Oleh : Puput Yulia Kartika, S.Tr.Rad
(Koordinator Smart Muslimah Comnunity)
"Sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula." Mungkin ungkapan ini cukup menggambarkan perasaan dan juga kesedihan yang menimpa rakyat Indonesia, terlebih para rakyat miskin.
Bagaimana tidak? Belum lama ini, pemerintah Indonesia melalui juru bicara penanganan wabah Covid-19 oleh Achmad Yudianto, mengeluarkan statement pada saat siaran langsung pengumuman update penanganan Covid-19 di BNPB, bahwasannya beliau menyampaikan : "Yang kaya membantu yang miskin, agar hidup dengan wajar. Dan yang miskin melindungi yang kaya, agar tidak menularkan penyakitnya." (KoranPerdjoangan.com, 28/03/2020)
Sontak pernyataan yang dilontarkan tersebut, mengundang banyak kritikan dari berbagai kalangan masyarakat. Sebab dari pernyataan pemerintah tersebut, seolah ada kesan pemerintah seperti menyalahkan rakyat miskin sebagai penyebar penyakit virus Covid-19 ini.
Apalah Salah Si Miskin ?
Ditengah terus merebaknya kasus virus Covid-19 di negeri ini, pemerintah justru malah menyalahkan para rakyat kecil sebagai penyebar virus Covid-19. Sungguh begitu malang nasib si miskin, sudahlah kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masih saja disalahkan oleh pemerintah.
Namun, benarkah pernyataan pemerintah bahwasannya rakyat miskin sebagai penyebar virus Covid-19 ? Bila kita telaah secara mendalam dengan melihat fakta yang ada, maka akan kita dapati bahwasannya hanya orang-orang yang kaya sajalah yang mampu bepergian untuk keluar negeri. Sementara orang-orang miskin yang notabene orang-orang kelas menengah kebawah, pasti akan berpikir berkali-kali untuk berpergian keluar negeri.
Lalu apa hubungannya dengan wabah virus Covid-19 ? Jika kita kaitkan dengan asal mula virus Covid-19 ini maka akan menyambungkan bahwasannya virus Covid-19 ini bermula dari kota Wuhan di China, lalu menyebar ke sejumlah negara di dunia pun termasuk Indonesia. Lantas, bukankah orang yang berpergian keluar negeri lebih riskan terpapar virus Covid-19 dan membawanya ke Indonesia dibandingkan rakyat miskin ?
Sementara itu dilain sisi, kita pun mengetahui jikalau pemerintah sendiri ketika mendengar awal mula ada kasus wabah virus Covid-19 di Wuhan, China, pemerintah Indonesia malah tidak bergerak cepat untuk melakukan upaya pencegahan sedini mungkin, dengan menutup akses keluar masuk wisatawan khususnya dari China. Tetapi sikap yang dilakukan pemerintah justru memberikan diskon penerbangan bagi para wisatawan ke Indonesia. Sehingga peluang tertularnya virus Covid-19 dari para wisatawan pun tidak menutup kemungkinan.
Hingga hari ini pun kita dapati bahwa pasien positif Covid-19 terus mengalami kenaikan jumlahnya. Tetapi, sikap yang di tampakkan pemerintah sendiri tetap bersikeras tidak akan melakukan karantina wilayah. Hal ini ditegaskan oleh presiden Jokowi pada saat memimpin rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui video conference dari Istana Bogor, pada Senin, 30 Maret 2020. (Kompas.com, 30/03/2020)
Padahal sejumlah daerah sebelumnya sudah memutuskan untuk melakukan karantina wilayah atau local lockdown, seperti di Tegal, Tasikmalaya, Makassar, dan Ciamis, serta provinsi Papua untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.
Oleh karena itu, dengan sikap pemerintah yang tidak mau mengkarantina wilayah bisa pula menjadi penyebab terus bertambahnya pasien positif Covid-19, dan bukan salah rakyat miskin. Secara alamiahnya pun kita mengetahui bahwa virus itu akan bisa mengenai siapapun, baik yang kaya maupun yang miskin, begitupun juga yang tua ataupun muda. Karenanya narasi yang dikatakan oleh pemerintah terkait si miskin sebagai penyebar virus Covid-19 bisa dibilang sebagai narasi yang sesat dan menyesatkan.
Kenapa Negara Tidak Mau Lockdown ?
Berdasarkan kamus Bahasa Inggris, lockdown artinya kuncian. Jika dikaitkan dengan istilah teknis dalam kasus Corona atau Covid-19 artinya mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah maupun negara.
Jika suatu daerah di kunci atau di lockdown maka semua fasilitas publik harus ditutup. Mulai dari sekolah, transportasi umum, tempat umum, perkantoran, bahkan pabrik ditutup dan tidak diperkenankan beraktivitas. Begitupun dengan aktivitas warganya juga dibatasi, bahkan ada yang melarang warganya keluar rumah kecuali untuk fasilitas kesehatan.
Lantas kenapa pemerintah pusat tidak mau melaksanakan lockdown? Karena jika lockdown dilakukan, tidak menutup kemungkinan bahwa negara akan mengalami kerugian secara ekonomi. Sebab perekonomian akan terhenti. Ditambah lagi, akses keluar masuk wilayah daerah ataupun negara di tutup. Maka hal itu bisa menimbulkan industri, penerbangan, pariwisata akan mengalami kehancuran. Sementara pendapatan negara sendiri nihil bahkan cenderung defisit.
Disamping itu, belum lagi negara harus menanggung beban untuk menyediakan kebutuhan rakyatnya selama lockdown atau karantina wilayah. Sesuai dengan Undang-undang Pasal 52 ayat 1 yang menyebutkan bahwasannya, "selama masa karantina rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan hewan ternak akan ditanggung oleh Pemerintah Pusat."
Karenanya, bila Lockdown atau karantina wilayah tetap di lakukan maka hal itu layaknya BUNUH DIRI dalam sistem kapitalis-sekuler.
Kepentingan Umat Atau Kepentingan Ekonomi ?
Jika kita perhatikan, kondisi Indonesia saat ini betul-betul genting dengan terus bertambahnya kasus pasien positif Covid-19. Disamping itu, Indonesia juga memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, dengan cakupan wilayah luas. Karenanya, perlu tindakan yang cepat dan tepat untuk menahan laju percepatan virus Covid-19 sebelum semakin bertambah luas.
Sebetulnya jika hanya karantina wilayah saja yang dilakukan, itupun tidak akan cukup. Melainkan dibutuhkan peran negara dalam menutup berbagai akses dari wilayah luar, baik dari daerah maupun negara.
Sebab jika tidak, dengan tetap terbukanya Indonesia maka orang luar negeri akan sangat mungkin menularkan kembali virusnya ke rakyat Indonesia. Dan tanpa distop akses keluar masuknya antar kota, siapapun di Indonesia masih bisa bebas kemana saja tanpa menyadari bahwa ia telah membawa virus.
Sejatinya, lockdown adalah solusi yang terbaik untuk keselamatan umat khususnya rakyat Indonesia. Bahkan Rasul sendiri telah mengajarkan kepada kita konsep bagaimana untuk menahan wabah. Sebagaimana dalam haditsnya Rasulullah Saw. bersabda :
"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika wabah itu terjadi ditempat kami berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR. Bukhari)
Sebenernya, konsepnya sangat sederhana. Negara cukup mengkarantina wilayah yang terjangkit wabah virus Covid-19 dan menahan akses keluar masuk antar negara maupun kota untuk beberapa waktu. Hanyasaja memang, negara kapitalis-sekuler saat ini tidak mau mengalami kerugian ketika upaya lockdown ditempuh. Sebab negara lebih berkepentingan perihal perekonomian, dengan menolong mereka para pengusaha dan mitra bisnisnya yakni para Taipan atau China. Sementara kepentingan rakyat Indonesia yang banyak justru terabaikan.
Di dalam kondisi seperti ini, KH. Hafidz Abdurrahman menyatakan bahwa "Lockdown Hukumnya Wajib" sebagaimana dengan hadits yang dinyatakan oleh Rasulullah Saw. Karena itu sikap yang harusnya dipilih oleh negara dalam kondisi seperti ini ialah mencegah bahaya (mudarat) itu lebih penting, telerbih bila mengancam nyawa manusia. Karena itu Rasulullah Saw pun menyebutkan bahwa :
"Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah, ketimbang terbunuhnya nyawa seorang Muslim."
Karenanya sudah sepatutnya negara lebih mengutamakan kepentingan umat dibandingkan dengan kepentingan ekonomi. Sebab ekonomi itu akan bisa pulih kembali jikalau manusianya hidup, sehat dan pulih dari serangan virus Covid-19, maupun virus yang lain.
Wallahu'alam bii ash-shawab {}