perbudakan. 

Meskipun Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi sempat menyatakan bahwa pelarungan jenazah ABK sudah mendapatkan persetujuan keluarga, namun pemerintah Indonesia tetap mengecam keras perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh anak buah kapal (ABK) WNI yang bekerja di kapal ikan China (asiatoday.id/11/05/2020). Hanya saja, Menlu akan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan penerimaan gaji dan jam kerja yang tak manusiawi. 

Sehingga, ada kemungkinan bahwa kasus serupa dapat terulang jika pemerintah tidak memantau betul para ABK yang bekerja kepada kapal warga asing. Sebab, pemerintah seakan tidak ingin memutus mata rantai celah perbudakan dikalangan ABK dengan tetap mengizinkan para warga negaranya untuk bekerja di bawah tekanan warga asing. Padahal bekerja di kapal merupakan salah satu pekerjaan paling beresiko yang dilakukan oleh para pekerja. Lalu, mengapa ini dapat terjadi? 

Tak dapat dipungkiri, himpitan ekonomi yang semakin sulit membuat tiap warga negara harus berpikir keras agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Terlebih lagi, negara tak menjamin setiap warga negara mandapatkan pekerjaan yang layak di tanah air. Sehingga, warga negara harus rela menjadi pekerja di negeri asing meskipun nyawa menjadi taruhannya. 

Terlebih lagi pada masa pandemi seperti sekarang. Bahkan angka pengangguran di Indonesia pada Februari 2020 saja mencapai 6,88 juta orang atau naik 60.000 orang (bps.go.id/05/05/2020). Sehingga, warga negara harus berjuang sendiri demi menyambung hidup. Hal ini terjadi hampir di semua negara yang mengadopsi sistem kapitalis. Sebab, dalam sistem kapitalis, negara hanya sebagai regulator bukan sebagai pengurus urusan rakyat. Negara membiarkan rakyat untuk mencari nafkah tak peduli itu halal atau haram. Bahkan apakah itu pekerjaan yang menyengsarakan atau tidak. 

Berbeda halnya dengan sistem pemerintahan dalam Islam. Islam memandang bahwa negara adalah sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Negara juga merupakan pelindung rakyat. Dalam masalah ketenagakerjaan, negara harus memiliki tanggung jawab untuk menyediakan lapangan pekerja yang cukup bagi warga negara. Sebab, mencari nafkah merupakan sebuah kewajiban bagi setiap laki-laki yang telah baligh. 

Negara juga harus menyediakan keterampilan yang dibutuhkan bagi rakyat dalam usaha menunaikan kewajiban tersebut. Bantuan modal juga harus disediakan jika rakyat membutuhkannya. Semua itu dilakukan agar rakyat dan negara dapat menjalankan kewajiban syariat Islam khususnya dalam mencari nafkah. Sehingga, rakyat tak perlu mencari pekerjaan lain di luar negeri. Perlu dicermati bahwa dalam syariat Islam, negara juga harus melihat status negara yang bekerja sama dengan negaranya. Apakah negara tersebut merupakan negara yang memusuhi Islam dan kaum muslimin. 

Sebab, Islam melarang bekerja sama dengan negara yang memusuhi Islam dan kaum muslimin secara nyata. Baik kerja sama dalam dunia politik, ekonomi, pendidikan dan yang lainnya. Sehingga, segala langkah yang diambil oleh negara harus berlandaskan syariat Islam. Namun, perlu dicermati pula bahwa jaminan dan kemudahan atas kepengurusan rakyat hanya dapat diraih melalui negara yang menerapkan syariat Islam secara keseluruhan.

Kerena hal itu tidak hanya terkait dengan sistem ekonomi. Namun juga berkaitan dengan sistem sosial, hukum, pendidikan dan yang lainnya. Walhasil, adanya penegakan negara Islam (Daulah Islam) merupakan sebuah keniscayaan dalam mendapatkan keberkahan hidup. Hal itu sebagaimana yang telah terjadi pada masa Daulah Islam pertama di Madinah hingga masa Khilafah Utsmaniyah yang berakhir pada 3 Maret 1924 di Turki. Sungguh  sebuah perdaban mulia dan agung sepanjang sejarah umat manusia. Kini, sudah saatnya umat Islam kembali kepada syariat Islam. Karena menerapkan syariat Islam merupakan sebuah kewajiban bagi seluruh umat Islam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak