ABK DILARUNG KE LAUT, PEMERINTAH BERPIHAK PADA SIAPA?



Oleh: Siti Nurjamilah


Tanggal 6 Mei 2020 YouTuber Jang Hansol mengunggah video melalui channel YouTubenya dengan tagline 'Berita Trending di Korea yang Bakal Bikin Orang Indonesia Ngamuk'.

Dalam video tersebut ia menceritakan ulang berita yang dikeluarkan stasiun tv MBC tentang perlakuan tidak manusiawi yang terjadi pada anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal nelayan besar milik Tiongkok ketika berlabuh di laut Busan, Korea Selatan.
"Video yang kita lihat abis ini adalah video kenyataan tentang pelanggaran hak asasi manusia, orang-orang Indonesia yang bekerja di perkapalan Cina, yang ini loh kapal besar yang pergi nangkap ikan," tutur Jang Hansol, menerjemahkan isi berita MBC, dikutip PikiranRakyat.com.

Ia menceritakan bahwa para ABK itu mengaku dipekerjakan selama 18 jam, bahkan bisa berdiri selama 30 jam, dengan 6 jam istirahat. Mereka yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia, jenazahnya dilarung ke laut. 
        "Waktu itu orang-orang Indonesia ini menyampaikan berita ini kepada Pemerintah Korea dan juga TV MBC, orang-orangnya ini yang meminta bantuan," tambahnya.

Sontak video yang diunggah Jang Hansol tersebut menjadi trending nomor satu di kanal YouTube. Timbul pertanyaan, kemana pemerintah Indonesia selama ini? Mengapa justru berita ini muncul pertama kali di stasiun tv asing?

Selang satu hari setelah berita tersebut beredar barulah pemerintah melakukan konferensi pers virtual diwakili oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Retno mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah menyampaikan nota diplomatik kepada Kemenlu Cina untuk mengklarifikasi pelarungan terhadap ABK tersebut. Pihak Kemenlu Cina bersikukuh pelarungan terhadap ABK asal Indonesia dilakukan sesuai ketentuan kelautan internasional. Kemlu RRC menjelaskan bahwa pelarungan telah dilakukan sesuai praktik kelautan internasional untuk menjaga kesehatan awak kapal sesuai ketentuan ILO, ucap Retno. Kemenlu Cina juga menyampaikan ABK yang meninggal di kapal dan dilarung ke laut sudah memeroleh persetujuan dari pihak keluarga. Dari informasi yang diperoleh KBRI, pihak kapal telah memberitahu pihak keluarga dan mendapat surat persetujuan pelarungan ke laut dari keluarga tertanggal 30 Maret 2020, pihak keluarga juga sepakat menerima kompensasi kematian dari kapal Tian Yu 8, katanya.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi I DPR RI Sukamta menilai kejadian ini sudah mengarah kepada perbudakan modern atau modern slavery. Dia melihat adanya indikasi perlakuan pihak perusahaan yang sudah mengarah kepada pelanggaran HAM berupa tindak perbudakan atau ekspolitasi secara berlebihan yang menyebabkan kematian.

"Saya lihat yang menimpa saudara kita para TKI yang menjadi ABK di kapal Long Xing 605, LongXing 606 dan Long Xing 629 sudah mengarah kepada modern slavery. Dari enam elemen perbudakan modern, kasus yang menimpa para ABK ini terindikasi mempunyai tiga elemen diantaranya seperti buruh kontrak, pekerja paksa dan perdagangan manusia," ujar Sukamta, dalam keterangannya, Sabtu (9/5/2020).

Ibarat gunung es, kejadian yang menimpa para ABK ini mungkin hanya salah satu di antara kasus-kasus  yang terjadi pada para Tenaga Kerja Indonesia. Sangat mungkin jika ada banyak TKI lain yang saat ini mengalami tindakan semisal. Diharuskan bekerja nonstop, minim waktu istirahat serta diberi upah yang tidak semestinya.

Disinilah pentingnya peran negara memberikan fasilitas penyediaan lapangan kerja yang memadai bagi rakyat. Serta negara mestinya menjamin kebutuhan mereka yang mempunyai halangan dalam bekerja. Sehingga seorang warga negara tak harus bekerja di luar negeri demi mendapat nominal gaji yang layak. Namun lihat saja realitas yang terjadi hari ini. Di tengah sempitnya lapangan kerja dalam negeri pemerintah malah mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dari Cina. Ironisnya, TKA Cina justru diperlakukan istimewa di negeri ini.

Lalu apa maunya penguasa negeri ini kalau bukan ingin menjadikan negeri sendiri terjajah?  Hanya demi kantong pribadi penguasa yang sudah luas diketahui memiliki kepentingan ekonomi, penguasa tak ubahnya pedagang yang selalu berhitung untung-rugi setiap melakukan proses pelayanan terhadap kebutuhan rakyat. Penguasa telah gagal menjadi penanggung jawab bagi urusan rakyatnya.

Padahal Rasulullah SAW. bersabda:
 
الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya." (HR Bukhari No.844)

Tidak takutkah pemerintah bahwa kelak pengurusan mereka yang zalim terhadap rakyat kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt?

Hari ini tidak akan kita temukan pemimpin macam Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang karena rasa takutnya kepada Allah sampai tidak mau menggunakan lampu penerang milik negara untuk melakukan pembicaraan di luar tugas kenegaraan.
"Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara. Minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara. Sementara perkara yang akan kita bahas adalah urusan keluarga," jelas Umar.

Umar kemudian meminta pembantunya mengambil lampu dari ruang dalam. "Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita. Minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku memulai pembicaraan dengan ayah." Begitulah mestinya orientasi seorang pemimpin muslim. Ia memandang bahwa amanah kepemimpinan kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Sehingga ia tidak berlaku semena-mena terhadap rakyat yang ia pimpin. Inilah karakter pemimpin yang tidak kita temukan pada sistem demokrasi kapitalis. Karena untuk menjadi pemimpin dalam negara demokrasi tidak disyaratkan pribadi-pribadi amanah apalagi adil sebagaimana yang islam syaratkan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin.

          
Sungguh pemimpin yang takut kepada Allah tidak akan lahir dari sistem demokrasi kapitalis yang sudah cacat sejak lahir. Pemimpin yang takut kepada Allah hanya akan lahir dari sistem kehidupan buatan Sang Khalik, sistem itu bernama Khilafah.
   
Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak